Kamis, 17 Juli 2008

Mundur Dulu Nanti Menyerang

SENIN siang, saat istirahat makan, telepon seluler di tangan Bondan Gunawan terus berdering. Puluhan rekan dan wartawan bertanya apakah Bondan akan mundur dari kabinet, atau sedang menyusun berbagai serangan dalam kasus skandal Bulog. “Saya bilang, setelah tugas reorganisasi Setneg sudah tuntas mungkin akan mundur. Sebab, saya memang tak cocok di sini,” tutur Bondan, santai.

Sejak ditarik ke lingkungan Istana, awal Januari lalu, kehadiran Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) ini tak lepas dari kontroversi. Dalam kasus Gus Dur versus Amien Rais soal Aksi Sejuta Ummat di Monas, Gus Dur mendapat sorotan tajam. Gus Dur dianggap terlalu menganggap kecil aspirasi umat. Untuk pertama kali, kehadiran Bondan mulai terusik. “Ya sejak itu saya mulai risih,” katanya. Sejak itu, berbagai tudingan miring mengarah kepada adik pahlawan revolusi Brigjen Katamso ini.

Perjalanan hidup lelaki gempal kelahiran Kali Code, Yogyakarta, ini memang penuh warna. Bondan umum dikenal hanya sebagai aktivis Fordem. Padahal, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan Gerakan Sarjana Nasional Indonesia (GSNI) -dua-duanya Soekarnois- ini tercatat juga sebagai pengajar di Fakultas Teknik Geologi Universitas Trisakti. Ia juga cukup lama menjadi Rektor Universitas 17 Agustus di Banyuwangi (1989-1992).

Senin malam lalu, Bondan membuat keputusan menyentak. Jabatan Sekretaris Pengendalian Pemerintah dan Pjs. Sekretaris Negara resmi ditanggalkannya, justru ketika ia menghadapi akumulasi serangan politik, terakhir skandal Bulog. “Saya tidak ingin berlindung dengan baju kekuasaan,” tuturnya kepada Hariyadi, Chumairah, dan Rizki Yanuardi dari Gamma dalam dua kali kesempatan. Pertama, usai jumpa pers Senin malam dan dilanjutkan Selasa pagi, di rumahnya, di Jl. Pelikan, Bintaro Jaya. Berikut petikannya:

Keputusan mundur Anda terkesan mendadak?

Mundur itu hal yang biasa. Tapi, rumor kalau saya mau mundur atau mau diganti sudah beberapa waktu lalu.

Pengunduran diri Anda sudah disampaikan pada presiden?

Ya, dong. Tidak mungkin saya melangkah tanpa beliau tahu. Sekitar pukul 20.00-21.00 (Senin malam, Red.) kami mengobrol dan diskusi. Kami sampai pada kesimpulan lebih baik saya mundur untuk mengurangi beban beliau. Sebab, pada hakikatnya, serangan ini ditujukan pada Gus Dur. Beliau bisa memahami.

Jadi, bagaimana posisi persisnya. Anda yang meminta mundur, atau sebaliknya?

Sebagai orang Timur, saya tahu persis beliau mendapat cukup serangan. Dalam diskusi itu, saya yang menyampaikan keinginan mundur itu. Tapi, kami sebenarnya sama-sama tahu. Kami sudah lama bekerja sama. Sejak di Fordem kami bisa saling mengantisipasi, apa kehendak beliau, apa yang harus saya kerjakan. Sebagai teman, dengan body language saja, saya tahu bahwa beliau dalam suatu situasi pelik, saya perlu berbuat sesuatu. Itulah mengapa saya memilih mundur dan beliau setuju. Tapi, pertanyaan Anda mengundang tanya. Ada info apa kok nanya saya diminta mundur. Gus Dur itu kalau bersahabat sangat total demikian juga saya pada Gus Dur, tak mungkin Gus Dur meminta saya mundur.

Rencana mundur ini, apakah sudah terpikir lama sebelumnya? Atau karena terdesak skandal Bulog?

Sebenarnya sudah cukup lama. Posisi saya di sini kan sepenuhnya melayani presiden. Sejak orang merumorkan soal pembisik dan macam-macam, saya sudah risau dan risih. Mengapa kok kita melihatnya dari hal yang tidak enak. Mengapa mereka tidak mencoba melihat dari sisi positif. Nah, kalau saya tetap berada di dalam situasi itu akan bertahan terus. Tapi, kalau saya berada di luar saya bisa membantu dan bisa mendorong opini yang sesungguhnya terjadi bagaimna.

Anda menyimpulkan pengungkapan skandal Bulog ini bertujuan untuk menjatuhkan Gus Dur?

Itu analisis saya. Misalnya, konstitusi kita memberi ruang Sidang Umum MPR lima tahun sekali. Selain itu, setiap tahun diadakan sidang sekali. Kemudian, orang ngomong tentang sidang istimewa. Padahal, menurut ketetapan MPR, sidang Agustus nanti untuk menyampaikan progress report. Kemudian, soal usulan presiden untuk mencabut Tap MPR soal komunisme. Mengapa kita semua tidak mau berpikir bahwa presiden berpikir sangat-sangat konsepsional. Berangkat dari itu, saya merasa andai kata saya berada di luar dan kembali sebagai teman bukan sebagai pembantu beliau, saya akan jauh lebih punya keleluasaan untuk melakukan dukungan atau melakukan hal-hal yang lebih terbuka lagi daripada saya di dalam.

Tapi, publik akan menilai Anda kalah bertarung?

Kenapa Anda melihat ini sebagai pertarungan? Saya justru melihat keputusan ini untuk membuktikan bahwa siapa pun yang duduk di sini, seperti selalu saya omongkan, hanyalah pembantu presiden. Jadi jangan lagi presiden merasa tidak terbantu, atau malah terganggu oleh kehadiran karena kita. Saya tahu diri, saya tidak ingin presiden saya terganggu.

Jadi, apa yang hendak Anda capai?

Saya ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Saya tidak perlu menyombongkan diri, tapi setidaknya teman-teman tahu tentang saya. Dengan mundur berarti saya menjadi masyarakat biasa. Kalau saya masih dalam posisi pemerintah, dan melakukan pembelaan diri itu wajar. Tapi justru saya akan melakukan pembelaan dari serangan ini ketika saya sudah kembali, tidak menjadi pejabat tapi anggota masyarakat. Orang yang bertahan akan selalu mencari perlindungan yang dipahami sebagai kekuasaan. Dan saya tidak perlu berlindung di mana pun untuk menghadapi persoalan itu.

Dalam skandal Bulog, Anda mengaku sama sekali tidak bersalah. Berniat akan menyerang balik lewat proses hukum?

Persoalannya begini, siapa yang harus saya lakukan tindakan hukum? Misalnya, ada orang menyatakan Mbak Eva adalah saudara saya, apa bisa saya kenakan tindakan hukum. Jadi, ada insinuasi yang sengaja diciptakan. Lalu, dalam pemberitaan skandal Bulog seringkali dikasih tanda tanya. Apa yang mesti harus saya dilakukan. Itu kan bukan tuduhan. Dan Anda sah berbuat semacam itu. Makanya sama-sama kita lihat proses, kalau menyakitkan hati mungkin kita akan tempuh langkah itu.

Sebenarnya, bagaimana posisi Anda di mana dalam kasus Bulog?

Saya tidak tahu-menahu sama sekali (suaranya meninggi, Red.). Pertanyaan itu sangat menyinggung perasaan, kalau Anda mau tahu.

Begini. Sebab, dalam pengakuan tertulis Sapuan, sebelum jebolnya dana Bulog, Anda mengundang dia membicarakan penggunaan dana nonneraca, sekaligus membicarakan keinginan Gus Dur memanfaatkan dana itu untuk penyelesaian soal Aceh. Benar?

Pak Sapuan memang pernah diundang dua kali. Tapi bukan hanya dia, ada Dirjen Bea Cukai, Dirut Pertamina, Dirut PT Timah, dan beberapa pimpinan instansi lain. Tujuannya, selama ini katanya ada dana nonneraca yang sering menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Saya ingin menertibkan, dan bagaimana bisa diamankan dan harusnya semua dimasukkan ke kas negara. Jadi bukan berkaitan dengan persoalan Aceh. Jadi penjelasan Sapuan itu benar. Yang salah kemudian dikait-kaitkan.

Saya juga pernah mengundang Sapuan kembali saat Rizal Ramli akan dilantik sebagai Kabulog. Waktu itu saya ingin memberi saran-saran. Tapi, dia tak datang. Cara mengaitkan saya dengan pengakuan Sapuan itu masih kecil. Yang lebih jahat, pengaitan saya dengan Siti Ferika yang katanya keluarga saya. Dan kebetulan ada aliran uang ke Semarang saat saya ikut kongres PDI, sehingga tuduhannya saya memakai uang untuk kampanye PDI. Jelas sekali semua dicari-cari agar menjadi isu dan rumor.

Menurut Sapuan, Gus Dur sendiri katanya membutuhkan dana nonneraca Bulog itu untuk penyelesaian kasus Aceh. Benar?

Saya tidak tahu soal itu dan tak pernah dengar. Saya tak pernah bicara soal penggunaan dana baik dengan Sapuan maupun pimpinan instansi yang lain. Saya hanya bicara soal bagaimana mengamankan.

Fakta lain, saat Kongres PDI-P di Semarang, begitu banyak spanduk mendukung Anda. Apa sebenarnya proyek Anda dengan PDI Perjuangan?

Tujuan saya hanya satu, untuk menegakkan demokrasi. Demokrasi mutlak memerlukan hadirnya partai politik yang tidak hanya menjadi kendaraan. Saya datang ke Semarang tujuannya ingin mendorong agar PDI-P bisa menjadi partai yang benar. Tak pernah saya mencari dukungan. Justru saya datang untuk menghargai orang yang mendukung saya. Jadi, kecurigaan itu sama sekali salah. Saya tidak pernah memakai tim sukses segala macam apalagi bagi-bagi duit. Spanduk-spanduk itu juga buatan orang yang mendukung, yang tak pernah saya tahu.

Masa nggak pernah ngasih dana untuk semua itu?

O, tabu bagi saya untuk kegiatan semacam itu dengan uang.

Meski sebentar, Anda sempat juga di pusat kekuasaan. Ada yang paling berkesan?

Kita masuk dalam kekuasaan yang saya gambarkan sebagai hotplate. Segala macam rencana yang dulu ada harus menunggu. Harus tetap melihat secara cerdas dan jernih agar kita tidak macet atau tidak terlibat dalam kungkungan sistem yang selama ini dipakai untuk kepentingan penguasa. Kita harus mengubah menjadi sistem yang menjadi berpihak pada rakyat. Dan proses itu ternyata tak sesederhana seperti yang saya bayangkan waktu belum masuk.

Kapok menjadi pejabat?

Yang jelas saya tidak akan kapok berjuang. Apa pun konsekuensinya. Bagi saya, jabatan bukan obsesi dan tujuan. Begitu juga yang terjadi pada Gus Dur. Gus Dur tidak pernah punya cita-cita jadi presiden, tapi kenapa akhirnya jadi. Perjuanganlah yang menghendaki. Ketika saya dipanggil Gus Dur untuk membantu, yang terpikir oleh saya ya inilah konsekuensi perjuangan. Jadi bukan persoalan kapok atau tidak.

Muchlis Ainurrafik
Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 15-2 - 06-06-2000

Tidak ada komentar: