Kamis, 17 Juli 2008

Rhoma Irama: Assalamu'alaikum, Saya Numpang Jihad

Tabloid Paron No. 21, 28 September 1996

Raden Haji Oma Irama, lebih dikenal sebagai Rhoma Irama, membuktikan dirinya tetap seorang "raja". Rhoma adalah "Satria Bergitar" yang –menurut William H. Frederick, sosiolog dari Universitas Ohio, Amerika Serikat– mampu menggoyang sekitar 15 juta penggemarnya di tanah air. Ketika terjun menjadi juru kampanye PPP pada 1977, partai berlambang Ka’bah –ketika itu– menyabet 26,70% suara di DKI, mengungguli Golkar. Sekali lagi Rhoma menyemarakkan Partai bintang pada Pemilu 1982.

Setelah itu, Rhoma, kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, seperti surut dari hingar-bingar panggung politik. Ia memilih netral: "tak di mana-mana, tapi di mana-mana" –meminjam istilah da’i kondang Zainuddin MZ, sahabat Rhoma. Sikap itu diambilnya setelah ia mengalami pencekalan: Rhoma dan Soneta (grup musiknya) tak boleh tampil di TVRI. Ketika itu TVRI masih satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.

Tapi, surutnya Rhoma di panggung politik tak menyurutkan langkahnya di panggung hiburan. Pentas musiknya tetap dibanjiri penggemar. Musik Soneta sendiri ia proklamirkan sebagai "voice of moslem". Film-filmnya masuk box office.

Rhoma kembali membuat berita ketika tiba-tiba namanya tercantum dalam nomor jadi calon legislatif (caleg) Golkar untuk wilayah DKI. Keputusan ini tentu saja mengejutkan. Orang pun bertanya-tanya.

Kepada Mursidi Hartono, Muchlis Ainurrafik, Aris Mohpian Pumuka, Yani Winarni, dan fotografer Kushindarto dari Paron, Rhoma menjawab semua gunjingan itu. Suaranya pelan, kutipan ayat-ayat Alqur'an meluncur dengan fasih di sela-sela jawabannya. Sebuah tasbih kecil tak lepas dari tangannya. Wawancara berlangsung dua kali, Senin dan Selasa pekan lalu, di studionya di kawasan Depok, Jawa Barat. Petikannya:

Apa yang melatarbelakangi Anda terjun ke dunia politik?
Sebetulnya politik itu salah satu fitrah manusia. Manusia itu makhluk politik. Yang membuat saya interes pada politik, katakanlah keberpihakan saya pada PPP dulu, karena motif agama.

Maksudnya?

Islam itu, sebagaimana firman Allah, alyauma akmaltu lakum dinakum (hari ini telah Aku sempurnakan agamamu). Jadi, Islam itu agama yang sempurna. Dan politik adalah bagian dari ke-kaaffah-an kita dalam beragama. Soal besar-kecilnya kegiatan politik saya, ya itu tergantung situasi dan kondisi.

Panggilan agama itukah yang dulu membuat Anda menjadi juru kampanye PPP?

Saya melihat, dulu, di sana (PPP) ada asas Islam. Islam berjuang. Saat itu saya merasa wajib hukumnya mendukung PPP. Islam itu kan luas, di dalamnya terkait demokrasi, Pancasila, dan lainnya. Itulah motivasi saya ke PPP. Tapi, saya tak perlu merasa "masuk" ke dalam partai. Kini pun saya tidak merasa "keluar" dari PPP. Saya kan tidak pernah menjadi fungsionaris partai, tidak menjadi anggota PPP. Istilahnya, saya di sana hanya numpang jihad.

Tapi, gara-gara aktif di PPP ruang gerak Anda jadi dibatasi?

Saya out, keluar, karena saya tidak punya motivasi lagi. Itu hampir sepuluh tahun.

Mengapa?

Saya ingin mengambil bagian dalam pengembangan ukhuwah Islamiyah, tanpa harus membawa simbol sebuah partai. Kondisi ukhuwah Islamiyah saat itu sangat parah. Bahkan ada kecenderungan saling mengkafirkan. Ada semacam gap antara umat Islam PPP dan Islam Golkar. Nah, setelah asas tunggal, Golkar mengajak saya untuk masuk. Itu pada tahun 1987.

Tanggapan Anda atas ajakan Golkar?

Waktu itu saya jawab, "Perkenankanlah saya berdiri netral agar dapat menjadi mediator bagi umat Islam." Gap yang terjadi pada 1982 kan masih terasa. Saya melihat perlu ada orang-orang netral yang menjembatani keduanya, untuk membangun kesatuan dan persatuan nasional. Persatuan dan kesatuan nasional mutlak memerlukan ukhuwah Islamiyah, karena Islam menjadi mayoritas dari bangsa ini.

Lalu, alasan Anda menerima tawaran Golkar sekarang ini?

Sekarang ini tidak ada lagi partai Islam. Dan saya melihat komitmen keislaman Golkar sangat baik dibanding dulu. Saat ini Golkar cukup kondusif menciptakan kehidupan keagamaan, terutama bagi perkembangan Islam. Ini dirasakan umat.

Siapa yang menawari Anda masuk Golkar?

Seorang perwira tinggi ABRI. Masih aktif (ketika Paron menyodorkan dua nama perwira tinggi ABRI, seorang mayor jenderal dan seorang jenderal yang dikenal akrab dengan Rhoma, ia cuma tersenyum). Beliau menelepon langsung, dan bilang, "Apakah Anda bersedia mengoptimalkan, memaksimalkan, dan mengamalkan potensi yang ada pada Anda untuk bangsa dan negara?"

Kabarnya Anda kenal dekat dengan "beliau"?

Ya, saya kenal baik. Sebelum ini, saya dan "beliau" sudah sering dialog.

Menurut Anda, mengapa Golkar menawari Anda menjadi calegnya?

Pertanyaan itu bukan untuk saya. Saya hanya bisa meraba-raba. Tapi, itu tidak etis saya ungkapkan. Seharusnya merekalah yang menjelaskan. Kalau saya juga yang menjawab, itu onani, dong.

Anda hanya perlu waktu 45 menit untuk mengatakan "ya". Begitu cepat?

Tidak secepat itu. Enam tahun saya mempertimbangkan tawaran mereka. Waktu 45 menit itu hanya untuk mengatakan "oke".

Ketika Anda memutuskan untuk gabung dengan Golkar, apakah ada tanggapan dari orang-orang PPP?

Saya tidak perlu tanggapan mereka, dan memang mereka tidak ada yang menaggapinya. Mereka tahu motivasi saya berada di PPP. Saya katakan sejak awal, "Assalamu’alaikum, saya numpang jihad di sini." Motivasi saya hanya satu: amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Selain itu, juga karena tidak ada sesuatu pun yang saya minta dari PPP. Saya tidak dibayar, tidak diberi jabatan, bahkan saya harus membayar.

Oh, begitu ya….

Saya kampanye biaya sendiri, dan besar itu….

Sebagai mantan sahabat PPP, Anda tak menghubungi mereka ketika mengambil keputusan menerima tawaran Golkar?

Mana ada mantan sahabat. Sahabat itu dunia-akhirat. Dan PPP itu teman saya dunia-akhirat, kalau komitmen mereka juga dunia-akhirat, yaitu izzul Islam wal Muslimin. Artinya, kalau orang berbicara soal Islam, tentu komitmennya sama. Yang berbeda kan pilihan taktik dan strateginya. Tapi, jangan karena pilihan ini kita menjadi terkotak-kotak. Makanya saya tidak ingin membuat polemik dengan teman-teman PPP. Dan bagi saya, tidak ada istilah lawan politik. Yang ada, mitra politik.

PPP mengklaim membawa aspirasi umat Islam, demikian juga Golkar. Tapi, kenapa yang Anda pilih Golkar?

Saya memang melihat hal itu di PPP. Tapi, kesempatan yang dimiliki tidak sebesar Golkar. Saya nilai, PPP kurang efektif.

Anda mengatakan Golkar lebih kondusif menciptakan suasana keagamaan. Contohnya?

Dulu, di berbagai instansi Pemerintah, jangankan ada orang yang membawa sajadah dan salat, mengucapkan salam saja sudah dicurigai…. Ini orang PPP, nih…. Orang lalu takut mengucapkan salam, takut salat, takut naik haji. Setelah Pak Harto pergi haji, kehidupan agama begitu semarak. Di elit penguasa, di tiga jalur Golkar, kita lihat sekarang komitmen agama ini begitu kental. Di bulan Ramadan, tidak ada pejabat yang tidak mengadakan tarawih, tidak ada juga pejabat yang tidak mempunyai majelis taklim.

Itu yang Anda sebut sebagai sistem kondusif?

Kalau itu dilakukan secara serempak dari rakyat kecil sampai Presiden, saya rasa tulus. Kegiatan-kegiatan itu bukan lagi dipandang sebagai kewajiban, tapi mereka begitu asyik menikmati kehidupan beragama tersebut. Ini adalah suatu hidayah, bukan rekayasa. Mana bisa hidayah direkayasa.

PPP menang di DKI ketika Anda menjadi juru kampanye pada 1977. Kabarnya Golkar kini merekrut Anda karena ingin meraih suara mayoritas di DKI?

Kalau saya sih positive thinking saja. Kalau ada yang berpikir begitu, ya saya bersyukur. Karena kata Nabi, khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau saya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, why not? Saya tahu, itu memang salah satu alasan Golkar menarik saya. Bagi Golkar sendiri, buat apa menarik orang yang tidak potensial.

Anda yakin bisa memenangkan Golkar seperti Anda memenangkan PPP dulu?

Keyakinan dan optimisme itu mutlak menjadi pakaian kita. Kalau nggak yakin menang di Jakarta, ngapain.

Dalam kampanye 1977, Anda pernah mengatakan, orang Islam yang tidak mendukung partai Islam atau perjuangan Islam karena takut kehilangan kedudukan, itu munafik. Anda ingat?

Ya, orang Islam yang tidak ingin Islam maju, itu munafik. Tapi, setelah asas tunggal, sekarang ini kan tidak ada partai Islam. Dalam kampanye 1977 itu saya menggunakan ayat la yattakhidz al-mu’minin al-kafirin awliya’a min dunil mu’minin. Jangan seorang mukmin itu mengambil orang kafir untuk menjadi pemimpin.

Kalau ayat yang akan Anda bawa untuk kampanye 1997?

(Tertawa) Ya, barangkali wa’tashimu bihablillah jami’a wala tafarraqu. Berpegang teguhlah pada tali ajaran Allah, dan janganlah bercerai-berai.

Anda pernah dicekal tampil di TVRI. Bagaimana ceritanya?

Ya, memang. Tak ada surat resmi pencekalan, tapi saya merasakan. Dari tahun 1977 sampai 1982, saya memang pendukung PPP. Itu konsekuensi logis dalam perjuangan. Saya merasa pengorbanan itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Pencekalan itu terlalu ringan. Dan yang membuat saya bahagia, karena motivasi dan komitmen saya untuk Islam tidak pernah berubah. Saya tetap mantap, tidak ragu-ragu.

Waktu pecah "Peristiwa Priok 1984", Anda sempat ditahan di Kodam Jaya. Anda memang punya hubungan dengan peristiwa itu?

Gimana, ya. Dibilang ditahan nggak, tapi nggak ditahan kok nggak pulang selama 42 hari. Cuma tidak masuk dalam sel. Saya ditempatkan dalam satu ruang, diberi tempat tidur. Saya cuma dimintai keterangan.

Keterangan apa saja?

Saya ditanya tentang keterlibatan saya dalam peristiwa itu. Tapi, ya tidak ada apa-adanya karena saya memang tidak tahu-menahu. "Peristiwa Priok" itu, menurut saya, merupakan spontanitas, tidak direncanakan, tidak ada planning. Pada saat kejadian, saya sedang syuting film Pengabdian di Pasuruan (Jawa Timur). Jangankan saya, Salim Kadar, teman Amir Biki, yang ada di Jakarta pun tidak tahu.

Salim saat itu tanya kepada Amir Biki. "Ada apa ini?" Amir Biki jawab, "Lihat saja nanti." Jadi Salim sendiri yang berada di lokasi (Tanjung Priok) tidak ngerti. Itu memang benar-benar spontanitas Amir Biki.

Jadi?

Waktu itu saya sekadar dimintai keterangan, karena saya memang dekat sekali dengan Amir Biki.

Sejak kapan Anda kenal Amir Biki?

Kami sama-sama di PPP….

Lengkingan mandolin dan hentakan ketipun dari studio menembus ruang kerja Rhoma. Sore itu sebenarnya Rhoma sudah ditunggu anak buahnya di Soneta Group untuk latihan persiapan pentasnya di Malaysia. Rhoma datang ke studionya dengan mobil Cherokee warna biru tua yang dikemudikan sendiri. Begitu turun, seluruh personel berdiri menyambutnya, mengucapkan salam "Assalamu’alaikum", dan mencium tangannya.

Rhoma seperti kiai di awak Soneta. Tak hanya anak band, tapi juga karyawan dan para tamu memanggilnya dengan sebutan "Pak Haji". Setidaknya, sepuluh di antara 14 anggota Soneta ia biayai naik haji. Aroma Islam memang sangat kental melingkupi markas Soneta. Bukan saja seluruh dindingnya dicat warna hijau dan tempelan kaligrafi di mana-mana. Setiap personil juga biasa saling mengingatkan, "Sudah salat atau belum?"

Sementara salam Islam bersahutan, di halaman belakang studio ada sepasang kijang sedang merumput. Di belakangnya lagi, ada bangunan tempat menyimpan peralatan pentas. Setiap ada undangan manggung, Rhoma selalu membawa peralatan sendiri, mulai dari lighting, sound system, dan keperluan artistik panggung. "Jumlahnya mencapai tujuh truk," kata Haji Usman, pemain keyboard Soneta.

Kalau Anda sudah di DPR, bagaimana masa depan Soneta?

Tetap. Bahkan akan lebih saya intensifkan. Karena Soneta itu power Rhoma Irama. Selama ini saya banyak waktu luang. Dari pagi sampai pukul satu siang, misalnya, saya free. Biasanya saya pakai untuk membaca. Jadi aktivitas saya nanti di DPR tidak akan mengambil waktu saya bermain musik dan aktivitas dakwah.

Apa tidak lucu, anggota DPR naik panggung, pegang gitar, dan berdangdut-ria?

Saya tetap seorang musisi, bukan politisi. Musik itulah senjata saya untuk membangun bangsa ini. Lewat musik saya berjuang. Jangan sampai orang yang duduk dalam legislator tidak sesuai dengan bidangnya. Makanya, di DPR nanti saya akan masuk ke komisi yang membawahi masalah budaya, jangan masuk bidang luar negeri, misalnya. Jadi, the right man on the right place. Kalau kita duduk di bidang yang tidak dikuasai, namanya badut politik.

Anda sudah punya konsep dan program yang akan disampaikan kalau duduk di DPR nanti?

Belum sampai sanalah. Tapi, mungkin saya akan mengajak untuk mengantisipasi ancaman globalisasi, baik dalam bidang aqidah maupun budaya.

Bagaimana Anda melihat ancaman globalisasi bagi musik kita?

Oh, sangat dahsyat. Banyak sekali muatan budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita. Budaya kita, sesuai dengan Pancasila, kan harus bernilai ketuhanan, kemanusiaan, dan sebagainya. Kalau tidak mempunyai nilai-nilai seperti itu kan berarti bertentangan. Contohnya, Hong Sui. Itu kan kita kecolongan. Hong Sui kan pandangan Cina yang menurut ajaran Islam khurafat takhayul.

Berapa Anda dibayar untuk sekali pentas?

Kalau bayaran relatif. Yang jelas, biaya operasionalnya saja paling sedikit Rp50 juta. Jadi, bayarannya tentu di atas angka itu.

Apakah personel Soneta Anda wajibkan masuk Golkar?

Dengan sendirinya demikian. Karena hakikatnya, kami adalah satu, Rhoma adalah Soneta, Soneta adalah Rhoma. Jadi, dalam segala hal kami seiring-sejalan, sekata.

Bagaimana bila ada satu yang memilih lain?

Tidak. Tidak ada. Ini sudah komitmen bersama. Saya katakan pada mereka, selama saya berada di jalan Allah, patuhlah. Dan bila saya menyimpang dari jalan Allah, tegurlah.

Anda menempatkan diri sebagai "imam" di Soneta?

Ya, selagi saya berada di jalan Allah.

Anda menganggap masuknya Anda ke DPR sebagai jalan Allah?

Ya, sesuai dengan niat saya.

Dalam kampanye-kampanye nanti Soneta juga dilibatkan?

Jelas, karena Soneta adalah senjata saya. Soneta adalah power saya dan Soneta adalah pakaian kebesaran saya. Jadi, kalau saya jadi legislator, bukan berarti saya akan meninggalkan atau mengecilkan peran Soneta. Soneta akan saya jadikan benteng dari budaya-budaya asing. Soneta harus bisa mengikuti perkembangan musik dunia, sehingga mampu bersaing dengan grup-grup musik luar.

Musik Soneta kan juga mengambil unsur asing. Ada warna rock dan hentakan perkusi India, misalnya?

Kalau saya mengambil unsur rock, misalnya, itu semata strategi, agar musik dangdut tetap bisa kompetitif dengan musik lain. Seperti juga tentang masalah lighting, sound system, dan penataan artistik panggung.

Lalu apa bedanya antara musik Anda dengan musik yang Anda kritik sebagai meniru?

Saya tidak meniru, tapi meramu, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Saya tidak merasa rendah untuk bersaing dengan Michael Jakcson, Mick Jagger, misalnya. We are not western, we are not India, we are not something different. Kita sebagai bangsa akan punya kebanggaan bahwa musik dangdut tidak kalah dengan musik-musik yang lain. Sebagai legislator, saya akan menjadikan Soneta sebagai salah satu langkah antisipatif bagi kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia.

Soneta adalah alat dakwah Anda. Bagaimana bentuk dakwah politik Anda nanti?

Selama ini saya melakukan dakwah lewat jalur informal, lewat musik. Dengan menjadi anggota DPR, saya akan mendapatkan jalur formalnya. Itu berarti semakin mengokohkan kegiatan dakwah, sehingga konstitusional.

Jalur informal itu tidak konstitusional?

Jalur informal sudah saya lakukan. Tapi, dengan jalur formal, saya harapkan bisa lebih mantap. Bukan mengganti jalur informal dengan jalur formal, tapi menambahkan.

Selama 10 tahun tekhir, Anda memposisikan diri sebagai orang netral. Sekarang orang mungkin akan berpersepsi Rhoma is Golkar. Sudah Anda pikirkan?

Ini yang akan saya buktikan bahwa saya bisa melakukan itu. Saya akan buktikan. Itu tantangan, bagaimana saya harus dapat meyakinkan umat, bahwa keberadaan saya di PPP, di Golkar, adalah sama. Amar ma’ruf nahi munkar. PPP atau Golkar itu hanya sarana.

Bagaimana jika ada penggemar Anda yang tidak rela Anda masuk salah satu partai politik?

Selama dia belum mengetahui niat saya yang sebenarnya, hal itu bisa saya maklumi. Tapi, bila mereka sudah tahu niat saya, saya yakin tidak akan ada masalah. Insya Allah mereka dapat menerima, dan itu semua saya lakukan juga demi mereka.

Dalam dunia politik, "Tidak ada kawan atau lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati." Anda tampaknya memahami benar artinya?

Makanya, tidak perlu ada buruk sangka dengan umat yang ada di PPP atau PDI. Kalau niat sama, tidak ada masalah. Kita satu. Dan ini yang ingin saya buktikan. Rhoma tidak berubah. Rhoma tidak akan mengkotak-kotakkan umat. Saya tidak punya vested interest.

Dalam pentas kampanye nanti, Anda akan memakai atribut Golkar atau atribut Islam seperti selama ini?

I am a Moslem.

Studio Anda yang bercat hijau ini juga tidak akan diganti warna kuning?

Nggak usah begitu. Yang penting kan amaliahnya.

Tidak ada komentar: