Kamis, 17 Juli 2008

Mahkamah Internasional, Siapa Takut

Pemerintah menolak resolusi Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk pembentukan Komisi Penyelidik Internasional atas pelanggaran HAM di Timtim, setelah sebelumnya Mensesneg Muladi menyatakan sebaliknya. Tekanan militer?

Sehari sebelum kedatangan Menhan Amerika Serikat William Cohen di Jakarta, sidang kabinet terbatas bidang Polkam di Bina Graha membuat keputusan kontroversial. Pemerintah menolak resolusi Komisi Tinggi HAM PBB yang memutuskan perlunya dilakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM di Timtim. Pemerintah sekaligus juga menolak pembentukan Komisi Penyelidik Internasional (International Commission of Inquiry) oleh Komisi Tinggi HAM PBB tersebut.

"Resolusi kita tolak. Komisi juga kita tolak. Kita akan menjalankan sendiri (penyelidikan dan pengadilan, Red.) sesuai hukum nasional, yang saya kira tidak punya tujuan lain, kecuali bahwa kita tidak harus menunjukkan kepada dunia luar kalau kita sangat menunjang HAM," kata Mensesneg/menteri Kehakiman Muladi. Sehari sebelumnya, Muladi justru menyatakan sebaliknya. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa menolak resolusi PBB. "Pernyataan yang benar itu yang terakhir," ujarnya.

Sikap pemerintah itu, lanjut Muladi, sudah disampaikan langsung oleh Presiden Habibie kepada Sekjen PBB Kofi Annan melalui telepon. Kepada Annan, Presiden Habibie menjamin bahwa Tim Pencari Fakta Komnas HAM akan bekerja cepat dan serius dalam waktu dua sampai tiga bulan. Muladi juga menambahkan bahwa Tim Pencari Fakta akan bekerja independen. "Pemerintah sama sekali tidak terlibat," tegasnya. Bahkan, lebih jauh, pemerintah sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Pembentukan Peradilan HAM di dalam negeri. "Sesuai asas nebis in idem, artinya jika seseorang sudah diadili di sini, ia tidak bisa lagi diadili di mana pun juga, termasuk peradilan asing," tambah guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.

Keputusan pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta sekaligus membentuk peradilan khusus di bidang HAM memang mendapat sambutan positif. "Kami menyambut baik pembentukan Komisi Pencari Fakta yang dibentuk Komnas HAM yang akan menyertakan para ahli HAM dan hukum internasional," tulis Bonar Tigor Naipospos, Ketua Solidamor. Di mata Asmara Nababan, anggota Komnas HAM, pembentukan Tim Pencari Fakta dan sekaligus peradilan khusus HAM akan memperkuat mekanisme penegakan HAM di dalam negeri.

Dari sudut lain, Benyamin Mangkudilaga, berpendapat senada. "Kita tidak bisa membendung tekanan internasional untuk membongkar berbagai kejahatan-kejahatan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM," katanya. Hanya, tambah Benyamin, peradilan terhadap kejahatan HAM itu tidak perlu dibawa ke forum Mahkamah Internasional -sesuai target dari resolusi Komisi HAM PBB. "Mengapa harus dibawa ke Mahkamah Internasional, kalau kita sendiri mampu mengadili di dalam negeri," lanjutnya.

Cuma, penolakan pemerintah terhadap resolusi PBB -setelah sebelumnya Menteri Muladi mengatakan sebaliknya- tak pelak memicu kontroversi. "Bingung. Gagap. Ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki pertimbangan yang baik," tukas Munir, Koordinator Kontras. Semua kebijakan pemerintah menyusul hasil jajak pendapat di Timtim, menurut Munir, menunjukkan hal itu. "Darurat militer diubah. Soal izin masuk pasukan PBB diubah. Jadi, saya yakin, sikap penolakan pemerintah terhadap resolusi PBB hanya akan bertahan dalam hitungan hari," tambahnya.

Apa yang terjadi? "Ini semua terjadi karena pemerintah terlalu defensif dan ketakutan terhadap berbagai tekanan internasional. Dan pihak yang paling ketakutan itu siapa lagi kalau bukan militer," kata Munir. Hendardi, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), melihat hal yang sama. "Sikap keras kepala pemerintah dalam hal ini menunjukkan itikad buruknya untuk memberikan perlindungan politik bagi TNI yang menjadi tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur," ujar Hendardi.

Padahal, lanjut Munir, resolusi itu justru akan membantu memperbaiki citra Indonesia di mata internasional. "Komisi penyelidikan itu kan akan mencari bukti berbagai pemberitaan yang selama ini muncul soal Timtim. Hasil komisi ini masih akan diserahkan ke Dewan Keamanan. Oleh Dewan Keamanan nanti akan dibahas lagi, apakah perlu ada pengadilan internasional atau tidak," tutur Munir. Karena itu, sikap tidak kooperatif yang ditunjukkan pemerintah, menurutnya, justru bisa menjadi bumerang. "Penolakan ini kan malah mengundang kecurigaan lebih besar. Sekaligus, memberi petunjuk kepada dunia internasional bahwa memang ada sesuatu terjadi di Timtim," kata Munir lagi.

Koesnanto Anggoro, pengamat politik internasional dari Centre for Strategis and International Study (CSIS), Jakarta, melihat hal yang sama. "Bagaimanapun, penolakan itu malah akan mempersulit posisi Indonesia," katanya. Koesnanto menyebut kasus Serbia. "Serbia juga tidak mengakui adanya Komisi HAM PBB. Tapi, apa yang dia dapat? Negara ini selalu dicaci-maki dan tidak lagi mendapatkan tempat terhormat di mata internasional," tambahnya.

Selain soal kredibilitas, resolusi Komisi HAM PBB dalam kasus Timtim ini, menurut Hendardi, sebenarnya malah menimbulkan dampak positif bagi Indonesia. "Pertama, resolusi itu akan mengakhiri the cycles of impunity, yang selama ini dinikmati militer. Kedua, memberi kontribusi terhadap usaha-usaha mengakhiri dominasi politik militer yang menjadi prasyarat utama demokratisasi yang sedang berlangsung di Tanah Air," ujarnya.

Benarkah TNI menekan berbagai sikap pemerintah menyangkut Timtim? Bagaimana sebenarnya sikap TNI terhadap resolusi Komisi HAM PBB ini? "Kita siap menerima resolusi itu. Tidak ada alasan bagi kami untuk bertindak reaktif," ucap Mayjen Endriartono Soetarto, Asisten Operasi Kasum TNI. Ia menambahkan, TNI selama ini sudah berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai tuduhan keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM di Timtim. "Bahwa kemudian mereka tidak percaya pada keterangan kami, go ahead, silakan periksa," sambung Endriartono.

"Sikap TNI jelas. TNI bersama dunia internasional juga ingin turut menegakkan dan mempromosikan hak asasi manusia di dunia," timpal Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat. Artinya, lanjut Sudrajat, TNI hanya mendesak agar Komisi Penyelidik yang dibentuk Komisi HAM PBB bertindak objektif. "Jangan sampai komisi penyelidik ini tunduk pada negara tertentu yang memang memiliki target dan agenda politiknya sendiri," sambungnya.

Tentang negara dimaksud, Sudrajat enggan menyebutkannya. Yang jelas, pekan lalu, sebuah lembaga kemanusian yang bermarkas di Madrid, Spanyol, sudah mulai merilis daftar para pelaku pelanggaran kejahatan perang di Timtim. Disebut, antara lain nama mantan Kepala Badan Intelijen ABRI, Mayjen Zacky Anwar Makarim, dan mantan Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsuddin. Selain mereka, ada lagi tiga nama panglima komando militer di Timtim, lalu 13 nama pimpinan milisi prointegrasi. Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto juga dianggap ikut bertanggung jawab dalam kejahatan perang di Timtim.

"Itu hanya taktik pelemparan isu," ujar Mayjen Endriartono, mengomentari penyebutan sejumlah nama perwira tinggi itu. Menyusul jajak pendapat di Timtim, lanjutnya, muncul berbagai pihak yang saling melempar isu untuk memperkeruh keadaan. "Lihat saja ketika TNI masih di sana, mereka bilang TNI harus keluar. Nah, setelah keluar, ada lagi yang bilang, itu kan taktik TNI supaya bisa menyalahkan Interfet. Lha, ini pekerjaan siapa, kalau bukan mereka yang ingin memperkeruh suasana," tandas Endriartono.

Kelompok prointegrasi yang dituding dunia internasional sebagai pelaku utama kejahatan perang ternyata malah menganggap sepi resolusi Komisi HAM PBB. "Kalau mau selidiki kami, datang saja. Kami siap. Tapi, tolong tunjukkan kepada kami, di mana ada pelanggaran HAM? Di mana ada pembunuhan massal?" tegas Joao Tavares, Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timtim yang kini bermarkas di Atambua.

Lepas dari kontroversi sikap penolakan pemerintah dan TNI, Komisi HAM PBB diberitakan pekan depan sudah mulai mengirim ahli-ahli investigasinya ke Timtim. Sebelumnya, Organisasi Hakim Internasional (International Council of Jurists) cabang Australia bahkan sudah mulai membuat data bukti-bukti kejahatan perang di Timtim, sebagaimana mereka lakukan di Rwanda dan Yugoslavia.

Seperti disebut dalam resolusi, Komisi Penyelidik Internasional PBB akan menyelesaikan investigasinya sampai 31 Desember. Setelah itu, oleh Sekjen PBB Kofi Annan, hasil itu akan dibawa ke Sidang Umum dan sidang Dewan Keamanan. "Di tingkat itu, saya kira negara-negara seperti Cina, dan kemungkinan Rusia, bisa menolak desakan untuk membentuk Mahkamah Internasional," tutur Asmara Nababan, anggota Komnas HAM. Hanya, lanjut Asmara, meskipun didukung Cina, dalam Dewan Keamanan, Indonesia betapapun tetap akan terpojok. Sebab, menurutnya, ketika tiba saatnya Cina -negara yang selama ini juga terkenal tertutup di bidang HAM- mendapat tekanan dunia internasional, Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali membelanya. "Dalam politik, tidak ada yang gratis," tandas Asmara.

Muchlis Ainurrafik, Abdul Latief Siregar, Ari Sutanti, Rojes Saragih, dan J. Bosko Blikolong (Atambua).

Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 33-1 - 10-10-99

Tidak ada komentar: