Kamis, 17 Juli 2008

Dilarang Malah Laris

Liem Soei Liong, aktivis TAPOL, khawatir usulan presiden mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 diselewengkan. Apa maksudnya?

BILA tidak ada aral melintang, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Presiden Abdurrahman Wahid kembali menjelaskan ihwal usulnya mencabut ketetapan MPR yang melarang ajaran marxisme, leninisme, komunisme, dan pembubaran Partai Komunis Indonesia, Sabtu pekan ini. Dari kalangan partai, hanya Partai Kebangkitan Bangsa yang memberi dukungan. Selebihnya, dukungan bagi Presiden mengalir dari sejumlah LSM, seperti YLBHI, Elsam, PBHI, Solidaritas Perempuan, dan lain-lain.

Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR-RI Akbar Tanjung pun bereaksi keras. “Gus Dur bermain api,” kata Amien. Dari jajaran kabinet, reaksi keras muncul dari Menkumdang Yusril Ihza Mahendra.

Pemerintahan Gus Dur sebenarnya sudah melepaskan semua tahanan politik, termasuk tapol eks PKI. Sudah menghapus lembaga Litsus dan Bakorstanas. Menteri Yusril Ihza Mahendra bahkan secara khusus datang menemui para eks tapol dan pelarian politik di Amsterdam, Belanda, akhir tahun silam. Saat itu, kebijakan Gus Dur untuk memberikan hak kewarganegaraan bagi para pelarian politik dan eks PKI ini mendapat sambutan hangat.

Liem Soei Liong, aktivis TAPOL -sebuah lembaga pembela hak-hak para tahanan politik, bermarkas di London, Inggris, setelah puluhan tahun dilarang masuk ke Tanah Air, pekan lalu, bisa datang ke Indonesia, walau hanya sepekan. “Ya izin khusus saya memang cuma seminggu,” ujarnya kepada Yuniyanti Chuzaifah, koresponden Gamma di Amsterdam, Senin pekan ini. Liem menyebut izin khusus, karena dia mengaku hingga sekarang masih dalam status dicekal. Apa pendapatnya soal pro-kontra usul Presiden mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 itu? Berikut petikan wawancaranya:

Status Anda masih dicekal. Kok bisa masuk juga ke Indonesia?

Ceritanya saya diundang Ridep (Research Institute for Democracy and Peace) sebagai pembicara dalam seminar dengan tema Uni Eropa, Indonesia, dan Timor Timur di Bogor pada 4 hingga 6 Mei lalu. Seminar ini ditutup oleh Presiden Gus Dur dengan jamuan makan di Istana Bogor.

Tapi, pekan lalu, Anda juga hadir lagi di Indonesia?

Saya diundang oleh rekan-rekan di Solidamor untuk membahas persoalan organisasi berkaitan dengan isu tapol-napol dan sharing visi politik pribadi saya dengan teman-teman. Seminar mengenai Tap No. XXV/1966 diadakan seminggu sebelumnya.

Bagaimana Anda menilai substansi usulan presiden itu?

Di level ideologi, maksud Gus Dur jelas agar bentuk-bentuk pelarangan sebuah ideologi dihentikan. Karena, pelarangan satu ideologi akan merembes pada pelarangan ideologi-ideologi atau paham-paham yang lain. Orde Baru dengan Kopkamtibnya melawan semua paham-paham oposisi, membasmi paham-paham yang lain di luar mainstream mereka. Menurut logika Gus Dur, pelarangan paham komunisme-marxisme sudah tidak perlu.

Sebab, sebagai sebuah paham, marxisme di Indonesia malah banyak dibaca orang. Kemarin saya amati di Gramedia, buku-buku tentang marxisme itu banyak terjual. Banyak judul-judul baru yang mungkin di Belanda atau di negara lain tidak banyak beredar, karena memang sudah tidak laku. Tapi, buku-buku itu di sini laku keras karena dilarang. Jadi, dalam praktik, tidak ada artinya membendung paham Marxisme-komunisme.

Lagi pula, di tingkat praktis, komunisme sudah tidak laku lagi. Di mancanegara Partai Komunis sudah dikubur termasuk di Belanda dan Inggris. Kalau toh dulu orang ikut PKI pada saat itu, sebenarnya sama halnya orang ikut Partai Golkar pada masa Orba. PKI saat itu menjadi partai terbesar dan mapan, sehingga banyak orang masuk PKI karena ingin naik pangkat, merasa lebih menjanjikan. Jadi, orang bergabung dengan PKI bukan karena radikalisme.

Tapi mengapa sejarah PKI akhirnya begitu berdarah-darah?

Sebetulnya, konflik yang terjadi pada saat itu bukan PKI versus Angkatan Darat, tapi Angkatan Darat vs Angkatan Darat. Siapa Latief, siapa Untung? Dengan peta konflik seperti itu, bisa saja seluruh PKI dianggap makar, dan akhirnya dihancurkan.

Tapi, faktanya, sampai saat ini banyak kalangan mengkhawatirkan kembali bangkitnya komunisme di Indonesia?

Kalau jujur, orang-orang “lama” yang di luar negeri atau jaringan yang betul-betul aktif melawan Soeharto sangat kecil sekali, bisa dihitung dengan jari. Apalagi, semangat untuk membangun kembali PKI.

Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini datang ke Belanda khusus untuk menemui para eks tapol, dan memberikan kembali hak kewargaan mereka. Bagaimana sebetulnya posisi mereka dalam konteks pro-kontra pencabutan tap ini?

Gus Dur dan Yusril salah kaprah. Mereka yang telah lama terhalang pulang ini tidak terlalu bermasalah dengan pulang ke Indonesia, mereka sudah banyak yang punya paspor Jerman, Belanda, dan lain-lain. Mereka sudah sering pulang ke Indonesia. Yang harus direvisi mestinya, bagaimana para pegiat HAM ini tidak perlu lagi dianggap subversi, sehingga tidak perlu dicekal.

Tentang pro-kontra terhadap usulan Gus Dur?

Yang meresahkan ketika mulai muncul baju hijau (Islam) dengan laskar jihadnya. Saya khawatir isu Tap MPR ini diselewengkan untuk melawan pemerintahan dengan cara yang tidak sah. Selagi masih dalam tatanan demokrasi, didiskusikan di MPR, itu bagus. Dan saya bisa mengerti keberatan Amien Rais dan kelompok-kelompok Islam. Itu hak mereka, dan boleh-boleh saja. Bagi saya, pencabutan Tap MPR secara prinsipil nonisu.

Itu menurut Anda. Tapi, bagi para eks tapol yang ada di perantauan?

Mereka juga menganggap isu ini tidak terlalu penting.

Baiklah, bagaimana Anda melihat perkembangan politik di Tanah Air?

Demokrasi dalam bentuk institusi mulai berkembang, misalnya pemilihan parlemen yang betul-betul demokratis, yang tidak pernah terjadi selama 30 tahun. Dari tiga pilar trias politika hanya tatanan hukum yang belum ada reformasi, misalnya saja kasus saya yang sampai saat ini masih dicekal. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang bekerja masih tatanan Orde Baru.

Anda punya kritik untuk Gus Dur?

Gus Dur cukup punya keberanian besar untuk merombak sistem, antara lain memperlemah posisi militer. Ini sebuah prestasi, karena militer inilah salah satu penyebab hancurnya sistem politik Indonesia. Pandangan Gus Dur terkadang sangat progresif sampai tiga langkah ke depan melampaui cara berpikir orang kebanyakan. Dalam hal ini orang tidak bisa memahami, sehingga sering salah interpretasi.

Belakangan, rezim ini mulai disorot karena KKN. Pemerintahan Gus Dur juga belum berhasil memulihkan ekonomi.

Saya belum bisa menilai tentang berbagai tudingan KKN itu. Tapi, ekonomi Indonesia memang sudah hancur-hancuran. Dan Gus Dur tidak bisa disalahkan. Siapa pun tidak akan bisa memulihkan situasi ekonomi yang sudah sedemikian parah dalam waktu sekejap. Kehancuran ekonomi kita sudah jauh sebelum Gus Dur berkuasa, penataan perbankan sangat kacau, perusahaan besar sudah banyak yang bangkrut, langkah yang dilakukan hanya tambal sulam. Kondisi ekonomi ini mungkin hanya bisa pulih dalam 10 tahun lagi. Memang situasi ini membuat banyak orang panik. Semua orang bisa disalahkan. Gus Dur bisa salah, Kwik Kian Gie salah, Laksamana Sukardi salah.

Menurut Anda, apa prestasi rezim ini?

Merombak tentara. Masalahnya sekarang ini banyak koalisi yang berusaha melawan Gus Dur. Dan itu secara tidak langsung mengondisikan Gus Dur untuk membuat koalisi juga, dan ini memang niscaya, dengan tentara. Sebetulnya, kalau toh ada konflik antara Gus Dur dengan Amien, atau dengan Mega, itu tidak masalah. Tingkat konfliknya masih sangat wajar. Konflik antarpartai dalam politik itu biasa. Soalnya adalah masyarakat Indonesia masih belum biasa, sehingga mereka bingung. Konflik tersebut tidak masalah selama tentara tidak main. Jadi, jangan sampai Islam kanan ini main dengan tentara.

Sejarah tragedi G-30-S/PKI akhir-akhir ini mulai dikuak. Terakhir, kabarnya ada dokumen soal keterlibatan pemerintah Inggris?

Memang pemerintah Inggris berusaha menutupi dokumen ini, karena sangat berbahaya. Pada saat itu belum ada email, jadi komunikasi berlangsung lewat kawat ke Deplu Inggris di London. Pelan-pelan cendekiawan Inggris antara lain David Easter membongkar persoalan ini dan mereka menemukan bahwa tahun-tahun 1962-64 Inggris membantu gerakan anti-Soekarno di daerah-daerah, juga terhadap sisa-sisa PRRI/Permesta setelah tahun 1958 melalui MI-6 (Dinas rahasia Ingris).

Saat itu pemerintah Soekarno secara riil sedang konflik berat dengan Inggris dengan memerangi Malaysia. Pemerintah Inggris berkepentingan menghabisi Soekarno dan PKI melalui pusat dinas rahasianya di Singapura, dan melakukan intrik-intrik. Saya sempat masuk ke Arsip Nasional Inggris “Public Record Office”, dan membaca dokumen-dokumen itu cukup mengagetkan memang. Karena, selama ini Amerikalah (CIA) yang sering dituduh. Memang CIA terlibat, tapi kecil dibandingkan Inggris.

Contoh konkret dari keterlibatan Inggris itu?

Misalnya, Soeharto melalui Opsus-nya mengutus Ali Moertopo, Beny Moerdani dan lain-lain, untuk keluar ke Bangkok, dan Kualalumpur untuk bertemu dengan orang-orang seperti Tun Abdul Razak dan bermain mata dengan Inggris. Soeharto sebetulnya saat itu sudah makar, karena diam-diam sudah bercumbu dengan Inggris.

Muchlis Ainurrafik

Dimuat di Majalah GAMMA, Edisi 17 -23 MEI 200

Tidak ada komentar: