Kamis, 17 Juli 2008

Soeharto Gawat Soemitro Bersikap

Soemitro Djojohadikusumo enggan menjenguk besannya, mantan Presiden Soeharto, yang sedang terbaring tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Prabowo Subianto, sang menantu, pun urung pulang ke Tanah Air. Ada apa?

JATUH sakitnya mantan Presiden Haji Mohammad Soeharto, 78 tahun, sungguh mengagetkan dan menimbulkan sejumlah spekulasi. Berbagai pertanyaan menggelayut. Ratusan wartawan dan fotografer menyerbu Rumah Sakit Pertamina, di Jakarta Selatan, mencari kepastian apa yang terjadi, Selasa pekan lalu.

Sementara, sejumlah tokoh mulai mengalir, membesuk. Yang pertama datang mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah bersama istri. Kepada wartawan, Nyonya Umar Wirahadikusumah menyebut kondisi kesehatan Soeharto baik-baik saja. Menyusul mantan Menteri Sek retaris Negara Moerdiono. Lalu mantan Menhankam/Pangab L.B. Moerdani yang datang bersama empat orang pengawalnya. Tidak satu pun kata keluar dari mulut tokoh "angker" ini. Bahkan, Benny sempat menghalau dengan tongkat sejumlah pewarta foto yang hendak mengambil gambarnya.

Hingga Sabtu pekan lalu, atau hari keempat, masyarakat masih bertanya-tanya tentang kondisi riil mantan orang paling berkuasa di Indonesia selama 32 tahun itu. Juan Felix Tampubolon, pengacara Soeharto yang belakangan menjadi juru bicara keluarga Cendana, kepada Gamma menyatakan, "Saya katakan sejujurnya, Bapak memang terkena stroke ringan. Dan kondisinya sudah mulai membaik. Bapak sudah bisa turun dari tempat tidurnya, berdiri, dan berjalan. Dia juga sudah bisa duduk dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan s aya," tutur Felix. Soeharto, lanjutnya, bahkan sempat melakukan salat Ashar, meskipun masih berbaring di tempat tidur.

Sumber Gamma di Rumah Sakit Pertamina menyebut, Soeharto memang terkena stroke. "Tapi, bukan pecahnya pembuluh darah. Cuma penyumbatan," ujar sumber, yang ikut merawat Soeharto itu. Ada pun yang terkena penyumbatan itu adalah nervous 5,7 dan 9. Urat syara f yang mengalami sumbatan ini terkait dengan bagian muka, dan berpengaruh pada kegiatan berbicara dan menelan. "Karena itu, Pak Harto makan dan minum pakai selang," lanjutnya. Akibat penyumbatan ini, Pak Harto bukan hanya cadel, tapi memang tidak mampu bi cara. "Untuk recovery, butuh waktu lama. Dan kalaupun sembuh, tak akan 100 persen. Ibarat selang plastik yang sempat tersumbat, tidak bisa
mulus lagi," tambah sumber tersebut.

Musibah stroke ringan ternyata membawa berkah. Kehadiran tokoh-tokoh seperti L.B. Moerdani, Moerdiono, Sudharmono, dan sejumlah mantan orang-orang dekat Soeharto lainnya menunjukkan kepada Soeharto dan keluarga bahwa masih banyak tokoh yang bersimpati kep adanya. Tak hanya itu, simpati juga muncul dari penyerang Soeharto par-exelence, Amien Rais. Disebut berkah, menurut pengamat politik Fachry Ali, karena sakitnya Soeharto juga membuat publik memperoleh kesadaran baru. "Peristiwa ini tampaknya mampu membuat orang memilah-milah antara apa kesalahan yang dilakukan Soeharto dan jasa-jasanya. Kalau pa da proses reformasi awal orang secara bergelora melihat hanya kesalahan Soeharto, kini mereka mulai sadar bahwa Soeharto ternyata memiliki sisi lain," katanya.

Kehadiran para tokoh politik itu, ditambah membanjirnya ratusan karangan bunga (yang dalam waktu singkat habis dijarah orang), di mata Fachry, menunjukkan betapa kuat kehadiran pengaruh politik Soeharto, meski dalam keadaan sakit. Pentas itu ternyata dima nfaatkan banyak tokoh. Amien Rais, Gus Dur, dan Kwik Kian Gie, di barisan yang menamakan diri proreformasi, atau Sudharmono, L.B. Moerdani, Moerdiono, dan Tunky Ariwibowo, menurut Fachry, secara sadar memanfaatkan panggung politik ini.

Sedangkan pengamat politik Daniel Sparingga melihat kunjungan Gus Dur, Amien Rais, dan Kwik Kian Gie membuka wacana baru dalam melihat posisi politik Soeharto. "Kunjungan mereka menunjukkan bahwa Soeharto bagi mereka is not forgotten but forgiven," ujar Daniel.

Lebih jauh, panggung politik yang muncul dari sakitnya Soeharto ini, menurut Daniel, malah memungkinkan terjadinya sebuah proses rekonsiliasi. Sebab, katanya, di tengah masyarakat sekarang ini setidaknya ada tiga perspektif dalam melihat persoalan Soehart o. Pertama, kasus Soeharto never forgotten and never forgiven. Kedua, never forgotten, but forgiven. Ketiga, forgotten, never forgiven. Keempat, forgotten and forgiven.

Kecenderungan kekuasaan ke depan, menurut Daniel, adalah pilihan kedua. "Kesalahan Soeharto memang tak akan dilupakan. Tapi, mereka cenderung akan memaafkan Presiden kedua Indonesia ini," sambungnya. Di sinilah, lanjut Daniel, konteks politik kunjungan Am ien Rais, Kwik Kian Gie, dan sejumlah tokoh lain ke Rumah Sakit Pertamina, tempat Soeharto dirawat. "Kunjungan itu harus dipahami sebagai kunjungan kemanusiaan dan politis. Itu menunjukkan adanya hasrat untuk tidak melupakan masa lalu, tapi ada niat untuk memaafkan," lanjut dosen FISIP Universitas Airlangga tersebut.

Namun, pandangan optimistis Daniel tampaknya bertepuk sebelah tangan. Paling tidak untuk sementara. Betapa tidak, kehadiran Amien Rais yang tidak diizinkan melihat langsung Soeharto, atau rencana kunjungan Presiden B.J. Habibie yang hingga kini tertunda-t unda, terpaksa memunculkan spekulasi lain. Faktor penghambat itu disinyalir adalah sikap anak-anak Soeharto.

Dari berbagai kunjungan tokoh-tokoh politik hampir selama sepekan Soeharto dirawat, Dewi Fortuna melihat jelas faktor anak-anak Soeharto ini. "Ada seleksi ketat dari anak-anak Pak Harto," tutur Dewi kepada Taufik Rinaldi dari Gamma. Anak-anak Soeharto itu , menurut juru bicara Kepresidenan ini, tampaknya tidak mau mengambil risiko. "Karena itu, yang dikasih masuk hanya orang biasa yang tidak akan memunculkan gejolak emosi dan dianggap cukup dekat dengan Pak Harto serta dianggap tidak bermasalah," kata Dewi .

Apakah ini soal dendam? "Mungkin saja," jawab Dewi Fortuna, enteng. Sikap itu, menurut Dewi, memang kecenderungan yang wajar. "Pak Habibie kan harus mempertanggungjawabkan Tap MPR soal pemberantasan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme itu. Dan tidak hanya KKN-nya Soeharto saja, tetapi juga terkait dengan anak-anak dan kroninya. Ya terang saja kalau anak-anaknya marah," lanjut Dewi.

Analisis Dewi soal dendam ini tampaknya beralasan. Apalagi, Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo, besan Pak Harto, pun ternyata enggan menjenguk. "Saya tak merencanakan untuk berkunjung ke sana," cetus Pak Cum --panggilan akrab Soemitro Djojohadikoesoemo-- kepada sejumlah wartawan.

Menariknya, Pak Cum tidak berhenti di situ. Seakan memberi alasan keengganannya, Pak Cum melanjutkan, "Saya sudah menyatakan sikap. Saya sudah lama tak berhubungan dengan Soeharto." Sampai di situ, Pak Cum enggan melanjutkan wawancara. Sikapnya itu sudah lama diketahui masyarakat.

Dikisahkan, misalnya, bahwa dua hari setelah jatuhnya Soeharto, Pak Cum mencoba menghubungi Soeharto untuk minta bertemu. "Lewat ajudan saya mengatakan ingin bertemu," kata Pak Cum. Biasanya, setelah pesan itu disampaikan kepada ajudan, dua hari kemudian Pak Cum akan mendapat jawaban. "Satu minggu kemudian saya baru mendapat jawaban, "Bapak masih sibuk." Dua minggu kemudian, saya telepon lagi. Tetap tidak ada tanggapan. Sejak itu, saya tak pernah mau ketemu lagi," tutur Pak Cum.

Apa yang terjadi? Apa yang membuat hubungan Pak Cum terputus dengan Soeharto? Pak Cum ternyata melihat hal yang sama dengan Dewi Fortuna: faktor anak-anak Soeharto. Sebenarnya, tentang berbagai hujatan yang menimpa Soeharto selama ini, Pak Cum mengaku sed ih. "Tidak hanya sebagai besan, tapi sebagai manusia tentu saya sedih," tuturnya. Hanya, kesalahan besar Soeharto selama tiga puluh tahun berkuasa, di mata Pak Cum, adalah kepercayaannya yang berlebihan kepada anak-anaknya, juga kepada para
kroninya.

Selama sepuluh tahun pertama berkuasa, Soeharto di mata Pak Cum sebenarnya pemimpin yang baik, bahkan hebat. Kenapa selama sepuluh tahun pertama kita bisa berhasil membangun? "Karena, kita bisa percaya dan mengandalkan dia sepenuhnya. Ketika itu, dia bena r-benar pegang janji dan kata-katanya. Dan kalau ada kritik dari luar negeri, atau setiap terjadi kesalahan yang dilakukan para menteri, Pak Harto selalu mengambil tanggung jawab. Hebatnya di situ," tutur Soemitro suatu kali kepada tabloid Detak.

Perkembangan selanjutnya, terutama setelah meninggalnya Ibu Tien, kekuasaan Soeharto semakin tidak terkontrol. "Pengaruh anak-anak, dan terlalu lamanya Soeharto berkuasa, merupakan penyakit yang diderita Soeharto selama sepuluh tahun terakhir," lanjut Pak Cum. Soal kekayaan, di mata Pak Cum, Soeharto sebenarnya tidak terlalu rakus. "Haus kekuasaan mungkin," jelasnya. Bagi Soeharto, katanya, kekayaan adalah alat untuk mengonsentrasikan kekuasaan itu. "Dia bikin berbagai yayasan yang bertugas menghimpun dana. Set elah dana itu terkumpul, dia memanfaatkannya untuk menghimpun kekuatan dengan mempengaruhi orang lain. He needs money to buy power. Di sini, pengaruh anak-anaknya besar sekali," jelas Soemitro

Ternyata, ada penjelasan psikoligis tentang sikap Soeharto kepada anak-anaknya. "Itu tidak lepas dari masa kecil dia. Atau, ada semacam beban kejiwaan masa lalu," Pak Cum terus memberikan penilaian. Cerita soal ini diperolehnya ketika Pak Cum melamar Titi ek (Siti Hediyati) untuk anaknya, Prabowo Subianto. Waktu itu, kepada Pak Cum dan keluarga, Soeharto berkisah mengenai dirinya yang sejak berusia 10 tahun berpisah dari kedua orangtuanya.

"Jadi, sejak lahir saya sebenarnya nggak kenal ibu kandung saya. Jadi, saya besar di desa. Saya jadi rebutan pada saat saya umur 10 tahun, antara keluarga yang mengasuh saya dan bapak kandung saya. Kemudian, saya dikompromikan ditaruh di Wonogiri, di kelu arga mantri, bapaknya Sudwikatmono. Makanya, Sudwikatmono lebih dari saudara kandung," begitu cerita Soeharto di depan keluarga Pak Cum. "Karena tidak mau anak-anaknya bernasib seperti masa kecilnya yang gelap, dia tebus itu dengan memberikan
segalanya ke pada anak-anaknya."

Pak Cum mengaku sudah dua kali mengingatkan Soeharto soal ini. "Mungkin saya satu-satunya orang yang mengingatkan soal anak-anak," katanya menjelaskan sikapnya. "Tapi, saya sempat dengar Benny Moerdani juga pernah menyinggung itu, tapi dimarahi. Itu saya dengar dari Soedharmono," sambung Pak Cum.

Peristiwanya sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Sebagai Ketua Umum Ikatan Koperasi Pegawai Negeri (IKPN), Pak Cum menemui Soeharto di Cendana. Dalam kesempatan itu, Pak Cum mengingatkan Soeharto bahwa kelakuan anak-anaknya sudah menjadi isu politik. "Wak tu itu, saya tidak mengkritik. Hanya menyampaikan fakta." Menurut Pak Cum, Soeharto ternyata tidak bereaksi. Diam. Ketika Pak Cum pamit, di pintu, Soeharto sempat bilang, "Iya Pak Mitro. Saya menyadari anak-anak saya terkena isu politik."

Peringatan Pak Cum tujuh tahun lalu itu kini terbukti. Soal anak itu pulalah yang kemudian memutuskan hubungan keluarga Pak Cum dengan keluarga Soeharto. Tentang keberadaan Prabowo di tengah keluarga Cendana, Pak Cum bertutur, "Hubungan Bowo dengan anak-a nak Pak Harto tidak baik, selalu bentrok, meski tidak sampai tersiar ke luar. Dengan Tommy bentrok soal cengkeh, dengan Mamiek bentrok soal helikopter. Anak-anak ini kemudian mempengaruhi bapaknya, sehingga Pak Harto akhirnya lebih percaya Sjafrie (Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan mantan pengawal Soeharto, Red.) daripada Bowo. Yang paling akhir, Bowo
dikhianati mertuanya sendiri."

Menjelang Soeharto lengser, atau di saat-saat krisis kekuasaan setahun lalu, hubungan keluarga Soeharto dengan Prabowo dan keluarga dikabarkan semakin merenggang. "Dari sumber kedua, saya dengar, pada hari-hari sulit itu, seluruh keluarga Soeharto memang memusuhi Prabowo, karena dia dianggap menyulitkan mereka. Ketika itu, Prabowo banyak disorot karena kasus penculikan. Di mata mereka, Prabowo dianggap memiliki sumbangan bagi semakin terpuruknya rezim Soeharto," tutur Dewi Fortuna Anwar.

Menurut Dewi, hubungan buruk antara Prabowo dan keluarga Cendana, sebagaimana dituturkan Pak Cum, memang sudah berlangsung lama. "Saya sering dengar Prabowo sudah lama terasing di antara keluarga Cendana itu," kata Dewi. "Kita tahu, keluarga Pak Mitro itu keluarga intelektual. Mereka ini orang lama yang tidak perlu membuktikan diri lagi tentang siapa mereka."

Pengacara Juan Felix Tampubolon membantah hampir semua tuduhan-tuduhan itu. Pak Harto, katanya, bukan pendendam, dan anak-anaknya pun begitu pula. Bahwa tidak semua tamu bisa masuk, itu lantaran Pak Harto sedang menjalani tes medis. "Jadi, bukannya keluar ga Cendana menghalang-halangi," lanjutnya. "Nggak ada pilih-pilih bulu begitu. Hubungan Soearto dan Pak Mitro pun wajar saja. Bahwa Prabowo Subianto belum membesuk, itu karena memang berada di luar negeri, seperti halnya Nyonya Bambang Trihatmodjo yang ju ga masih berada di mancanegara."

Tapi, paling tidak, agaknya menarik pesan Amien Rais pada ajudan Soeharto tatkala membesuk ke Rumah Sakit Pertamina. Seperti dikatakannya kepada Julie Indahrini dari Gamma, "Saya mendoakan kesembuhan dan yang paling baik bagi Pak Soeharto," kata Amien Rai s. Sebuah kata-kata yang justru meluncur dari bekas "musuhnya". Dan tentunya akan lebih baik lagi yang dikatakan besan dan menantunya.

Muchlis Ainurrafik, A. Latief Siregar, Ruba'i Kadir, Rika Condessy, Yuyuk Andriati Iskak

Dimuat di Majalah GAMMA, 28 Jul 1999

Tidak ada komentar: