Kamis, 17 Juli 2008

Bingung dan Membingungkan

Sabar, tersangka pelaku pembacokan Matori mengundang kontroversi. Selain membawa bendera Islam radikal, Sabar juga membawa pesan anti-PKI.

WAJAH Nurfaizi sungguh cerah. Mengenakan jaket kulit berwarna hitam, penampilan Kapolda Metro Jaya ini dalam acara GARDU di Indosiar bak artis top saja. Seting acara yang dipandu budayawan Emha Ainun Najib memang santai. Tapi, sesungguhnya bukan karena itu saja Nurfaizi tampil santai. “Pelakunya sudah diketahui. Tinggal kita tangkap saja,” ujarnya.

Yang dimaksud Nurfaizi adalah tersangka pelaku penganiayaan atas Matori Abdul Djalil, yang berlangsung Ahad, 5 Maret lalu. Pengakuan Nurfaizi di televisi itu berlangsung Kamis, 9 Maret, hanya empat hari setelah peristiwa terjadi. “Tadi kita cek, tersangka sedang pergi,” sambung Nurfaizi.

Benar saja. Malam itu juga, sekitar pukul 11 malam, aparat Reserse Polda Metro Jaya berhasil menyergap Sabar, tersangka pelaku, di Perumahan Total Persada Raya, Blok I 2/12, Kel. Doyong, Kec. Jatiuwung, Tangerang. Dari tempat Sabar disergap, polisi menemukan satu unit senjata api laras panjang, dua senjata genggam rakitan, pakaian yang digunakan pada saat operasi (masih terdapat noda darah di bagian belakang), dan uang tunai sebanyak Rp 130.000.

Luar biasa cepat. Hanya empat hari setelah peristiwa. Padahal, kesaksian dari korban, Matori Abdul Djalil sendiri, baru berlangsung 30 menit sebelumnya. Tapi, bukan kecepatan Nurfaizi saja yang mengagetkan. Yang lebih membuat kaget adalah pengakuan tersangka. Sabar alias Achmad Tazul Arifin mengaku tidak mengenal Matori. Pemuda ini hanya mengaku mendapat perintah dari seseorang bernama Zulfikar untuk menghabisi orang-orang PKI. Alamat yang ditunjuk Zulfikar adalah Jalan Elang Mas II Blok C-7/12, yang tak lain adalah rumah Matori, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.

Kepada polisi, Sabar -kelahiran Jakarta, 27 Juli 1966- juga mengaku pernah terlibat dalam perampokan BCA pada 15 April 1999. Mantan karyawan PT Mayora yang pernah menjadi Mahasiswa Akademi Manajemen Indonesia ini juga mengaku sebelumnya sudah merencanakan aksi kekerasan itu. Rapat persiapan berlangsung pada 2 Maret 2000, di rumah Zulfikar di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Oleh Zulfikar, Sabar mendapat tugas mengantar Tarmo alias Sarmo untuk “menghabisi Matori”.

Untuk proyek itu, Zulfikar menyiapkan sebuah sepeda motor RX King, dua buah penyeranta (pager) dan uang Rp 400.000, serta senjata api FN 46 berikut pelurunya. Tugas membunuh ada di pundak Sarmo alias Tarmo. Sementara, Sabar ditugasi mengamankan situasi dengan pistol FN 46 di tangan. Sabtu, 4 Maret, sehari sebelum peristiwa, Sabar bersama Sarmo mengaku sudah melakukan pengintaian.

Keberhasilan aparat kepolisian ini mestinya disambut gembira. Sayang, yang muncul justru kontroversi. Pemicunya bukan orang lain, melainkan justru Nurfaizi sendiri. Di luar fakta-fakta yang masih serba minim itu, Nurfaizi justru bernyanyi soal lain yang lebih serius.

Dalam wawancara dengan SCTV, Jumat sore, Nurfaizi berteori macam-macam. Sabar alias Achmad Tazul Arifin, jelasnya, selain terkait dengan kasus pengeboman BCA Hayam Wuruk April tahun lalu, juga diduga terlibat sebuah kelompok ekstrem kanan barlabel Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN). “Boleh jadi kelompok ini sudah disusupi oleh PKI,” tutur Nurfaizi lebih jauh. Sebelumnya, Jumat siang, Nurfaizi beserta jajaran reserse Polda Metro Jaya sudah menggelar jumpa pers yang juga ganjil.

Selain membeberkan hasil penyelidikan terhadap tersangka pelaku dan sejumlah alat bukti, Nurfaizi juga menghadirkan sang pelaku, Sabar alias Achmad Tazul Arifin.

Kepada ratusan wartawan yang membuat sesak ruangan pers Mapolda Metro Jaya, Sabar mengakui semua cerita versi Nurfaizi. “Tapi, saya tidak tahu yang dibunuh itu Matori,” tutur Sabar kepada wartawan. “Zulfikar hanya bilang, ada orang PKI yang mau dibunuh. Saya ditugaskan untuk mengantar Sarmo membunuh orang itu,” sambung Sabar.

Hasil penyelidikan aparat kepolisian ini tak urung mengundang kontroversi. Banyak pihak tidak yakin dengan hasil penyelidikan polisi. “Itu hanya cara aparat mencari-cari kambing hitam,” tegas pengamat politik Mochtar Pabottingi, mengomentari muncul kembalinya AMIN dalam kasus ini. Kekesalan Mochtar ada alasannya. Polisi, menurut Mochtar, bukan kali ini saja menuding kelompok AMIN ini berada di balik sebuah aksi kekerasan.

Kelompok yang sama sebenarnya sudah menjadi sasaran aparat sejak peristiwa pengeboman Istiqlal dan pengeboman BCA Hayam Wuruk berlangsung setahun lalu. “Jadi, saya heran, mengapa polisi mengulangi cara yang tidak bertanggung jawab, melemparkan sasaran kepada kelompok yang sebetulnya tidak ada,” tukas Mochtar.

Kriminolog UI Erlangga Masdiana menilai polisi sedang membelokkan arah. Keterkaitan kasus Matori dengan kelompok AMIN -yang sebelumnya dituding juga mengotaki pengeboman Istiqlal- menurut Erlangga tak lebih sebagai cara polisi melakukan kamuflase, mengalihkan perhatian. Tujuannya? “Terus terang, kasus ini mengancam kredibilitas polisi. Kalau tidak segera ditemukan pelakunya, sudah pasti polisi bakal menjadi bulan-bulanan masyarakat,” tutur Erlangga.

Proses kamuflase ini, jelas Erlangga, sudah biasa dilalukan polisi. Bahkan, Erlangga berani mensinyalir, aparat kepolisian selama ini memang memiliki hubungan khusus dengan kelompok-kelompok masyarakat yang biasa diajak terlibat dalam proyek seperti ini. “Ada kelompok yang ‘dipelihara’ oleh mereka untuk kepentingan polisi itu sendiri. Artinya, ketika polisi membutuhkan, kelompok tersebut juga bisa dikorbankan menjadi tersangka,” tutur Erlangga.

Tuduhan Erlangga mungkin terlalu jauh. Tapi, apa mau dikata, kasus Matori dan penyelidikan yang dilakukan polisi memang sejak awal sudah telanjur penuh tanda tanya. Pistol jenis FN 46 standar militer yang ada dalam genggaman Sabar, misalnya, sejak awal mengundang kecurigaan soal adanya jejak-jejak militer dalam kasus ini. Dalam proses penyelidikan, keberadaan jejak itu ternyata semakin jelas. Dalam proses identifikasi penyeranta milik pelaku misalnya, tiba-tiba muncul dua versi keterangan.

Saksi kunci bernama Herry, pemilik warung di dekat rumah Pangdam Jaya Ryamizard Ryacudu di Tanjung Barat, misalnya kepada wartawan mengatakan, dia yang pertama kali menemukan penyeranta dan lalu menyerahkan ke polisi. Belakangan, Herry mengaku menerima telepon dari “Cijantung” untuk mengamankan penyeranta itu. Belakangan pula, Pratu Sukirno -penjaga rumah Pangdam Jaya- menyatakan bahwa yang pertama kali menemukan penyeranta itu adalah Tikno, pembantu rumah Pangdam di Jl. Bandeng Raya, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Anehnya, Tikno kemudian menyerahkan penyeranta ke Herry, bukan kepada Kirno yang notabene adalah aparat keamanan.

Seorang perwira menengah di lingkungan Polda Metro Jaya bahkan mensinyalir telah terjadi pembelokan dan saling telikung dalam proses penyelidikan kasus Matori ini. Kepada Harian Berita Buana, Sabtu, 11 Maret lalu, sang perwira mensinyalir penyelidikan yang dilakukan oleh Kapolres Jakarta Selatan sebenarnya sudah mengarah pada pelaku yang sebenarnya. “Tapi, rupanya pihak Polda Metro Jaya memotong penyelidikan itu, dan membelokkan ke arah lain,” tutur sumber tersebut.

Penuturan sang perwira ini klop dengan analisis kriminolog Erlangga Masdiana. Pihak Polda Metro Jaya, menurut Erlangga, seperti sudah disebut di atas, sedang membangun skenario kamuflase. Soalnya, untuk apa? “Agendanya saya kira jelas, menyudutkan kelompok Islam,” tegas aktivis Islam Al Chaidar.

Al Chaidar mengakui, di kalangan aktivis Islam, memang ada sayap radikal yang menghalalkan aksi kekerasan. “Saya sering didatangi seorang tokoh yang bicaranya selalu soal senjata,” tutur mantan aktivis Negara Islam Indonesia ini. Namun, dalam kasus penganiayaan Matori, Al Chaidar menegaskan kecil kemungkinan aksi itu dilakukan oleh sayap radikal ini. “Saya tahu betul, mereka sangat terlatih dalam aksi-aksi bersenjata. Tidak seperti yang menimpa Matori,” tandas Al Chaidar.

Tapi, keberadaan AMIN juga diakui Al Chaidar. “Saya pernah diundang dalam acara pengajian mereka,” lanjutnya. Menurut catatan Al Chaidar, kelompok AMIN ini berdiri pertengahan 1998. “Pendirinya K.H. Syamsuri, orang dari Malaysia,” tambahnya. Oleh pengikutnya, K.H. Syamsuri ini dicitrakan sebagai keturunan Kahar Muzakkar, tokoh DI/TII. “Pencitraan itu efektif. Dalam sebuah pengajian di Tasikmalaya, yang hadir ribuan,” lanjut Al Chaidar.

Dalam waktu singkat, AMIN mampu merekrut ribuan pengikut di Tasikmalaya, Garut, dan daerah Bandung. Dalam beberapa kali dialog dengan K.H. Syamsuri, Al Chaidar melihat kelompok AMIN berpaham radikal. “Dia sering menyebut contoh dari dunia kedokteran. Untuk menyembuhkan sebuah penyakit yang kronis, seorang pasien kalau perlu harus dioperasi,” ujar Al Chaidar menirukan argumen K.H. Syamsuri. Dalam perdebatan itu, Al Chaidar mengaku sering mengajukan argumen lain, dengan tujuan menetralisir pemahaman mereka tentang penggunaan kekerasan. “Tapi, kelihatannya mereka ngotot, sulit dinetralisir,” tandas Al Chaidar. Belakangan, baru Al Chaidar mendengar informasi bahwa rupanya paham radikal dan kekerasan itu sudah diplot. “Saya mendapat informasi ada sejumlah tokoh militer yang masuk ke kelompok ini,” tandas Al Chaidar.

April 1999, kantor cabang Bank BCA di Hayam Wuruk diledakkan lalu dirampok. Rozak, salah seorang pelaku yang tertangkap mengaku anggota AMIN, yang sedang menjalankan proyek penggalangan dana. “Target saya merampok 10 bank,” tutur Rozak. Tidak sampai sebulan kemudian, giliran Istiqlal dibom.

Berdasarkan pengakuan Rozak, pelaku pengeboman BCA, polisi juga menuding AMIN ada di belakang aksi pengeboman Istiqlal. Dua peristiwa di atas sudah berlangsung hampir setahun. Selama itu, aparat belum berhasil membongkar jaringan lengkap kelompok AMIN ini.

Mestinya, bila benar ada jaringan kelompok ini, dan bila benar aksi-aksi mereka berbau kekerasan, aparat kepolisian sudah harus bisa membongkarnya. Sayang, sementara nasib pengusutan terhadap pelaku pengeboman Istiqlal maupun pengeboman BCA belum jelas, tiba-tiba muncul kasus baru.

Alex Bambang Riatmodjo, Kaditserse Polda Metro Jaya, menegaskan keterkaitan kasus-kasus ini dengan kelompok AMIN, dari sandi-sandi yang ada dalam penyeranta. “Sandi yang ada dalam pager pembacok Matori mirip dengan yang ada dalam pager yang ditemukan dalam kasus pengeboman BCA,” tutur Alex.

Motif menyudutkan Islam yang disebut Al Chaidar bisa saja benar. Faktanya, pengakuan Sabar tidak hanya menunjuk kelompok AMIN, tapi juga menghidupkan lagi hantu PKI. “Saya hanya disuruh menghabisi orang PKI,” ujar Sabar tanpa ekspresi.

Di mata Dr. Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi politik, dua penggal fakta ini sebenarnya bisa menunjuk motif dan kelompok di balik aksi teror terhadap Matori ini. “Dalam analisis komunikasi politik, yang harus kita tanyakan adalah siapa yang diuntungkan dalam kasus ini,” tukas Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat. Siapa? Kang Jalal enggan menyebut. “Nanti kalau saya menyebut, dan ternyata pas, saya bisa dituding provokator,” ujarnya sambil tertawa. Yang jelas, siapa pun kelompok ini, dari cara mereka menggunakan kekerasan, “Tentu mereka sangat serius, dan punya kepentingan yang serius pula,” sambung Kang Jalal.

Kriminolog Erlangga Masdiana dan Effendi Choiri, orang kepercayaan Matori, menyebut kasus yang menimpa Matori berkait dengan proses transisi dan persaingan faksi-faksi di lingkungan militer. Kang Jalal tidak membantah. “Saya tidak berani menuduh ini TNI, tapi TNI memang punya sejarah tradisional dalam berbagai aksi penggunaan kekerasan,” tutur Kang Jalal. “Tapi, kita tidak bisa mencap ini single out pekerjaan mereka. Tentu ada juga kerja samanya dengan berbagai kelompok di lingkungan sipil,” tandas Kang Jalal. Tujuannya, jelas Kang Jalal, satu: melestarikan kekuasaan. “Bagaimanapun, kata Karl Marx, tidak ada seorang pun yang akan menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela,” tegas Kang Jalal.

Mengikuti analisis ini, jelas kasus yang sedang dihadapi aparat kepolisian bukan sembarangan. Dari bawah, polisi menghadapi tekanan publik begitu besar. Sementara, kalau benar proses transisi di lingkungan elite politik ikut berbicara dalam kasus ini, itu jelas menjadi tekanan lain dari atas yang tak kalah berat.

Dalam posisi seperti itu, pengamat politik Mochtar Pabottingi mengharap polisi berlaku profesional. “Jangan mengulang cara Orde Baru, dengan mencari kambing hitam yang sebenarnya tidak ada,” tegas Mochtar Pabottinggi. Tapi kalau benar ada, ya buka saja agar jelas bagi semua.

Muchlis Ainurrafik, Wuri Hardiastuti, Julie Indahrini dan Paulus Winarto (Bandung).

Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 04-2 - 21-03-2000

Tidak ada komentar: