Minggu, 26 Oktober 2008

Sang Monster Telah Tamat

Banyak calon anggota legislatif kandas di tengah jalan. Pencari kerja juga disulitkan. Kini ratusan perwira menganggur?

SEMUA orang itu baik, sampai yang bersangkutan terbukti bersalah. "Itulah prinsip hukum yang benar," tutur Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra. Sayang, lewat instrument Penelitian Khusus (Litsus), selama lebih 32 tahun terakhir prinsip itu dilecehkan oleh rezim Orde Baru.

Lembaga Litsus dan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) dilikuidasi, Rabu pekan silam. Usai sidang Kabinet bidang Polkam, Sekretaris Kabinet, Marsilam Simanjuntak, bersama Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, dan Kepala BAKIN Letjen Arie J. Kumaat, resmi mengumumkan pencabutan Keppres Nomor 29 Tahun 1988 dan Keppres No. 16 Tahun 1990, yang mendasari pembentukan dua lembaga tersebut.

Maka, fungsi-fungsi kegiatan intelijen yang ada dalam lembaga Bakorstanas dan Litsus ini, menurut Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak, kembali ke pangkuan Bakin.

Likuidasi Bakorstanas dan Litsus ini tak pelak disambut hangat oleh Ketua DPR-RI Akbar Tanjung. Kedua lembaga bikinan rezim Orde Baru itu sudah tidak sejalan dengan semangat demokratisasi, keterbukaan, dan akuntabilitas politik. "Dengan logika ini, lembaga-lembaga yang dianggap mempengaruhi atau menghambat proses demokrasi mesti jangan lagi diberi kesempatan untuk eksis," tegas Akbar.

Koordinator Kontras, Munir, bahkan menilai keputusan itu sebagai berani dan benar. Dengan demikian, pemerintah telah memotong salah satu mata rantai sebuah pemerintahan militeristis. Keberadaan dua lembaga itu selama ini, lanjut Munir, jelas dibangun atas logika yang salah. "Bagaimana bisa dibenarkan orang kehilangan hak-hak politiknya hanya karena perbedaan pikiran dan ideologi," sergah Munir.

Memang, selama 32 tahun Orde Baru, yang terjadi di lapangan lebih parah lagi. "Dengan alasan mengendalikan ideologi komunis, lantas mereka (militer, Red.) mengatur segala persoalan. Bahkan, tanah pun mereka urusi. Dan yang terjadi adalah berbagai bentuk manipulasi kekuasaan," tegas Munir.

Mochtar Pabottingi, pengamat politik dari LIPI, melihat dua lembaga itu telah digunakan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. "Sekaligus mematikan partisipasi politik rakyat," tegas Mochtar Pabottingi kepada Maimun Wahid dari Gamma.

Keriuhan antusiasme di atas tampaknya wajar. Selama 32 tahun rezim Orde Baru, lembaga Bakorstanas -sebelumnya bernama Kopkamtib- dan Litsus memang benar-benar bak monster represi yang mematikan. Apa yang dialami Suyitno, anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPRD Yogyakarta, Desember tahun lalu, termasuk contoh aktual. Pimpinan DPRD Yogyakarta secara resmi meminta Suyitno mundur dari DPRD Yogyakarta, karena menganggap yang bersangkutan terindikasi terlibat G30S-PKI, walaupun hanya dalam status Golongan C. Lucunya, Suyitno adalah bekas anggota Dewan Penasihat Golkar Gunung Kidul. Cuma, ia tersandung pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/MPR, yang menyatakan, jika ada anggota yang terlibat PKI, keanggotaannya otomatis batal. Dan dokumen Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Yogyakarta memang menyatakan Suyitno positif terlibat G30S-PKI. Untung nasib baik masih memihak Suyitno. Pihak partai tidak peduli dengan tuntutan mundur pimpinan DPRD. Suyitno saat ini masih dalam proses melakukan gugatan terhadap Ditsospol Yogyakarta.

Suyitno memang masih beruntung. Pada periode-periode sebelumnya, menjadi anggota DPR dan DPRD benar-benar sebuah proses yang berat. Pada Pemilu 1997 misalnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) waktu itu sampai harus mengorbankan 130 calon anggota legislatif karena dinyatakan gugur tidak lulus Litsus. Ke-130 caleg PPP itu tentu saja tidak semua gugur karena diduga terlibat G30S-PKI. Kegagalan mereka justru lebih karena soal-soal sepele, persyaratan surat-surat. Dari hasil investigasi tim yang dibentuk DPP PPP, sebagian besar caleg itu gugur karena gagal mendapatkan Surat Keterangan Tidak Terlibat Organisasi Terlarang (SKKT).

Permainan rezim Orde Baru memanfaatkan SKKT ini begitu telanjang. Di Magelang, pada Pemilu 1997 lalu, misalnya, seorang kiai haji kondang, tokoh masyakarat setempat, punya santri tidak kurang dari 500 orang, sebelumnya telah menjadi anggota legislatif vokal, bahkan mampu mendongkrak perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan di Magelang dari 7 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 13 kursi pada Pemilu 1992, secara tidak masuk akal gugur dalam proses pencalonan anggota legislatif. Gara-garanya, ia gagal mendapatkan sertifikat SKKT sampai batas waktu pendaftaran.

Apa yang dialami caleg PPP itu tidak hanya berlangsung di Magelang. Permainan di meja Litsus itu berlangsung secara sistematis di seluruh wilayah Tanah Air. Di Jawa Tengah, PPP sampai kehilangan 55 calegnya akibat permainan di meja Litsus. Di Sumatera Barat, dari 58 caleg PPP, yang lulus hanya 38 orang. Di Jawa Timur, lebih besar lagi, 67 orang. Semua terjadi masih pada 1997 juga.

Begitulah Litsus, berkembang menjadi strategi licik mempertahankan kekuasaan. Pisau Litsus bahkan tidak hanya memotong mereka yang hendak masuk ke wilayah politik, seperti dalam kasus calon-calon anggota legislatif di atas. Dalam bentuk lain, seperti surat kelakuan baik, pisau ini juga menjai momok bagi orang-orang biasa, para pencari kerja.

Lembaga yang berwenang melakukan Litsus menentukan seseorang terlibat atau tidak dengan G-30-S/PKI, pertama kali, adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ekstrakonstitusi ini pertama kali dibentuk pada 3 Oktober 1965. Melalui Keppres Nomor 9 Tahun 1974, tugas dan wewenang lembaga ini meluas tidak terbatas. Dalam keppres itu, misalnya, disebut bahwa tugas Kopkamtib antara lain menangkal gerakan ekstrem dan gerakan subversif.

Rezim Orde Baru mengganti Kopkamtib dengan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) sejak 5 September 1988, lewat Keppres No. 29 Tahun 1988. Seperti disebut dalam keppres, lembaga ini dibentuk adalah untuk "mengoordinasikan upaya departemen dan instansi dalam rangka pemulihan, pemeliharaan, dan pemantapan stabilitas nasional dari berbagai hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing". Kata kuncinya, koordinasi demi stabilitas.

Perubahan nama dari Kopkamtib ke Bakorstanas, dari komando ke koordinasi, sebenarnya dimaksud untuk mengurangi -kalau bukan menghilangkan samasekali- ekses kekuasaan sewenang-wenang itu. Tapi, umum diketahui, apa yang terjadi di lapangan, tidak ada perubahan berarti. Bakorstanas tetap menjadi momok dan hantu politik yang menakutkan. "Bahkan, soal tanah pun diurusi," ujar Munir.

Sifat darurat itulah yang ditinggalkan. Presiden Abdurrahman Wahid, seperti dituturkan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, menilai situasi politik sekarang dalam keadaan normal, dan karena itu lembaga seperti Bakorstanas dengan instrumen Litsusnya sudah waktunya diakhiri. Presiden, menurut Yusril, juga telah memerintahkan Panglima TNI untuk dalam jangka waktu satu bulan menyelesaikan proses likuidasi Bakorstanas ini. "Ini juga terkait dengan reformasi dalam tubuh TNI, di mana keterlibatan TNI dalam persoalan politik mulai dikurangi," ujar Yusril.

Akibat likuidasi Bakorstanas ini, ratusan perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat -dari pangkat kapten hingga mayor jenderal- konon harus menganggur. Di tingkat pusat, Bakorstanas dipimpin langsung oleh Panglima TNI. Di bawahnya ada tujuh sekretaris bidang (sesbid) yang masing-masing dijabat oleh seorang mayor jenderal. Dari tujuh itu, empat sekretaris bidang dirangkap oleh pejabat di lingkungan Mabes TNI Cilangkap. Artinya, dengan likuidasi lembaga ini, tiga mayor jenderal dipastikan bakal menganggur.

Masih di tingkat pusat, di bawah mayor masih ada 116 orang berpangkat kolonel. Lalu, di setiap Bakorstanas Daerah (Bakorstanasda) terdapat sekitar 10 sampai 15 perwira dengan pangkat kolonel. Nah, jika jumlah itu dikalikan dengan 11 kodam yang sekarang ini ada, maka sekitar 110 sampai 155 kolonel dipastikan bakal ikut menganggur. Nah!

Muchlis Ainurrafik

Dimuat Majalah Gamma, Nomor: 04-2 - 21-03-2000

Jumat, 18 Juli 2008

More Dissent Voices*

By Muchlis Ainur Rofik '03

"The campaign is failing. The perception of the U.S. effort, shopkeepers and scholars alike say, ranges from insincere at best to hypocritical at worst."

Those words, written by Julie Chao of Cox News Service and published by Pacific Currents, show how the United States has failed to win support among Indonesian Muslims for its war against terrorism.

For a long time, Indonesia has been recognized as a moderate Muslim nation and key ally of the United States. With the rise of Islamic fundamentalism, especially after September 11, Indonesia—the largest Muslim country in population—was expected to play a key role in the war against terrorism.

The mainstream media in the United States has pointed out many times since September 11 that Indonesia is a haven for Islamic terrorist cells. And many commentators are disappointed that Indonesia has been reluctant to take a decisive stand against those accused as key figures of Islamic terrorism networks.

As the United State began bombing in Afghanistan and trying to break up Taliban cells throughout the world, anti-Americanism grew broadly—not only among Islamic fundamentalists but also among moderate Muslims and secular human-rights activists. Religious solidarity mixed here with the issue of human rights and nationalism.
The U.S. government, actually, has been working hard to counter anti-Americanism. It has aired television ads, sponsored scholarships and student visits to the United States, and even organized a town hall-style exchange between Indonesian and U.S. studio audiences using satellite hookups.

But as far as I know, and as Chao has pointed out, the campaign is failing. U.S. actions speak louder than words. Many of its actions, such as restrictions on men from certain Middle Eastern and Muslim countries, including Indonesia, and its foreign policy, especially its unwavering support for Israel, disappoint many Indonesian people. A worldwide survey released in December by the Pew Research Center found that the number of Indonesians with a favorable view of the United States fell to 61 percent last year from 75 percent in 1999.

With a war in Iraq, such anti-Americanism could have troubling political and social consequences. Not only could a war cost the United States the support of moderate Islamic leaders, but it could also destabilize the Indonesian government and help radical groups gain more members.

As a graduate of Islamic institutions, I entered journalism with a clear idealism. Before, I was an activist with a religious-based NGO (non-government organization). I was involved with many groups which promoted transformation—modernization, moderation, and tolerance—within Islamic society in Indonesia. With its powerful impact, I thought journalism could effectively promote to a powerful and wide audience the idea of Islamic moderation and tolerance.

With the tensions surrounding religious radicalism nowadays, not only in Indonesia, but all over the world, I am more curious about what should and could be done by journalism to promote a peaceful and moderate religious belief. Being here at Ann Arbor is, for me, a great blessing, because the entire Knight-Wallace Fellowship program really satisfies my curiosity. The program not only gives me a larger context for the problem, but more examples of good journalism.

One such example is Samantha M. Shapiro's article, "The Unsettlers," published recently in The New York Times Magazine. In the piece, Shapiro raised the very critical source of religious radicalism: Arab-Israeli conflict. Her article was about millitant Jewish people who settled the hilltops of the West Bank and who have no interest in compromise or peace plans.

Islamic radicalism, with its effect today everywhere in the world, is, of course, a very serious problem. But, by reporting on these other radicals, Shapiro gave a balanced perspective, a dissenting voice within mainstream media which prefer to focus mainly on the Islamic radicalism. Shapiro also gave me an important example of how media should understand the larger context of the so-called "war against terrorism."

As for the worsening circumstances of anti-Americanism and the rise of religious radicalism—as are now happening in Indonesia and in many Muslim countries—I thought it actually could be avoided. Anti-Americanism and the growing tension surrounding religious radicalism—as was pointed out by Shapiro's piece—is to some extent a result of misrepresentations in U.S. mainstream media. Having been in the States for more than six months, I found that mainstream media tend to misrepresent "the tree" for "the forest," by focusing on the U.S. Adminstration and the domestic agenda.
As I have learned that radicalism usually stems from this kind of one-sided perspective, I believe journalism now is in need of a broadened and enlarged coverage.

Muchlis Ainur Rofik is an assignment editor for Metro-TV in Jakarta.

*)From The Journal of Michigan Fellows, Volume 13, No 2 - Spring 2003

Kamis, 17 Juli 2008

Mahkamah Internasional, Siapa Takut

Pemerintah menolak resolusi Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk pembentukan Komisi Penyelidik Internasional atas pelanggaran HAM di Timtim, setelah sebelumnya Mensesneg Muladi menyatakan sebaliknya. Tekanan militer?

Sehari sebelum kedatangan Menhan Amerika Serikat William Cohen di Jakarta, sidang kabinet terbatas bidang Polkam di Bina Graha membuat keputusan kontroversial. Pemerintah menolak resolusi Komisi Tinggi HAM PBB yang memutuskan perlunya dilakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM di Timtim. Pemerintah sekaligus juga menolak pembentukan Komisi Penyelidik Internasional (International Commission of Inquiry) oleh Komisi Tinggi HAM PBB tersebut.

"Resolusi kita tolak. Komisi juga kita tolak. Kita akan menjalankan sendiri (penyelidikan dan pengadilan, Red.) sesuai hukum nasional, yang saya kira tidak punya tujuan lain, kecuali bahwa kita tidak harus menunjukkan kepada dunia luar kalau kita sangat menunjang HAM," kata Mensesneg/menteri Kehakiman Muladi. Sehari sebelumnya, Muladi justru menyatakan sebaliknya. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa menolak resolusi PBB. "Pernyataan yang benar itu yang terakhir," ujarnya.

Sikap pemerintah itu, lanjut Muladi, sudah disampaikan langsung oleh Presiden Habibie kepada Sekjen PBB Kofi Annan melalui telepon. Kepada Annan, Presiden Habibie menjamin bahwa Tim Pencari Fakta Komnas HAM akan bekerja cepat dan serius dalam waktu dua sampai tiga bulan. Muladi juga menambahkan bahwa Tim Pencari Fakta akan bekerja independen. "Pemerintah sama sekali tidak terlibat," tegasnya. Bahkan, lebih jauh, pemerintah sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Pembentukan Peradilan HAM di dalam negeri. "Sesuai asas nebis in idem, artinya jika seseorang sudah diadili di sini, ia tidak bisa lagi diadili di mana pun juga, termasuk peradilan asing," tambah guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.

Keputusan pemerintah untuk membentuk Tim Pencari Fakta sekaligus membentuk peradilan khusus di bidang HAM memang mendapat sambutan positif. "Kami menyambut baik pembentukan Komisi Pencari Fakta yang dibentuk Komnas HAM yang akan menyertakan para ahli HAM dan hukum internasional," tulis Bonar Tigor Naipospos, Ketua Solidamor. Di mata Asmara Nababan, anggota Komnas HAM, pembentukan Tim Pencari Fakta dan sekaligus peradilan khusus HAM akan memperkuat mekanisme penegakan HAM di dalam negeri.

Dari sudut lain, Benyamin Mangkudilaga, berpendapat senada. "Kita tidak bisa membendung tekanan internasional untuk membongkar berbagai kejahatan-kejahatan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM," katanya. Hanya, tambah Benyamin, peradilan terhadap kejahatan HAM itu tidak perlu dibawa ke forum Mahkamah Internasional -sesuai target dari resolusi Komisi HAM PBB. "Mengapa harus dibawa ke Mahkamah Internasional, kalau kita sendiri mampu mengadili di dalam negeri," lanjutnya.

Cuma, penolakan pemerintah terhadap resolusi PBB -setelah sebelumnya Menteri Muladi mengatakan sebaliknya- tak pelak memicu kontroversi. "Bingung. Gagap. Ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki pertimbangan yang baik," tukas Munir, Koordinator Kontras. Semua kebijakan pemerintah menyusul hasil jajak pendapat di Timtim, menurut Munir, menunjukkan hal itu. "Darurat militer diubah. Soal izin masuk pasukan PBB diubah. Jadi, saya yakin, sikap penolakan pemerintah terhadap resolusi PBB hanya akan bertahan dalam hitungan hari," tambahnya.

Apa yang terjadi? "Ini semua terjadi karena pemerintah terlalu defensif dan ketakutan terhadap berbagai tekanan internasional. Dan pihak yang paling ketakutan itu siapa lagi kalau bukan militer," kata Munir. Hendardi, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), melihat hal yang sama. "Sikap keras kepala pemerintah dalam hal ini menunjukkan itikad buruknya untuk memberikan perlindungan politik bagi TNI yang menjadi tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur," ujar Hendardi.

Padahal, lanjut Munir, resolusi itu justru akan membantu memperbaiki citra Indonesia di mata internasional. "Komisi penyelidikan itu kan akan mencari bukti berbagai pemberitaan yang selama ini muncul soal Timtim. Hasil komisi ini masih akan diserahkan ke Dewan Keamanan. Oleh Dewan Keamanan nanti akan dibahas lagi, apakah perlu ada pengadilan internasional atau tidak," tutur Munir. Karena itu, sikap tidak kooperatif yang ditunjukkan pemerintah, menurutnya, justru bisa menjadi bumerang. "Penolakan ini kan malah mengundang kecurigaan lebih besar. Sekaligus, memberi petunjuk kepada dunia internasional bahwa memang ada sesuatu terjadi di Timtim," kata Munir lagi.

Koesnanto Anggoro, pengamat politik internasional dari Centre for Strategis and International Study (CSIS), Jakarta, melihat hal yang sama. "Bagaimanapun, penolakan itu malah akan mempersulit posisi Indonesia," katanya. Koesnanto menyebut kasus Serbia. "Serbia juga tidak mengakui adanya Komisi HAM PBB. Tapi, apa yang dia dapat? Negara ini selalu dicaci-maki dan tidak lagi mendapatkan tempat terhormat di mata internasional," tambahnya.

Selain soal kredibilitas, resolusi Komisi HAM PBB dalam kasus Timtim ini, menurut Hendardi, sebenarnya malah menimbulkan dampak positif bagi Indonesia. "Pertama, resolusi itu akan mengakhiri the cycles of impunity, yang selama ini dinikmati militer. Kedua, memberi kontribusi terhadap usaha-usaha mengakhiri dominasi politik militer yang menjadi prasyarat utama demokratisasi yang sedang berlangsung di Tanah Air," ujarnya.

Benarkah TNI menekan berbagai sikap pemerintah menyangkut Timtim? Bagaimana sebenarnya sikap TNI terhadap resolusi Komisi HAM PBB ini? "Kita siap menerima resolusi itu. Tidak ada alasan bagi kami untuk bertindak reaktif," ucap Mayjen Endriartono Soetarto, Asisten Operasi Kasum TNI. Ia menambahkan, TNI selama ini sudah berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai tuduhan keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM di Timtim. "Bahwa kemudian mereka tidak percaya pada keterangan kami, go ahead, silakan periksa," sambung Endriartono.

"Sikap TNI jelas. TNI bersama dunia internasional juga ingin turut menegakkan dan mempromosikan hak asasi manusia di dunia," timpal Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat. Artinya, lanjut Sudrajat, TNI hanya mendesak agar Komisi Penyelidik yang dibentuk Komisi HAM PBB bertindak objektif. "Jangan sampai komisi penyelidik ini tunduk pada negara tertentu yang memang memiliki target dan agenda politiknya sendiri," sambungnya.

Tentang negara dimaksud, Sudrajat enggan menyebutkannya. Yang jelas, pekan lalu, sebuah lembaga kemanusian yang bermarkas di Madrid, Spanyol, sudah mulai merilis daftar para pelaku pelanggaran kejahatan perang di Timtim. Disebut, antara lain nama mantan Kepala Badan Intelijen ABRI, Mayjen Zacky Anwar Makarim, dan mantan Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsuddin. Selain mereka, ada lagi tiga nama panglima komando militer di Timtim, lalu 13 nama pimpinan milisi prointegrasi. Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto juga dianggap ikut bertanggung jawab dalam kejahatan perang di Timtim.

"Itu hanya taktik pelemparan isu," ujar Mayjen Endriartono, mengomentari penyebutan sejumlah nama perwira tinggi itu. Menyusul jajak pendapat di Timtim, lanjutnya, muncul berbagai pihak yang saling melempar isu untuk memperkeruh keadaan. "Lihat saja ketika TNI masih di sana, mereka bilang TNI harus keluar. Nah, setelah keluar, ada lagi yang bilang, itu kan taktik TNI supaya bisa menyalahkan Interfet. Lha, ini pekerjaan siapa, kalau bukan mereka yang ingin memperkeruh suasana," tandas Endriartono.

Kelompok prointegrasi yang dituding dunia internasional sebagai pelaku utama kejahatan perang ternyata malah menganggap sepi resolusi Komisi HAM PBB. "Kalau mau selidiki kami, datang saja. Kami siap. Tapi, tolong tunjukkan kepada kami, di mana ada pelanggaran HAM? Di mana ada pembunuhan massal?" tegas Joao Tavares, Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timtim yang kini bermarkas di Atambua.

Lepas dari kontroversi sikap penolakan pemerintah dan TNI, Komisi HAM PBB diberitakan pekan depan sudah mulai mengirim ahli-ahli investigasinya ke Timtim. Sebelumnya, Organisasi Hakim Internasional (International Council of Jurists) cabang Australia bahkan sudah mulai membuat data bukti-bukti kejahatan perang di Timtim, sebagaimana mereka lakukan di Rwanda dan Yugoslavia.

Seperti disebut dalam resolusi, Komisi Penyelidik Internasional PBB akan menyelesaikan investigasinya sampai 31 Desember. Setelah itu, oleh Sekjen PBB Kofi Annan, hasil itu akan dibawa ke Sidang Umum dan sidang Dewan Keamanan. "Di tingkat itu, saya kira negara-negara seperti Cina, dan kemungkinan Rusia, bisa menolak desakan untuk membentuk Mahkamah Internasional," tutur Asmara Nababan, anggota Komnas HAM. Hanya, lanjut Asmara, meskipun didukung Cina, dalam Dewan Keamanan, Indonesia betapapun tetap akan terpojok. Sebab, menurutnya, ketika tiba saatnya Cina -negara yang selama ini juga terkenal tertutup di bidang HAM- mendapat tekanan dunia internasional, Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali membelanya. "Dalam politik, tidak ada yang gratis," tandas Asmara.

Muchlis Ainurrafik, Abdul Latief Siregar, Ari Sutanti, Rojes Saragih, dan J. Bosko Blikolong (Atambua).

Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 33-1 - 10-10-99

Soeharto Gawat Soemitro Bersikap

Soemitro Djojohadikusumo enggan menjenguk besannya, mantan Presiden Soeharto, yang sedang terbaring tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Prabowo Subianto, sang menantu, pun urung pulang ke Tanah Air. Ada apa?

JATUH sakitnya mantan Presiden Haji Mohammad Soeharto, 78 tahun, sungguh mengagetkan dan menimbulkan sejumlah spekulasi. Berbagai pertanyaan menggelayut. Ratusan wartawan dan fotografer menyerbu Rumah Sakit Pertamina, di Jakarta Selatan, mencari kepastian apa yang terjadi, Selasa pekan lalu.

Sementara, sejumlah tokoh mulai mengalir, membesuk. Yang pertama datang mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah bersama istri. Kepada wartawan, Nyonya Umar Wirahadikusumah menyebut kondisi kesehatan Soeharto baik-baik saja. Menyusul mantan Menteri Sek retaris Negara Moerdiono. Lalu mantan Menhankam/Pangab L.B. Moerdani yang datang bersama empat orang pengawalnya. Tidak satu pun kata keluar dari mulut tokoh "angker" ini. Bahkan, Benny sempat menghalau dengan tongkat sejumlah pewarta foto yang hendak mengambil gambarnya.

Hingga Sabtu pekan lalu, atau hari keempat, masyarakat masih bertanya-tanya tentang kondisi riil mantan orang paling berkuasa di Indonesia selama 32 tahun itu. Juan Felix Tampubolon, pengacara Soeharto yang belakangan menjadi juru bicara keluarga Cendana, kepada Gamma menyatakan, "Saya katakan sejujurnya, Bapak memang terkena stroke ringan. Dan kondisinya sudah mulai membaik. Bapak sudah bisa turun dari tempat tidurnya, berdiri, dan berjalan. Dia juga sudah bisa duduk dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan s aya," tutur Felix. Soeharto, lanjutnya, bahkan sempat melakukan salat Ashar, meskipun masih berbaring di tempat tidur.

Sumber Gamma di Rumah Sakit Pertamina menyebut, Soeharto memang terkena stroke. "Tapi, bukan pecahnya pembuluh darah. Cuma penyumbatan," ujar sumber, yang ikut merawat Soeharto itu. Ada pun yang terkena penyumbatan itu adalah nervous 5,7 dan 9. Urat syara f yang mengalami sumbatan ini terkait dengan bagian muka, dan berpengaruh pada kegiatan berbicara dan menelan. "Karena itu, Pak Harto makan dan minum pakai selang," lanjutnya. Akibat penyumbatan ini, Pak Harto bukan hanya cadel, tapi memang tidak mampu bi cara. "Untuk recovery, butuh waktu lama. Dan kalaupun sembuh, tak akan 100 persen. Ibarat selang plastik yang sempat tersumbat, tidak bisa
mulus lagi," tambah sumber tersebut.

Musibah stroke ringan ternyata membawa berkah. Kehadiran tokoh-tokoh seperti L.B. Moerdani, Moerdiono, Sudharmono, dan sejumlah mantan orang-orang dekat Soeharto lainnya menunjukkan kepada Soeharto dan keluarga bahwa masih banyak tokoh yang bersimpati kep adanya. Tak hanya itu, simpati juga muncul dari penyerang Soeharto par-exelence, Amien Rais. Disebut berkah, menurut pengamat politik Fachry Ali, karena sakitnya Soeharto juga membuat publik memperoleh kesadaran baru. "Peristiwa ini tampaknya mampu membuat orang memilah-milah antara apa kesalahan yang dilakukan Soeharto dan jasa-jasanya. Kalau pa da proses reformasi awal orang secara bergelora melihat hanya kesalahan Soeharto, kini mereka mulai sadar bahwa Soeharto ternyata memiliki sisi lain," katanya.

Kehadiran para tokoh politik itu, ditambah membanjirnya ratusan karangan bunga (yang dalam waktu singkat habis dijarah orang), di mata Fachry, menunjukkan betapa kuat kehadiran pengaruh politik Soeharto, meski dalam keadaan sakit. Pentas itu ternyata dima nfaatkan banyak tokoh. Amien Rais, Gus Dur, dan Kwik Kian Gie, di barisan yang menamakan diri proreformasi, atau Sudharmono, L.B. Moerdani, Moerdiono, dan Tunky Ariwibowo, menurut Fachry, secara sadar memanfaatkan panggung politik ini.

Sedangkan pengamat politik Daniel Sparingga melihat kunjungan Gus Dur, Amien Rais, dan Kwik Kian Gie membuka wacana baru dalam melihat posisi politik Soeharto. "Kunjungan mereka menunjukkan bahwa Soeharto bagi mereka is not forgotten but forgiven," ujar Daniel.

Lebih jauh, panggung politik yang muncul dari sakitnya Soeharto ini, menurut Daniel, malah memungkinkan terjadinya sebuah proses rekonsiliasi. Sebab, katanya, di tengah masyarakat sekarang ini setidaknya ada tiga perspektif dalam melihat persoalan Soehart o. Pertama, kasus Soeharto never forgotten and never forgiven. Kedua, never forgotten, but forgiven. Ketiga, forgotten, never forgiven. Keempat, forgotten and forgiven.

Kecenderungan kekuasaan ke depan, menurut Daniel, adalah pilihan kedua. "Kesalahan Soeharto memang tak akan dilupakan. Tapi, mereka cenderung akan memaafkan Presiden kedua Indonesia ini," sambungnya. Di sinilah, lanjut Daniel, konteks politik kunjungan Am ien Rais, Kwik Kian Gie, dan sejumlah tokoh lain ke Rumah Sakit Pertamina, tempat Soeharto dirawat. "Kunjungan itu harus dipahami sebagai kunjungan kemanusiaan dan politis. Itu menunjukkan adanya hasrat untuk tidak melupakan masa lalu, tapi ada niat untuk memaafkan," lanjut dosen FISIP Universitas Airlangga tersebut.

Namun, pandangan optimistis Daniel tampaknya bertepuk sebelah tangan. Paling tidak untuk sementara. Betapa tidak, kehadiran Amien Rais yang tidak diizinkan melihat langsung Soeharto, atau rencana kunjungan Presiden B.J. Habibie yang hingga kini tertunda-t unda, terpaksa memunculkan spekulasi lain. Faktor penghambat itu disinyalir adalah sikap anak-anak Soeharto.

Dari berbagai kunjungan tokoh-tokoh politik hampir selama sepekan Soeharto dirawat, Dewi Fortuna melihat jelas faktor anak-anak Soeharto ini. "Ada seleksi ketat dari anak-anak Pak Harto," tutur Dewi kepada Taufik Rinaldi dari Gamma. Anak-anak Soeharto itu , menurut juru bicara Kepresidenan ini, tampaknya tidak mau mengambil risiko. "Karena itu, yang dikasih masuk hanya orang biasa yang tidak akan memunculkan gejolak emosi dan dianggap cukup dekat dengan Pak Harto serta dianggap tidak bermasalah," kata Dewi .

Apakah ini soal dendam? "Mungkin saja," jawab Dewi Fortuna, enteng. Sikap itu, menurut Dewi, memang kecenderungan yang wajar. "Pak Habibie kan harus mempertanggungjawabkan Tap MPR soal pemberantasan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme itu. Dan tidak hanya KKN-nya Soeharto saja, tetapi juga terkait dengan anak-anak dan kroninya. Ya terang saja kalau anak-anaknya marah," lanjut Dewi.

Analisis Dewi soal dendam ini tampaknya beralasan. Apalagi, Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo, besan Pak Harto, pun ternyata enggan menjenguk. "Saya tak merencanakan untuk berkunjung ke sana," cetus Pak Cum --panggilan akrab Soemitro Djojohadikoesoemo-- kepada sejumlah wartawan.

Menariknya, Pak Cum tidak berhenti di situ. Seakan memberi alasan keengganannya, Pak Cum melanjutkan, "Saya sudah menyatakan sikap. Saya sudah lama tak berhubungan dengan Soeharto." Sampai di situ, Pak Cum enggan melanjutkan wawancara. Sikapnya itu sudah lama diketahui masyarakat.

Dikisahkan, misalnya, bahwa dua hari setelah jatuhnya Soeharto, Pak Cum mencoba menghubungi Soeharto untuk minta bertemu. "Lewat ajudan saya mengatakan ingin bertemu," kata Pak Cum. Biasanya, setelah pesan itu disampaikan kepada ajudan, dua hari kemudian Pak Cum akan mendapat jawaban. "Satu minggu kemudian saya baru mendapat jawaban, "Bapak masih sibuk." Dua minggu kemudian, saya telepon lagi. Tetap tidak ada tanggapan. Sejak itu, saya tak pernah mau ketemu lagi," tutur Pak Cum.

Apa yang terjadi? Apa yang membuat hubungan Pak Cum terputus dengan Soeharto? Pak Cum ternyata melihat hal yang sama dengan Dewi Fortuna: faktor anak-anak Soeharto. Sebenarnya, tentang berbagai hujatan yang menimpa Soeharto selama ini, Pak Cum mengaku sed ih. "Tidak hanya sebagai besan, tapi sebagai manusia tentu saya sedih," tuturnya. Hanya, kesalahan besar Soeharto selama tiga puluh tahun berkuasa, di mata Pak Cum, adalah kepercayaannya yang berlebihan kepada anak-anaknya, juga kepada para
kroninya.

Selama sepuluh tahun pertama berkuasa, Soeharto di mata Pak Cum sebenarnya pemimpin yang baik, bahkan hebat. Kenapa selama sepuluh tahun pertama kita bisa berhasil membangun? "Karena, kita bisa percaya dan mengandalkan dia sepenuhnya. Ketika itu, dia bena r-benar pegang janji dan kata-katanya. Dan kalau ada kritik dari luar negeri, atau setiap terjadi kesalahan yang dilakukan para menteri, Pak Harto selalu mengambil tanggung jawab. Hebatnya di situ," tutur Soemitro suatu kali kepada tabloid Detak.

Perkembangan selanjutnya, terutama setelah meninggalnya Ibu Tien, kekuasaan Soeharto semakin tidak terkontrol. "Pengaruh anak-anak, dan terlalu lamanya Soeharto berkuasa, merupakan penyakit yang diderita Soeharto selama sepuluh tahun terakhir," lanjut Pak Cum. Soal kekayaan, di mata Pak Cum, Soeharto sebenarnya tidak terlalu rakus. "Haus kekuasaan mungkin," jelasnya. Bagi Soeharto, katanya, kekayaan adalah alat untuk mengonsentrasikan kekuasaan itu. "Dia bikin berbagai yayasan yang bertugas menghimpun dana. Set elah dana itu terkumpul, dia memanfaatkannya untuk menghimpun kekuatan dengan mempengaruhi orang lain. He needs money to buy power. Di sini, pengaruh anak-anaknya besar sekali," jelas Soemitro

Ternyata, ada penjelasan psikoligis tentang sikap Soeharto kepada anak-anaknya. "Itu tidak lepas dari masa kecil dia. Atau, ada semacam beban kejiwaan masa lalu," Pak Cum terus memberikan penilaian. Cerita soal ini diperolehnya ketika Pak Cum melamar Titi ek (Siti Hediyati) untuk anaknya, Prabowo Subianto. Waktu itu, kepada Pak Cum dan keluarga, Soeharto berkisah mengenai dirinya yang sejak berusia 10 tahun berpisah dari kedua orangtuanya.

"Jadi, sejak lahir saya sebenarnya nggak kenal ibu kandung saya. Jadi, saya besar di desa. Saya jadi rebutan pada saat saya umur 10 tahun, antara keluarga yang mengasuh saya dan bapak kandung saya. Kemudian, saya dikompromikan ditaruh di Wonogiri, di kelu arga mantri, bapaknya Sudwikatmono. Makanya, Sudwikatmono lebih dari saudara kandung," begitu cerita Soeharto di depan keluarga Pak Cum. "Karena tidak mau anak-anaknya bernasib seperti masa kecilnya yang gelap, dia tebus itu dengan memberikan
segalanya ke pada anak-anaknya."

Pak Cum mengaku sudah dua kali mengingatkan Soeharto soal ini. "Mungkin saya satu-satunya orang yang mengingatkan soal anak-anak," katanya menjelaskan sikapnya. "Tapi, saya sempat dengar Benny Moerdani juga pernah menyinggung itu, tapi dimarahi. Itu saya dengar dari Soedharmono," sambung Pak Cum.

Peristiwanya sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Sebagai Ketua Umum Ikatan Koperasi Pegawai Negeri (IKPN), Pak Cum menemui Soeharto di Cendana. Dalam kesempatan itu, Pak Cum mengingatkan Soeharto bahwa kelakuan anak-anaknya sudah menjadi isu politik. "Wak tu itu, saya tidak mengkritik. Hanya menyampaikan fakta." Menurut Pak Cum, Soeharto ternyata tidak bereaksi. Diam. Ketika Pak Cum pamit, di pintu, Soeharto sempat bilang, "Iya Pak Mitro. Saya menyadari anak-anak saya terkena isu politik."

Peringatan Pak Cum tujuh tahun lalu itu kini terbukti. Soal anak itu pulalah yang kemudian memutuskan hubungan keluarga Pak Cum dengan keluarga Soeharto. Tentang keberadaan Prabowo di tengah keluarga Cendana, Pak Cum bertutur, "Hubungan Bowo dengan anak-a nak Pak Harto tidak baik, selalu bentrok, meski tidak sampai tersiar ke luar. Dengan Tommy bentrok soal cengkeh, dengan Mamiek bentrok soal helikopter. Anak-anak ini kemudian mempengaruhi bapaknya, sehingga Pak Harto akhirnya lebih percaya Sjafrie (Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan mantan pengawal Soeharto, Red.) daripada Bowo. Yang paling akhir, Bowo
dikhianati mertuanya sendiri."

Menjelang Soeharto lengser, atau di saat-saat krisis kekuasaan setahun lalu, hubungan keluarga Soeharto dengan Prabowo dan keluarga dikabarkan semakin merenggang. "Dari sumber kedua, saya dengar, pada hari-hari sulit itu, seluruh keluarga Soeharto memang memusuhi Prabowo, karena dia dianggap menyulitkan mereka. Ketika itu, Prabowo banyak disorot karena kasus penculikan. Di mata mereka, Prabowo dianggap memiliki sumbangan bagi semakin terpuruknya rezim Soeharto," tutur Dewi Fortuna Anwar.

Menurut Dewi, hubungan buruk antara Prabowo dan keluarga Cendana, sebagaimana dituturkan Pak Cum, memang sudah berlangsung lama. "Saya sering dengar Prabowo sudah lama terasing di antara keluarga Cendana itu," kata Dewi. "Kita tahu, keluarga Pak Mitro itu keluarga intelektual. Mereka ini orang lama yang tidak perlu membuktikan diri lagi tentang siapa mereka."

Pengacara Juan Felix Tampubolon membantah hampir semua tuduhan-tuduhan itu. Pak Harto, katanya, bukan pendendam, dan anak-anaknya pun begitu pula. Bahwa tidak semua tamu bisa masuk, itu lantaran Pak Harto sedang menjalani tes medis. "Jadi, bukannya keluar ga Cendana menghalang-halangi," lanjutnya. "Nggak ada pilih-pilih bulu begitu. Hubungan Soearto dan Pak Mitro pun wajar saja. Bahwa Prabowo Subianto belum membesuk, itu karena memang berada di luar negeri, seperti halnya Nyonya Bambang Trihatmodjo yang ju ga masih berada di mancanegara."

Tapi, paling tidak, agaknya menarik pesan Amien Rais pada ajudan Soeharto tatkala membesuk ke Rumah Sakit Pertamina. Seperti dikatakannya kepada Julie Indahrini dari Gamma, "Saya mendoakan kesembuhan dan yang paling baik bagi Pak Soeharto," kata Amien Rai s. Sebuah kata-kata yang justru meluncur dari bekas "musuhnya". Dan tentunya akan lebih baik lagi yang dikatakan besan dan menantunya.

Muchlis Ainurrafik, A. Latief Siregar, Ruba'i Kadir, Rika Condessy, Yuyuk Andriati Iskak

Dimuat di Majalah GAMMA, 28 Jul 1999

Curriculum Vitae

Name Muchlis Ainur Rofik
Sex Male
Date of birth Lamongan, October 5, 1967
Nationality Indonesia
Email muchlis_ar@yahoo.com; muchlis@an.tv

Education record

SD Negeri Bluluk, Lamongan, 1974 - 1980
KMI (Kulliyyatul Mu'allimin al-Islamiyyah) Islamic Boarding School, Gontor, Ponorogo, 1980 - 1986
Faculty of Islamic Education, State Institute for Islamic Studies (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1988 - 1989
Faculty of Theology and Philosophy, State Insititute for Islamic Studies (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1989 - 1995
Fellow at Knight Wallace Professional Journalism Fellowship at University of Michigan, Ann Arbor, USA, 2002 – 2003

Organization Record

Chairman of Muhammadiyah Student Association (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Ciputat, 1988 - 1990
Chairman of Faculty of Theology and Philosophy Student's Board, 1988 - 1990
Chairman of Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), 1990 - 1992

Employment Record

Assistant to the Editor at Jurnal Ulumul Qur'an, Jakarta, 1990 - 1992
Research and Education Staff at Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 1990 - 1992
Manager of Jakarta Office of Mizan Publishing House (Bandung), 1992 - 1995
Assistant to the Editor at Jurnal Studia Islamika, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995 - 1996
Research and Publication Manager at Perhimpunan untuk Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1996 - 1996
Editor of Political Desk at Tabloid PARON (Weekly News Tabloid), 1996 - 1998
Editor of Political Desk at GAMMA Weekly News Magazine, 1998 - 2001
Assignment Editor and Producer at Metro-TV, Jakarta, 2001 - 2006
Coordinator of Regional News Gathering editors at Antv, Jakarta, 2006 -

Workshops, Training, Courses and Seminars

National Forum

Project Officer of Seminar on Religion, Democracy, and Pluralism, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 1989
Program Officer of Seminar on Religion and Pop Culture, Mizan Book Publishing, Jakarta, 1992
Program Officer of International Conference on Religion and Spirituality, Jakarta, 1993
Program Officer of Trainings on Gender and Women's Rights in Islam, Perhimpunan untuk Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1996
Trainer on Journalism for various student circles at Islamic State University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000-2004
Trainer on Media literacy for Muhammadiyah Youth Leaders, at Gedung Dakwah Muhammadiyah (Muhammadiyah Headquater), Jakarta, 2003
Trainer on Broadcast (TV) Media Literacy for KIP (Komite Independen Pemilu) Aceh’s board members, Hotel Sultan, Banda Aceh, 2005
Trainer on peace journalism and war coverage by Aliansi Jurnalis Independen (AJI), at Padang, West Sumatra, 2008

International Forum


Participant of International Workshop on Religious Tolerance and Pluralism, AMAN, Bangkok, Thailand, 1997
Resource Person of on Media and the war against terrorism at the Center of Middle East, University of Michigan, Ann Arbor, USA, 2002
Resource Person on Politics, Media and the Rise of Islamic Fundamentalism in Indonesia at the Center for South-east Asian Studies, University of Michigan, Ann Arbor, USA, 2003

Special Projects and Assignments

Field Producing the stories of fall of President Abdurrahman Wahid as seen from East Java (the hotspot of Gus Dur’s defenders), Metro-tv, 2001
Field Producing “live report” on the crash of two trains (the death toll around 60 people) at Brebes, Central Java, Metrotv, 2001.
Designing and Producing “Midnight Live”, a midnight live program (talkshows and live reports) on human-interest issues such as people with aids, gays, trans-sexuality, drug culture, culture of violence, health service for the poorest, and so on. Metrotv, 2003.
Reporting “Live” the dynamics of first ever Presidential Election in the East Java Area, the so-called hotspot of religion and politics. Metrotv, 2004.
Field Producing the coverage of decommissioning Gerakan Aceh Merdeka at Banda Aceh and Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam. Metrotv, 2005
Reporting war between Israel and Hizbullah in Lebanon. Antv, 2006

Komik Dewasa yang Digemari Anak

Di Jepang oplah komik Crayon Shinchan mencapai 25 juta eksemplar! Komik yang diperuntukkan orang dewasa yang juga disebut anak bau kencur.

“GUE sudah cari komik ini ke mana-mana. Eh tahunya dapet di sini. Gimana enggak girang,” kata Dewi, 23 tahun, setengah berteriak sambil mendekap komik Crayon Shinchan edisi 8. Dewi adalah satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan remaja dan anak-anak yang terkena virus baru: demam Crayon Shinchan.

Di rak buku toko buku (TB) Gunung Agung Kwitang, tempat Dewi melompat kegirangan, tinggal 15 eksemplar dari 1.000 yang disediakan. “Kami sampai meminta tambahan stok dari Gunung Agung Lokasari,” tutur Donny S. Sutadi, pengelola TB Gunung Agung Kwitang. Donny tahu komik Shinchan menjadi perdebatan di tengah masyarakat. “Memang kurang mendidik. Tapi kan buku tidak selalu harus mendidik. Bisa juga cuma menghibur. Dan komik Shinchan cukup menghibur,” tutur Donny kepada Rita Hendriawati dari GAMMA.

“Di sini hampir setiap lima menit ada saja orang yang menanyakan komik Shinchan,” tutur Lanuardi Harianja, staf TB Gramedia Bandung. “Jadi, kalau dihitung, di toko kami saja, setiap jam ada 12 orang mencari komik Shinchan. Kalau toko buka sehari 12 jam, maka sudah 144 orang yang tanya Shinchan.” TB Gramedia Bandung sebenarnya ingin meraup untung dari Shinchan, “Tapi, karena kami menganggap isinya kurang mendidik, kami tidak ikut menjual,” tutur Lanuardi kepada Gagak Lumayung dari GAMMA.

Pengelola TB Gramedia Yogya mengungkap hal yang sama. “Sejak November lalu, kami terus-menerus didatangi remaja dan anak-anak yang menanyakan komik ini,” tutur Haryono, seorang penyelia di TB Gramedia Yogya. Sama seperti TB Gramedia Bandung, TB Gramedia Yogya juga menolak menjual Shinchan. “Buku ini masuk dalam daftar black-list, karena tidak sesuai dengan misi kami,” kata Haryono.

Itu baru cerita dari toko buku, yang selama ini menjadi jalur konvensional peredaran buku dan komik. Padahal, peredaran komik Shinchan tak hanya lewat jalur konvensional. Penelusuran GAMMA di jalur distribusi koran dan majalah menunjukkan kisah sukses penjualan komik ini sungguh dahsyat.

Sejumlah agen besar yang ditemui GAMMA, seperti Lubis Agency di kawasan Senen, Parasian Agency, Harianja Agency, dan Gelael Purba Agency di Jakarta, menyatakan penjualan Shinchan mencapai 100 persen. “Permintaan dari sub-agen terus mengalir. Bahkan, dari daerah, permintaan terus meningkat. Seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pokoknya, berapa pun kami dikirim, pasti laku. Bahkan, komik yang agak rusak sedikit pun pasti laku,” ujar Budi, sub-agen yang mengaku rata-rata telah menjual 50.000 eksemplar Shinchan per edisi.

Komik Crayon Shinchan karya Yoshito Usui pertama kali diterbitkan oleh Futabasha Publishers Ltd., Tokyo, Jepang, tahun 1992. Hak terjemahannya di Indonesia dipegang PT Indorestu Pacific, yang beralamatkan PO Box 4633, Jakarta. Cetakan pertamanya tertulis Februari 2000. Sampai saat ini di pasaran, sudah beredar delapan edisi komik Crayon Shinchan.

Kisah sukses Shinchan di Jepang lebih fantastis. “Oplahnya mencapai 25 juta eksemplar. Lumayan bagus,” tutur Nakano, Manajer Divisi Lisensi dari Futaba Sha Ltd., yang berkantor pusat di Tokyo kepada Shizuko Ito dari Gamma. “Bagi Futaba Sha, komik Shinchan adalah sumber keuntungan utama,” kata Nakano. Komik lain terbitan Futaba Sha yang paling laku “hanya” mencapai tiga jutaan eksemplar.

Yang menarik, di Jepang, komik dan cerita karya Yoshito Usui, 42 tahun, sebenarnya ditujukan untuk pembaca dewasa. “Istilahnya salary (bergaji) man,” tutur Nakano. Selain dalam bentuk komik, cerita Crayon Shinchan hingga kini dimuat berseri dalam majalah Shukan Manga Action (majalah mingguan komik aksi) yang beroplah 250.000. Dalam versi buku, komik Shinchan telah diterbitkan 28 seri –seri terbaru diterbitkan awal bulan ini.

Meski diperuntukkan orang dewasa, belakangan remaja hingga murid taman kanak-kanak di Jepang juga gandrung. “Mereka suka dengan karakter Shinchan yang begitu energik,” kata Nakano. Sekitar enam atau tujuh tahun lalu, sempat muncul protes dari kaum ibu dan pendidik di Jepang. “Tapi, itu dulu. Sekarang protes-protes itu sudah tak ada,” katanya. Kini, komik Crayon Shinchan sudah merambah berbagai negara. Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, Spanyol, dan Indonesia. Tentang munculnya protes dari sejumlah kalangan di Indonesia, Nakano menanggapi enteng. “Yang memilih kan para pembaca. Kalau pembacanya senang, kenapa salah?” tuturnya.

Selain muncul di majalah, cerita Usui-san juga menjadi tayangan tetap di sebuah stasiun televisi Jepang. Pernah juga dibuat versi layar lebar dan video. “Pokoknya, selama Usui-san mau menulis, kami akan tetap menerbitkan Crayon Shinchan. Entah sampai berapa puluh tahun lagi,” Nakano berterus terang.

Apa kiat sukses Crayon Shinchan? “Saya kira resepnya ada pada karakter Shinchan yang begitu aktif, energik, bergiat, penuh semangat,” kata Nakano. “Memang Shinchan tampak agak lancang, agak sombong. Tapi kan itulah wajah sebenarnya seorang anak.”

Ini dibenarkan Andi Yudha, manajer buku anak dan remaja Penerbit Mizan, Bandung. “Lebih dari itu, menurut saya, karena ada filmnya di televisi. Kalau tidak ada filmnya, enggak mungkin laku seperti ini,” tutur Andi Yudha, yang juga sudah menerbitkan ratusan komik. Di sisi lain, dari segi teknik, komik, dan animasi, Shinchan juga kreatif. “Di situ ada teknik exageration, atau unsur melebih-lebihkan. Misalnya, ada tokoh yang menangis, tapi air matanya digambarkan mengucur seperti hujan. Pada umumnya anak-anak suka dengan penggambaran seperti itu,” kata Andi.

Maka, kisah sukses Crayon Shinchan mestinya menjadi masukan bagi pemerintah dan kalangan industri perbukuan, bahwa pasar komik begitu besar. Sayang, pasar itu justru dinikmati importir buku asing yang sering kali hanya memburu keuntungan daripada menyajikan bacaan bermutu dan mendidik. Vivi, petugas penjualan PT Indorestu Pasifik, misalnya, enggan memberi jawaban terhadap munculnya keberatan banyak pihak atas isi Crayon Shinchan. “Mengapa buku-buku kami yang dibajak itu tidak dipersoalkan,” kata Vivi agak ketus. Menurut Vivi, penjualan komik Shinchan justru sebenarnya tidak istimewa. “Edisi pertama kami cetak hanya 9.000 eksemplar. Tapi edisi terakhir, edisi 8, kami cetak 40.000 eksemplar. Jadi, kalau Anda bilang di pasaran begitu banyak beredar, itu Shinchan bajakan,” kata Vivi.

Adakah yang salah dari banjirnya buku impor? Tidak juga. “Ilmu pengetahuan kan sifatnya universal. Dan masyarakat kita sangat membutuhkan itu,” tutur Retno Kristi, editor di PT Elex Media Komputindo yang banyak mengimpor buku asing, kepada Arie Winata dari GAMMA. Hanya membandingkan kisah sukses Shinchan, Doraemon, Dragon Ball, Ikyu San, dan ratusan komik impor, dengan komik produksi dalam negeri memang terasa menyakitkan.

Menurut Arswendo Atmowiloto, pemerhati komik dan cerita anak, kenyataan ini mestinya mengusik pemerintah dan bisnis penerbitan. “Faktanya sekarang, mengimpor komik jauh lebih murah dan menguntungkan ketimbang membuat sendiri,” kata Wendo. Dengan biaya macam-macam yang harus dikeluarkan oleh penerbit komik, dari ilustrator, pembuat cerita, sampai pembuatan film, menurut Arswendo, biayanya bisa tiga kali lipat dari buku impor. “Yang lebih menguntungkan, kalau mengimpor bisa langsung satu paket, seratus judul plus film, misalnya,” tutur Wendo.

Wendo benar. Film Crayon Shinchan, yang diputar RCTI setiap Minggu pukul 09.00, sarat iklan. “Tarif iklan pada jam tayang tersebut Rp 6 juta rupiah per 30 detik,” tutur Irma Lubis, dari Humas RCTI. Menurut Irma, dibanding film animasi lain, peringkat film Crayon Shinchan cukup bagus. “Film ini menduduki peringkat ke-9,” tutur Irma.

Menyedihkan? Begitulah. “Pokoknya, kita tidak akan pernah menang melawan serbuan buku impor,” Arswendo menandaskan. Di sini pemerintah tidak pernah punya kebijakan tertentu tentang buku. Apalagi tentang buku anak. Padahal, di negara mana pun, bahkan negara Asia seperti Malaysia, buku anak mendapat perlindungan luar biasa, seperti bantuan kertas, pajak, dan seterusnya. “Itu yang membuat mereka bisa berkembang,” Wendo menambahkan. Sementara, di sini dunia perbukuan kempis-kempis, Sinchan impor malah yang berkembang.

Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Seiichi Okawa, & Shizuko Ito (Tokyo).

Dimuat Gamma, 17 Januari 2001

Dilarang Malah Laris

Liem Soei Liong, aktivis TAPOL, khawatir usulan presiden mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 diselewengkan. Apa maksudnya?

BILA tidak ada aral melintang, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Presiden Abdurrahman Wahid kembali menjelaskan ihwal usulnya mencabut ketetapan MPR yang melarang ajaran marxisme, leninisme, komunisme, dan pembubaran Partai Komunis Indonesia, Sabtu pekan ini. Dari kalangan partai, hanya Partai Kebangkitan Bangsa yang memberi dukungan. Selebihnya, dukungan bagi Presiden mengalir dari sejumlah LSM, seperti YLBHI, Elsam, PBHI, Solidaritas Perempuan, dan lain-lain.

Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR-RI Akbar Tanjung pun bereaksi keras. “Gus Dur bermain api,” kata Amien. Dari jajaran kabinet, reaksi keras muncul dari Menkumdang Yusril Ihza Mahendra.

Pemerintahan Gus Dur sebenarnya sudah melepaskan semua tahanan politik, termasuk tapol eks PKI. Sudah menghapus lembaga Litsus dan Bakorstanas. Menteri Yusril Ihza Mahendra bahkan secara khusus datang menemui para eks tapol dan pelarian politik di Amsterdam, Belanda, akhir tahun silam. Saat itu, kebijakan Gus Dur untuk memberikan hak kewarganegaraan bagi para pelarian politik dan eks PKI ini mendapat sambutan hangat.

Liem Soei Liong, aktivis TAPOL -sebuah lembaga pembela hak-hak para tahanan politik, bermarkas di London, Inggris, setelah puluhan tahun dilarang masuk ke Tanah Air, pekan lalu, bisa datang ke Indonesia, walau hanya sepekan. “Ya izin khusus saya memang cuma seminggu,” ujarnya kepada Yuniyanti Chuzaifah, koresponden Gamma di Amsterdam, Senin pekan ini. Liem menyebut izin khusus, karena dia mengaku hingga sekarang masih dalam status dicekal. Apa pendapatnya soal pro-kontra usul Presiden mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 itu? Berikut petikan wawancaranya:

Status Anda masih dicekal. Kok bisa masuk juga ke Indonesia?

Ceritanya saya diundang Ridep (Research Institute for Democracy and Peace) sebagai pembicara dalam seminar dengan tema Uni Eropa, Indonesia, dan Timor Timur di Bogor pada 4 hingga 6 Mei lalu. Seminar ini ditutup oleh Presiden Gus Dur dengan jamuan makan di Istana Bogor.

Tapi, pekan lalu, Anda juga hadir lagi di Indonesia?

Saya diundang oleh rekan-rekan di Solidamor untuk membahas persoalan organisasi berkaitan dengan isu tapol-napol dan sharing visi politik pribadi saya dengan teman-teman. Seminar mengenai Tap No. XXV/1966 diadakan seminggu sebelumnya.

Bagaimana Anda menilai substansi usulan presiden itu?

Di level ideologi, maksud Gus Dur jelas agar bentuk-bentuk pelarangan sebuah ideologi dihentikan. Karena, pelarangan satu ideologi akan merembes pada pelarangan ideologi-ideologi atau paham-paham yang lain. Orde Baru dengan Kopkamtibnya melawan semua paham-paham oposisi, membasmi paham-paham yang lain di luar mainstream mereka. Menurut logika Gus Dur, pelarangan paham komunisme-marxisme sudah tidak perlu.

Sebab, sebagai sebuah paham, marxisme di Indonesia malah banyak dibaca orang. Kemarin saya amati di Gramedia, buku-buku tentang marxisme itu banyak terjual. Banyak judul-judul baru yang mungkin di Belanda atau di negara lain tidak banyak beredar, karena memang sudah tidak laku. Tapi, buku-buku itu di sini laku keras karena dilarang. Jadi, dalam praktik, tidak ada artinya membendung paham Marxisme-komunisme.

Lagi pula, di tingkat praktis, komunisme sudah tidak laku lagi. Di mancanegara Partai Komunis sudah dikubur termasuk di Belanda dan Inggris. Kalau toh dulu orang ikut PKI pada saat itu, sebenarnya sama halnya orang ikut Partai Golkar pada masa Orba. PKI saat itu menjadi partai terbesar dan mapan, sehingga banyak orang masuk PKI karena ingin naik pangkat, merasa lebih menjanjikan. Jadi, orang bergabung dengan PKI bukan karena radikalisme.

Tapi mengapa sejarah PKI akhirnya begitu berdarah-darah?

Sebetulnya, konflik yang terjadi pada saat itu bukan PKI versus Angkatan Darat, tapi Angkatan Darat vs Angkatan Darat. Siapa Latief, siapa Untung? Dengan peta konflik seperti itu, bisa saja seluruh PKI dianggap makar, dan akhirnya dihancurkan.

Tapi, faktanya, sampai saat ini banyak kalangan mengkhawatirkan kembali bangkitnya komunisme di Indonesia?

Kalau jujur, orang-orang “lama” yang di luar negeri atau jaringan yang betul-betul aktif melawan Soeharto sangat kecil sekali, bisa dihitung dengan jari. Apalagi, semangat untuk membangun kembali PKI.

Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini datang ke Belanda khusus untuk menemui para eks tapol, dan memberikan kembali hak kewargaan mereka. Bagaimana sebetulnya posisi mereka dalam konteks pro-kontra pencabutan tap ini?

Gus Dur dan Yusril salah kaprah. Mereka yang telah lama terhalang pulang ini tidak terlalu bermasalah dengan pulang ke Indonesia, mereka sudah banyak yang punya paspor Jerman, Belanda, dan lain-lain. Mereka sudah sering pulang ke Indonesia. Yang harus direvisi mestinya, bagaimana para pegiat HAM ini tidak perlu lagi dianggap subversi, sehingga tidak perlu dicekal.

Tentang pro-kontra terhadap usulan Gus Dur?

Yang meresahkan ketika mulai muncul baju hijau (Islam) dengan laskar jihadnya. Saya khawatir isu Tap MPR ini diselewengkan untuk melawan pemerintahan dengan cara yang tidak sah. Selagi masih dalam tatanan demokrasi, didiskusikan di MPR, itu bagus. Dan saya bisa mengerti keberatan Amien Rais dan kelompok-kelompok Islam. Itu hak mereka, dan boleh-boleh saja. Bagi saya, pencabutan Tap MPR secara prinsipil nonisu.

Itu menurut Anda. Tapi, bagi para eks tapol yang ada di perantauan?

Mereka juga menganggap isu ini tidak terlalu penting.

Baiklah, bagaimana Anda melihat perkembangan politik di Tanah Air?

Demokrasi dalam bentuk institusi mulai berkembang, misalnya pemilihan parlemen yang betul-betul demokratis, yang tidak pernah terjadi selama 30 tahun. Dari tiga pilar trias politika hanya tatanan hukum yang belum ada reformasi, misalnya saja kasus saya yang sampai saat ini masih dicekal. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang bekerja masih tatanan Orde Baru.

Anda punya kritik untuk Gus Dur?

Gus Dur cukup punya keberanian besar untuk merombak sistem, antara lain memperlemah posisi militer. Ini sebuah prestasi, karena militer inilah salah satu penyebab hancurnya sistem politik Indonesia. Pandangan Gus Dur terkadang sangat progresif sampai tiga langkah ke depan melampaui cara berpikir orang kebanyakan. Dalam hal ini orang tidak bisa memahami, sehingga sering salah interpretasi.

Belakangan, rezim ini mulai disorot karena KKN. Pemerintahan Gus Dur juga belum berhasil memulihkan ekonomi.

Saya belum bisa menilai tentang berbagai tudingan KKN itu. Tapi, ekonomi Indonesia memang sudah hancur-hancuran. Dan Gus Dur tidak bisa disalahkan. Siapa pun tidak akan bisa memulihkan situasi ekonomi yang sudah sedemikian parah dalam waktu sekejap. Kehancuran ekonomi kita sudah jauh sebelum Gus Dur berkuasa, penataan perbankan sangat kacau, perusahaan besar sudah banyak yang bangkrut, langkah yang dilakukan hanya tambal sulam. Kondisi ekonomi ini mungkin hanya bisa pulih dalam 10 tahun lagi. Memang situasi ini membuat banyak orang panik. Semua orang bisa disalahkan. Gus Dur bisa salah, Kwik Kian Gie salah, Laksamana Sukardi salah.

Menurut Anda, apa prestasi rezim ini?

Merombak tentara. Masalahnya sekarang ini banyak koalisi yang berusaha melawan Gus Dur. Dan itu secara tidak langsung mengondisikan Gus Dur untuk membuat koalisi juga, dan ini memang niscaya, dengan tentara. Sebetulnya, kalau toh ada konflik antara Gus Dur dengan Amien, atau dengan Mega, itu tidak masalah. Tingkat konfliknya masih sangat wajar. Konflik antarpartai dalam politik itu biasa. Soalnya adalah masyarakat Indonesia masih belum biasa, sehingga mereka bingung. Konflik tersebut tidak masalah selama tentara tidak main. Jadi, jangan sampai Islam kanan ini main dengan tentara.

Sejarah tragedi G-30-S/PKI akhir-akhir ini mulai dikuak. Terakhir, kabarnya ada dokumen soal keterlibatan pemerintah Inggris?

Memang pemerintah Inggris berusaha menutupi dokumen ini, karena sangat berbahaya. Pada saat itu belum ada email, jadi komunikasi berlangsung lewat kawat ke Deplu Inggris di London. Pelan-pelan cendekiawan Inggris antara lain David Easter membongkar persoalan ini dan mereka menemukan bahwa tahun-tahun 1962-64 Inggris membantu gerakan anti-Soekarno di daerah-daerah, juga terhadap sisa-sisa PRRI/Permesta setelah tahun 1958 melalui MI-6 (Dinas rahasia Ingris).

Saat itu pemerintah Soekarno secara riil sedang konflik berat dengan Inggris dengan memerangi Malaysia. Pemerintah Inggris berkepentingan menghabisi Soekarno dan PKI melalui pusat dinas rahasianya di Singapura, dan melakukan intrik-intrik. Saya sempat masuk ke Arsip Nasional Inggris “Public Record Office”, dan membaca dokumen-dokumen itu cukup mengagetkan memang. Karena, selama ini Amerikalah (CIA) yang sering dituduh. Memang CIA terlibat, tapi kecil dibandingkan Inggris.

Contoh konkret dari keterlibatan Inggris itu?

Misalnya, Soeharto melalui Opsus-nya mengutus Ali Moertopo, Beny Moerdani dan lain-lain, untuk keluar ke Bangkok, dan Kualalumpur untuk bertemu dengan orang-orang seperti Tun Abdul Razak dan bermain mata dengan Inggris. Soeharto sebetulnya saat itu sudah makar, karena diam-diam sudah bercumbu dengan Inggris.

Muchlis Ainurrafik

Dimuat di Majalah GAMMA, Edisi 17 -23 MEI 200