Kamis, 17 Juli 2008

Menunggu Keajaiban Perang Badar

Majalah GAMMA
Nomor: 11-3 - 8-05-2001

Menunggu Keajaiban Perang Badar

Memorandum II akhirnya jatuh pada Senin lalu. Setelah kompromi politik dan tekanan massa gagal, tinggal keajaiban yang mampu mempertahankan posisi presiden.

EFFENDI Choirie memang gigih. Meski Ketua Sidang Soetardjo Surjoguritno sudah mulai membaca agenda rapat, Wakil Sekretaris Fraksi PKB ini tetap menginterupsi. Dan, panjang pula. Pendi, panggilan akrab pria asal Gresik ini, menyoal begitu ketatnya pengamanan yang dilakukan aparat terhadap prosesi Sidang Paripurna DPR pada Senin lalu. "Ini sudah tidak proporsional. Saya menuntut klarifikasi," teriaknya berkali-kali.

Rangkaian interupsi anggota dewan lain, yang menganggap soal yang diinterupsi Pendi tidak relevan, berkali-kali tak dihiraukannya. "Tolong hargai pendapat saya. Itu namanya demokrasi. Bahwa Anda sekalian berpendapat lain, silakan," ujarnya lagi, masih dalam nada berteriak. Saking ngotot-nya, mantan wartawan yang juga memimpin bagian hubungan masyarakat Partai Kebangkitan Bangsa ini sampai beberapa kali memukul meja. Lalu, sambil mengangkat mike, ia kembali berteriak sambil berdiri, "Ini ada apa? Saya minta klarifikasi dari pimpinan."

Meski sudah tampil berapi-api dan ngotot, Pendi bak menepuk angin. Dari mulut Soetardjo Surjoguritno bahkan tak keluar sepatah kata pun menanggapi interupsinya. Dan, nasib interupsi Effendi Choirie lalu melengkapi nasib tragis langkah panjang Presiden Abdurrahman Wahid dan barisan pendukungnya untuk menahan jatuhnya Memorandum II pada Sidang Paripurna DPR-RI, Senin lalu.

Akhirnya, tujuh fraksi menyatakan mendukung pemberian memorandum II bagi presiden. Hanya dua fraksi menolak, dan satu fraksi abstain. Total suaranya, dari 457 anggota yang hadir pada saat voting berlangsung, 363 anggota mendukung Memo II, 52 menolak, dan 42 abstain. Ketujuh fraksi yang mendukung Memo II adalah Fraksi PDI Perjuangan (128 suara), Fraksi Partai Golkar (115 suara), Fraksi Partai Pembangunan (50 suara), Fraksi Reformasi (40 suara), Fraksi Partai Bulan Bintang (13 suara), Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (8 suara), Fraksi Partai Daulah Ummat (8 suara), dan Husein Naro (nonfraksi, 1 suara).

Yang menolak pemberian memorandum, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (48 suara), didukung Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (4 suara). Sisanya, 42 suara abstain. Mereka yang abstain terdiri atas 38 suara dari Fraksi TNI/Polri, 1 suara dari Fraksi PDI Perjuangan, 1 suara dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, 1 suara dari Fraksi Persatuan Daulah Ummat, dan 1 suara lagi dari Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa.

Dan Memorandum II bagi Presiden akhirnya dilayangkan pada Selasa lalu. Pada Memorandum Kedua ini, DPR memberi tiga pernyataan kepada presiden. Pertama, DPR menganggap Presiden Abdurrahman Wahid tidak sungguh-sungguh mengindahkan Memorandum Pertama. Kedua, DPR mengeluarkan Memorandum Kedua, karena menganggap presiden telah sungguh-sungguh melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara, khususnya melanggar Sumpah Jabatan (sesuai Pasal 7 Ayat 3, Tap. MPR No. III/1978), dan melanggar Tap. MPR No. XI/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari KKN. Ketiga, DPR masih memberikan waktu sebulan kepada presiden untuk mengindahkan Memorandum Kedua ini.

Maka, banyak pihak menilai, peluang presiden untuk tetap bertahan praktis habis. Memorandum II, menurut banyak pengamat politik, menunjukkan legitimasi politik kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid sudah terjun bebas. "Satu-satunya jalan yang terhormat bagi presiden adalah mengundurkan diri," tegas Riswanda Imawan, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada. Pengamat politik Andi Mallarangeng pun berpendapat sama. "Satu-satunya exit strategy atau jalan keluar yang elegan bagi Gus Dur adalah mengundurkan diri dari jabatan presiden," tandas Andi Mallarangeng.

Sayang Gus Dur bukan Riswanda atau Andi Mallarangeng. Presiden berkali-kali, dalam berbagai kesempatan, menegaskan dirinya tidak mau mundur. Malah, menurut sebuah sumber GAMMA, dalam pertemuan terakhir, presiden dengan para pendukungnya di Jalan Irian, beberapa hari lalu, presiden tegas tidak mau mundur. "Di pertemuan itu, presiden malah bilang, apa pun yang terjadi, bahkan walaupun bangsa ini berdarah-darah, dia tidak akan mundur," sambung sumber tersebut.


Tampaknya, presiden tidak akan menyerah begitu saja. "Saya justru melihat dalam satu bulan ini presiden akan mencoba lebih intensif untuk berusaha mempertahankan diri, dengan cara apa pun," tutur Wakil Sekjen PAN Alvin Lie. Sejumlah langkah dan skenario tengah disiapkan. Dari yang paling moderat melalui jalur kompromi, hingga kembali melakukan mobilisasi massa dan tindakan memecah dukungan TNI/Polri.

Kunci dari langkah kompromi ini adalah usaha kembali mengambil hati Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Menteri Pertahanan Mohamad Mahfud M.D., tegas menyebut peluang satu-satunya bagi presiden untuk bertahan adalah mempertemukan kembali Gus Dur dengan Megawati. "Bagi saya, ini adalah satu isyarat bahwa ada peluang untuk dilakukan semacam pembicaraan-pembicaraan untuk memperbaiki bersama antara presiden dan Mbak Mega. Mudah-mudahan peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Gus Dur dan elite politik lain," kata Mahfud kepada wartawan, termasuk Wibowo Prasetyo dari GAMMA.

Terhadap kubu pendukung Memoradum I dan II, kubu presiden juga tampaknya masih mengusung langkah lama, negosiasi dan politik dagang sapi. Dalam sepekan terakhir, presiden, misalnya, masih mencoba melakukan kompromi melalui politik dagang sapi. "Sekjen PAN Hatta Radjasa, misalnya, ditelepon oleh orang-orang presiden, ditawari posisi Direktur Utama Pertamina," sambung Alvin Lie.

Usaha lain, kembali memobilisasi tekanan massa. Penggantian antarwaktu sembilan anggota Fraksi TNI/Polri di DPR dan MPR, lalu disusul sikap abstain fraksi ini terhadap Memorandum II kepada presiden, tampaknya menyiratkan adanya keterkaitan dengan fenomena mobilisasi massa ini. Menurut sebuah sumber GAMMA, perubahan sikap TNI ini tidak hanya karena TNI/Polri ingin bersikap netral --yang itu berarti mengamankan posisi mereka bila nanti berhadapan dengan massa pro dan kontra Presiden-- tetapi juga sebagai sikap TNI untuk membentengi diri dari intervensi lebih jauh kubu presiden. "Sebab, seperti tampak selama ini, aksi-aksi massa pendukung Presiden tidak akan berhasil tanpa dukungan dari TNI maupun Polri," tutur sumber ini.

Dalam skenario ini, presiden disinyalir akan kembali mencari dukungan riil dari TNI/Polri. "Presiden akan memaksakan orang-orangnya untuk menggusur pimpinan TNI/Polri sekarang. Dan kalau itu terjadi, artinya ada jenderal-jenderal yang membuka diri untuk diintervensi demi kepentingan presiden, maka TNI akan pecah dan akibatnya bisa sangat serius," ujar sebuah sumber.

Pertanyaannya, efektifkah langkah-langkah itu? Jawabnya, sulit. Usaha kompromi dan politik dagang sapi sudah berkali-kali dilakukan kubu presiden. Toh, hasilnya nol. Niat presiden untuk menggelar pertemuan antarelite gagal total. Terakhir, presiden hanya bisa menemui Ketua Umum PPP Hamzah Haz. Pertemuan itu pun tidak berarti apa-apa, sebab konon Hamzah Haz --dalam pertemuan itu-- menolak sejumlah usulan presiden, salah satu di antaranya percepatan pemilu.

Senior officer meeting (SOM), atau pertemuan tingkat pejabat penting masing-masing partai, yang dikomandoi Menteri Luar Negeri Alwi Shihab juga berakhir percuma. Dua partai, PPP dan Golkar, memang sudah menyambut undangan Alwi. Golkar sudah mengirimkan tiga nama, Agung Laksono, Mahadi Sinambela, dan Theo Sambuaga. PPP sudah mengajukan nama Alimarwan Hanan dan Zen Badjeber. Skenario SOM ini menguap begitu saja, karena tidak mendapat sambutan dari partai peraih suara terbesar, PDI Perjuangan.

Skenario seperti yang disebut Menhan Mahfudz M.D., yaitu mempertemukan kembali Presiden Abdurrahman Wahid dengan Wapres Megawati Soekarnoputri, sebuah skenario yang di atas kertas tampak sederhana dan mudah, juga tampaknya bakal bernasib sama. Rabu pagi pekan lalu, misalnya, tidak seperti biasanya, acara sarapan pagi Presiden Abdurrahman Wahid berlangsung tanpa kehadiran Megawati, sang tuan rumah. Presiden yang pagi itu hadir bersama sejumlah menteri dan jenderal terpaksa hanya dilayani tiga orang pembantu. Megawati sendiri pada hari itu memilih pergi ke Bali, membuka sebuah seminar teknologi informasi.

Keesokan harinya, pada sidang kabinet hari Kamis, Megawati tetap tidak hadir. Menurut Sekretaris Wakil Presiden Bambang Kesowo, Mega tidak dapat menghadiri Sidang Kabinet karena sakit flu. Benarkah Mega sedang saki? "Ah, itu flu politik," canda sebuah sumber yang dekat Mega. Yang terjadi, menurut sumber lain, Megawati sudah berketetapan hati untuk berkata tidak kepada presiden. "Bagaimana mempertemukan kembali, lha wong sejak dua pekan terakhir saja Megawati sudah resmi tidak mau lagi memimpin sidang-sidang kabinet, kok," tandas seorang sumber yang dekat dengan elite PDI Perjuangan.


Wakil Sekjen PAN Alvin Lie berpendapat senada. Bahkan, Alvin menganggap Menhan Mahfudz salah menafsirkan pandangan akhir Fraksi PDI Perjuangan pada sidang paripurna Senin lalu. "Kalau pandangan akhir fraksi-fraksi terkesan masih memberi waktu, itu karena tiga alasan. Pertama, kami tetap ingin di jalur konstitusi. Kedua, kami juga mempertimbangkan emosi massa yang berkembang akhir-akhir ini. Dan ketiga, kami tidak ingin langkah-langkah kami nanti justru membebani presiden baru, bila Presiden Abdurrahman Wahid mundur," tutur Alvin Lie. Jadi, jalur kompromi baik antara presiden dan wapres maupun dengan elite politik lain sebenarnya praktis sudah tertutup rapat. "Dan, kalau memang presiden masih dipercaya, bukankah tiga bulan ini usaha-usaha kompromi itu sudah dilakukan, dan gagal," tandas Alvin.

Skenario bertahan lewat mobilisasi massa dengan sekuat tenaga menarik dukungan riil dari TNI dan Polri juga bukan hal mudah. Sikap tegas TNI dan Polri dalam kasus pasukan berani mati di Jawa Timur bisa dibaca dalam konteks ini. Lalu, seperti diprotes Effendi Choirie di sidang paripurna Senin lalu, pengamanan ekstra ketat yang dilakukan aparat TNI/Polri di sekitar Senayan menunjukkan pula ketegasan sikap TNI dan Polri untuk tidak mau tunduk pada tekanan massa. "Dan kalaupun presiden mencoba melakukan intervensi dengan cara menekan lewat skenario pergantian pucuk pimpinan TNI dan Angkatan Darat, saya kira reaksi para jenderal --seperti dalam kasus pencalonan Agus Wirahadikusumah-- akan terulang kembali," urai sebuah sumber.

Maka praktis tinggal mukjizat atau keajaiban yang bakal mampu mempertahankan posisi kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid. Dan jalur inilah yang tampaknya juga sedang serius diusung oleh barisan pendukung presiden. Di arena panggung Istigotsah Kubro yang berlangsung pada Minggu pagi lalu di Parkir Timur Senayan, ratusan ulama, puluhan ribu massa NU, bersimpuh mengharap mukjizat ini.

Dan selebaran materi Istigotsah yang disebar Panitia menyebut kisah Nabi Muhammad pada saat Perang Badar. Dalam perang melawan kaum musyrik dan jahiliah itu, kekuatan Nabi hanya 313 orang. Sementara, musuh punya 1.000 pasukan. Nabi kemudian menghadap kiblat dengan sorban di pundak seraya berdoa, "Ya Allah, tepatilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, bila sekelompok golongan Islam ini hancur, maka tidak ada lagi yang akan menyembah kepada-Mu selamanya." Begitu khusyuk dan serius Nabi berdoa, sorban yang dikenakannya sampai jatuh ke tanah. Sayyidina Umar, sahabat Nabi yang dikenal paling gagah berani di medan perang, mengambil sorban itu dan meletakkan kembali ke pundak Nabi, sambil berkata, "Ya Nabi Allah, cukuplah doa-doamu kepada Tuhanmu. Dia akan menepati janji-Nya kepadamu."

Nabi, seperti diriwayatkan banyak kitab-kitab tarikh (sejarah) Islam, akhirnya berhasil memenangkan Perang Badar. Dan banyak kiai khas NU juga yakin Presiden Abdurrahman Wahid akan tetap bertahan dan memenangkan pertarungan dengan para musuhnya. Mbah Liem Imam Puro, salah seorang kiai sepuh yang sangat dihormati warga nahdliyin, menurut sebuah sumber GAMMA, Senin malam lalu, bertemu presiden. Mbah Liem memberikan sebuah selendang, sambil meyakinkan bahwa posisi presiden masih kuat. Presiden, menurut Mbah Liem, akan tetap bertahan sampai 2004, apa pun yang terjadi. Benarkah? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Wallahualam bissawab.

-Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Mohammad Shaleh, dan Wibowo Prasetyo

Tidak ada komentar: