Kamis, 17 Juli 2008

Diplomasi Milisi yang Terjepit

Majalah GAMMA
Nomor: 40-1 - 28-11-99

Diplomasi Milisi yang Terjepit


Pejuang milisi prointegrasi Timtim kian terjepit. Mereka melihat masih ada
peluang di jalur perjuangan diplomasi.


HERMENIO da Silva da Costa, 50 tahun, sambil menunduk-nunduk tampak tergesa-gesa meninggalkan lobi Hotel Kristal, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Wajahnya sedikit pucat. Ia baru saja bercakap serius dengan Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Gilard. "Amerika ancam bom Jakarta dan Timor. Demi nyawa rakyat, kami istirahat sejenak," ujarnya sembari merentangkan kedua tangannya. Tergores kekesalan di wajah pencetus dan deklarator milisi alias Pasukan Pejuang Timor Timur (PPTT) ini.

Ancaman Amerika Serikat tampaknya membuat Hermenio kecut. Ia mendiskusikan masalah itu dengan Panglima PPTT, Joao Tavares dan Ketua Front Persatuan Bangsa, Domingos das Dores Soares. Akhirnya, Senin pekan lalu, palu diketok: bubarkan milisi alias Pasukan Pejuang Timor Timur. Tidak ada upacara khusus. Hanya, 53.000 anggota milisi dari berbagai kesatuan dipaksa mengumpulkan dan menyerahkan senjata kepada polisi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tamatkah riwayat milisi prointegrasi? Hermenio membantah. "Kami lihat situasi," kilahnya. Menurut Hermenio, menyerang Timtim saat ini bukan pilihan taktis. Soalnya, Timtim saat ini dikuasai oleh pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Menyerang pasukan PBB sama dengan menyerang Amerika. Itu kami hitung serius," katanya. Maka, konsentrasi kekuatan kini difokuskan untuk membantu pengungsi dan melakukan lobi diplomatik.

Hermenio mengaku telah melakukan lobi dengan Dubes Amerika Serikat untuk mendiskusikan konsep jalur penyangga ala Lebanon. Dalam konsep ini, wilayah Dili dan Aileu terus ke pantai selatan diduduki pasukan perdamaian PBB. Sementara, sektor timur didiami kubu prokemerdekaan. Sektor barat untuk kubu prointegrasi. "Targetnya, agar jangan terjadi bentrok antarkedua kubu, selama masa transisi tiga tahun ke depan," katanya, menandaskan.

Basilio Diaz de Araujo, Deputi Penerangan Front Persatuan Bangsa, menilai konsep jalur penyangga sebagai alternatif yang baik. "Tapi, konsep itu masih akan didiskusikan dalam Kongres Front Persatuan Bangsa, awal Desember," tutur master ilmu politik lulusan Manchester Metropolitan University, Inggris. Basilio juga menawarkan usul lain.

"Misalnya, Pemerintah Indonesia memukimkan warga prointegrasi di sebuah wilayah dengan status provinsi," katanya.

Pembubaran milisi tampaknya tak sekadar gertakan Amerika, seperti dituturkan Hermenio. Di Atambua, kaum milisi sudah nyaris kehilangan simpati. Peristiwa Sabtu dua pekan lalu di Biara Nenuk adalah contoh aksi yang mengundang antipati. Dalam peristiwa itu, para pejuang milisi melepaskan tembakan secara membabi buta ke udara, dan merampas sejumlah kendaraan bermotor.

Dalam insiden itu, kaum milisi bermaksud menyapu keberadaan kubu prokemerdekaan yang mendapat perlindungan di Biara Nenuk. "Padahal, menampung pengungsi adalah tugas kemanusiaan. Bukan soal politik, bukan soal pro ini atau itu," gerutu Pastor Paroki Nenuk, Piter Bataona. Para pastor dan suster pun berunjuk rasa ke Pemda Belu. Mereka menuntut pembubaran milisi.

Pemda Belu sendiri tampaknya tak tahan dengan berbagai ulah kaum milisi dan pengungsi Timtim lain. Warga Belu, meskipun sesama etnik Timor-Tetum, pun sudah lama memendam rasa kesal atas kehadiran para pengungsi. Rasa kesal itu terpicu oleh aksi pembakaran 17 rumah warga di Oeboa oleh kaum milisi. Juga aksi Pedro da Solva Baros, anggota Mahidi, Ainaro, yang seenaknya membunuh pemuda setempat.

Di Timor Tengah Utara, NTT, warga juga mengajukan protes keras gara-gara milisi merekrut 100 pemuda setempat. Di Noelbaki, Kupang, warga bahkan sudah memberi batas waktu pemda setempat untuk segera memulangkan para pengungsi Timtim, dalam tempo 168 jam. "Mereka bersenjata dan seenaknya menembak kiri-kanan, atau potong tanaman atau pohon tanpa izin pemiliknya. Jadi, pulangkan saja mereka," sergah Achmad, warga Noelbaki, di depan Gubernur NTT, Piet A. Tallo.

Eurico Gutteres, komandan pejuang prointegrasi, meminta warga NTT tidak menganggap buruk keberadaan kaum milisi dan para pengungsi Timtim. Itu semua ulah orang per orang, katanya. Untuk itu, "Saya minta aparat supaya tangkap dan hukum saja siapa pun yang mengaku sebagai pejuang integrasi tapi bikin ulah," kata Gutteres, menegaskan.

Muchlis Ainurrafik, dan J. Bosko Blikololong (Atambua)

Tidak ada komentar: