Kamis, 17 Juli 2008

Kok, Bikin Repot Terus

Majalah GAMMA
Edisi Cetak: Halaman 30 No. 5 Tahun II, 22-28 Maret 2000

Freeport

Kok, Bikin Repot Terus

Gus Dur sedang membangun landasan baru bagi penyelesaian kasus PT Freeport
Indonesia. Ditunggu langkah baru.

"GITU saja kok repot". Ungkapan khas Presiden Gus Dur ini tampaknya tidak berlaku untuk soal Freeport. Gus Dur, misalnya, terpaksa harus mengangkat mantan Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger yang notabene juga Komisaris PT Freeport Indonesia - menjadi salah seorang penasihat presiden, akhir Februari lalu.

Pekan lalu, Gus Dur terpaksa pula meminta pertolongan dari Profesor Widjojo Nitisastro, arsitek ekonomi Orde Baru, untuk memimpin sebuah dewan ekonomi baru, dengan tugas khusus menangani masalah penyelesaian investasi asing, terutama soal kontroversi penutupan Indorayon dan peninjauan ulang kontrak karya Freeport. Sejumlah ekonom dan konglomerat kabarnya bakal bergabung dalam tim Widjojo ini. Sri Mulyani, dari Fakultas Ekonomi UI dan raja tekstil Sunjoto Tanudjaja, bos Grup Great River, termasuk yana ada dalam daftar tim Widjojo ini.

Orang pun tersentak betapa serius soal nasib investasi asing di Tanah Air,
terutama menyangkut Indorayon dan Freeport. Rekomendasi Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk menutup Indorayon kabarnya menjadi tekanan berat bagi Tim Ekonomi Kabinet Gus Dur. Di level publik pun, pengangkatan Kissinger tadi telah memicu berbagai reaksi dan kritik tajam.

Soalnya, pernyataan Kissinger pun dinilai menekan pemerintah. Indonesia, kata Kissinger harus menghormati kontrak karya PT Freeport. Alasannya, hal itu menyangkut kepentingan Indonesia jika tetap menginginkan modal asing masuk. Memang, Kissinger juga mengingatkan PT Freeport untuk terbuka dan memberi perhatian khusus terhadap apa yang diinginkan pemerintah Indonesia.

Ketua MPR Amien Rais menilai Kissinger sedang menakut-nakuti. Malah, Emmy Hafild dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Kissinger telah melanggar demokrasi dan hak asasi manusia yang justru diagung-agungkan Kissinger. "Lagi pula kontrak karya itu tidak legitimate di mata rakyat Indonesia, karena dibuat oleh Soeharto dan di dalam suasana sistem dan mekanisme ketatanegaraan yang salah." tegas Emmy Hafild dari Walhi.

Kontrak karya Freeport, menurut Emmy juga tidak dibuat berdasarkan keterlibatan rakyat setempat dengan cara-cara yang benar. Bahkan, Papua saja belum menjadi bagian dari Republik Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia pada saat itu, seperti Undang-undang (UUD) 1945, UU Pokok Pertambangan, UU Modal Asing, dan UU Pokok Agraria 1960 yang menjadi landasan hukum kontrak karya, tidak berlaku untuk Papua.

Kontrak karya itu juga dibuat dalam posisi antara Freeport dan pemerintah, yang tidak sama. Yaitu, ketika kontrak karya kedua disusun, Freeport sudah tahu persis deposit emas di Grassberg, sementara pemerintah Indonesia tidak mengetahui atau berpura-pura tidak tahu tentang deposit emas tunggal terbesar di dunia ini. Masalah lingkungan hidup juga tidak disebut secara terperinci dalam klausul kontrak. Kesalahan yang sangat serius adalah tidak adanya klausul,tentang rehabilitasi Mine Closure (penutupan bekas pertambangan), termasuk jaminan ketersediaan dananya. "Padahal, dua hal ini sudah menjadi standar operasi pertambangan di seluruh dunia," tegas Emmy.

Dua langkah di atas ternyata belum cukup. Di samping membentuk sebuah tim pencari fakta untuk kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan PT Feeport, Gus juga berupaya menetralisasi tekanan publik, terutama dari rakyat Papua. Gus Dur akhirnya mengusulkan Tom Beanal Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme, yang dikenal sangat vokal dan keras melawan keberadaan PT Freeport sebagai salah satu komisaris.
Atas pengangkatan itu, Tom Beanal tampaknya gembira. "Rencana pengangkatan saya ini sudah ada sejak dua tahun lalu. Hanya, dulu aparat keamanan tidak menghendaki," tutur Tom Beanal. "Kita juga bersyukur, rencana kita mengajak Pak Tom menjadi Komisaris PT FI akhirnya juga terkabul," timpal Mindo Pangaribuan, Staf Hubungan Masyarakat PT Freeport Indonesia.

Sebab landasan baru bagi penyelesaian konflik PT Freeport dengan rakyat Papua sedang dibangun. "Soal kontrak karya atau lainnya bisa kita bicarakan. Yang penting kita sudah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi," tegas Tom Beanal***

Muchlis Ainurrafik, Ruba'I Kodir dan Dance Bleskodit (Papua)

Tidak ada komentar: