Kamis, 17 Juli 2008

Komik Dewasa yang Digemari Anak

Di Jepang oplah komik Crayon Shinchan mencapai 25 juta eksemplar! Komik yang diperuntukkan orang dewasa yang juga disebut anak bau kencur.

“GUE sudah cari komik ini ke mana-mana. Eh tahunya dapet di sini. Gimana enggak girang,” kata Dewi, 23 tahun, setengah berteriak sambil mendekap komik Crayon Shinchan edisi 8. Dewi adalah satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan remaja dan anak-anak yang terkena virus baru: demam Crayon Shinchan.

Di rak buku toko buku (TB) Gunung Agung Kwitang, tempat Dewi melompat kegirangan, tinggal 15 eksemplar dari 1.000 yang disediakan. “Kami sampai meminta tambahan stok dari Gunung Agung Lokasari,” tutur Donny S. Sutadi, pengelola TB Gunung Agung Kwitang. Donny tahu komik Shinchan menjadi perdebatan di tengah masyarakat. “Memang kurang mendidik. Tapi kan buku tidak selalu harus mendidik. Bisa juga cuma menghibur. Dan komik Shinchan cukup menghibur,” tutur Donny kepada Rita Hendriawati dari GAMMA.

“Di sini hampir setiap lima menit ada saja orang yang menanyakan komik Shinchan,” tutur Lanuardi Harianja, staf TB Gramedia Bandung. “Jadi, kalau dihitung, di toko kami saja, setiap jam ada 12 orang mencari komik Shinchan. Kalau toko buka sehari 12 jam, maka sudah 144 orang yang tanya Shinchan.” TB Gramedia Bandung sebenarnya ingin meraup untung dari Shinchan, “Tapi, karena kami menganggap isinya kurang mendidik, kami tidak ikut menjual,” tutur Lanuardi kepada Gagak Lumayung dari GAMMA.

Pengelola TB Gramedia Yogya mengungkap hal yang sama. “Sejak November lalu, kami terus-menerus didatangi remaja dan anak-anak yang menanyakan komik ini,” tutur Haryono, seorang penyelia di TB Gramedia Yogya. Sama seperti TB Gramedia Bandung, TB Gramedia Yogya juga menolak menjual Shinchan. “Buku ini masuk dalam daftar black-list, karena tidak sesuai dengan misi kami,” kata Haryono.

Itu baru cerita dari toko buku, yang selama ini menjadi jalur konvensional peredaran buku dan komik. Padahal, peredaran komik Shinchan tak hanya lewat jalur konvensional. Penelusuran GAMMA di jalur distribusi koran dan majalah menunjukkan kisah sukses penjualan komik ini sungguh dahsyat.

Sejumlah agen besar yang ditemui GAMMA, seperti Lubis Agency di kawasan Senen, Parasian Agency, Harianja Agency, dan Gelael Purba Agency di Jakarta, menyatakan penjualan Shinchan mencapai 100 persen. “Permintaan dari sub-agen terus mengalir. Bahkan, dari daerah, permintaan terus meningkat. Seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pokoknya, berapa pun kami dikirim, pasti laku. Bahkan, komik yang agak rusak sedikit pun pasti laku,” ujar Budi, sub-agen yang mengaku rata-rata telah menjual 50.000 eksemplar Shinchan per edisi.

Komik Crayon Shinchan karya Yoshito Usui pertama kali diterbitkan oleh Futabasha Publishers Ltd., Tokyo, Jepang, tahun 1992. Hak terjemahannya di Indonesia dipegang PT Indorestu Pacific, yang beralamatkan PO Box 4633, Jakarta. Cetakan pertamanya tertulis Februari 2000. Sampai saat ini di pasaran, sudah beredar delapan edisi komik Crayon Shinchan.

Kisah sukses Shinchan di Jepang lebih fantastis. “Oplahnya mencapai 25 juta eksemplar. Lumayan bagus,” tutur Nakano, Manajer Divisi Lisensi dari Futaba Sha Ltd., yang berkantor pusat di Tokyo kepada Shizuko Ito dari Gamma. “Bagi Futaba Sha, komik Shinchan adalah sumber keuntungan utama,” kata Nakano. Komik lain terbitan Futaba Sha yang paling laku “hanya” mencapai tiga jutaan eksemplar.

Yang menarik, di Jepang, komik dan cerita karya Yoshito Usui, 42 tahun, sebenarnya ditujukan untuk pembaca dewasa. “Istilahnya salary (bergaji) man,” tutur Nakano. Selain dalam bentuk komik, cerita Crayon Shinchan hingga kini dimuat berseri dalam majalah Shukan Manga Action (majalah mingguan komik aksi) yang beroplah 250.000. Dalam versi buku, komik Shinchan telah diterbitkan 28 seri –seri terbaru diterbitkan awal bulan ini.

Meski diperuntukkan orang dewasa, belakangan remaja hingga murid taman kanak-kanak di Jepang juga gandrung. “Mereka suka dengan karakter Shinchan yang begitu energik,” kata Nakano. Sekitar enam atau tujuh tahun lalu, sempat muncul protes dari kaum ibu dan pendidik di Jepang. “Tapi, itu dulu. Sekarang protes-protes itu sudah tak ada,” katanya. Kini, komik Crayon Shinchan sudah merambah berbagai negara. Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, Spanyol, dan Indonesia. Tentang munculnya protes dari sejumlah kalangan di Indonesia, Nakano menanggapi enteng. “Yang memilih kan para pembaca. Kalau pembacanya senang, kenapa salah?” tuturnya.

Selain muncul di majalah, cerita Usui-san juga menjadi tayangan tetap di sebuah stasiun televisi Jepang. Pernah juga dibuat versi layar lebar dan video. “Pokoknya, selama Usui-san mau menulis, kami akan tetap menerbitkan Crayon Shinchan. Entah sampai berapa puluh tahun lagi,” Nakano berterus terang.

Apa kiat sukses Crayon Shinchan? “Saya kira resepnya ada pada karakter Shinchan yang begitu aktif, energik, bergiat, penuh semangat,” kata Nakano. “Memang Shinchan tampak agak lancang, agak sombong. Tapi kan itulah wajah sebenarnya seorang anak.”

Ini dibenarkan Andi Yudha, manajer buku anak dan remaja Penerbit Mizan, Bandung. “Lebih dari itu, menurut saya, karena ada filmnya di televisi. Kalau tidak ada filmnya, enggak mungkin laku seperti ini,” tutur Andi Yudha, yang juga sudah menerbitkan ratusan komik. Di sisi lain, dari segi teknik, komik, dan animasi, Shinchan juga kreatif. “Di situ ada teknik exageration, atau unsur melebih-lebihkan. Misalnya, ada tokoh yang menangis, tapi air matanya digambarkan mengucur seperti hujan. Pada umumnya anak-anak suka dengan penggambaran seperti itu,” kata Andi.

Maka, kisah sukses Crayon Shinchan mestinya menjadi masukan bagi pemerintah dan kalangan industri perbukuan, bahwa pasar komik begitu besar. Sayang, pasar itu justru dinikmati importir buku asing yang sering kali hanya memburu keuntungan daripada menyajikan bacaan bermutu dan mendidik. Vivi, petugas penjualan PT Indorestu Pasifik, misalnya, enggan memberi jawaban terhadap munculnya keberatan banyak pihak atas isi Crayon Shinchan. “Mengapa buku-buku kami yang dibajak itu tidak dipersoalkan,” kata Vivi agak ketus. Menurut Vivi, penjualan komik Shinchan justru sebenarnya tidak istimewa. “Edisi pertama kami cetak hanya 9.000 eksemplar. Tapi edisi terakhir, edisi 8, kami cetak 40.000 eksemplar. Jadi, kalau Anda bilang di pasaran begitu banyak beredar, itu Shinchan bajakan,” kata Vivi.

Adakah yang salah dari banjirnya buku impor? Tidak juga. “Ilmu pengetahuan kan sifatnya universal. Dan masyarakat kita sangat membutuhkan itu,” tutur Retno Kristi, editor di PT Elex Media Komputindo yang banyak mengimpor buku asing, kepada Arie Winata dari GAMMA. Hanya membandingkan kisah sukses Shinchan, Doraemon, Dragon Ball, Ikyu San, dan ratusan komik impor, dengan komik produksi dalam negeri memang terasa menyakitkan.

Menurut Arswendo Atmowiloto, pemerhati komik dan cerita anak, kenyataan ini mestinya mengusik pemerintah dan bisnis penerbitan. “Faktanya sekarang, mengimpor komik jauh lebih murah dan menguntungkan ketimbang membuat sendiri,” kata Wendo. Dengan biaya macam-macam yang harus dikeluarkan oleh penerbit komik, dari ilustrator, pembuat cerita, sampai pembuatan film, menurut Arswendo, biayanya bisa tiga kali lipat dari buku impor. “Yang lebih menguntungkan, kalau mengimpor bisa langsung satu paket, seratus judul plus film, misalnya,” tutur Wendo.

Wendo benar. Film Crayon Shinchan, yang diputar RCTI setiap Minggu pukul 09.00, sarat iklan. “Tarif iklan pada jam tayang tersebut Rp 6 juta rupiah per 30 detik,” tutur Irma Lubis, dari Humas RCTI. Menurut Irma, dibanding film animasi lain, peringkat film Crayon Shinchan cukup bagus. “Film ini menduduki peringkat ke-9,” tutur Irma.

Menyedihkan? Begitulah. “Pokoknya, kita tidak akan pernah menang melawan serbuan buku impor,” Arswendo menandaskan. Di sini pemerintah tidak pernah punya kebijakan tertentu tentang buku. Apalagi tentang buku anak. Padahal, di negara mana pun, bahkan negara Asia seperti Malaysia, buku anak mendapat perlindungan luar biasa, seperti bantuan kertas, pajak, dan seterusnya. “Itu yang membuat mereka bisa berkembang,” Wendo menambahkan. Sementara, di sini dunia perbukuan kempis-kempis, Sinchan impor malah yang berkembang.

Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Seiichi Okawa, & Shizuko Ito (Tokyo).

Dimuat Gamma, 17 Januari 2001

Tidak ada komentar: