Kamis, 17 Juli 2008

Peta Baru Siasat Islam

Simbol Laskar Jihad dan strategi perjuangan mereka mengundang protes. Apa dan siapakah mereka?

BIASANYA, ratusan pria berjenggot dan bergamis hilir mudik di sekitar sini,” tutur Kartono, seorang warga di Jalan Kaliurang km 15 Degolan, Yogyakarta. Mereka umumnya sopan dan bertetangga dengan baik. Sekitar 300 meter dari rumah Kartono terdapat sebuah bangunan dengan pekarangan cukup luas. Di atas pintunya terbentang sebuah spanduk bertuliskan, “Posko Pusat Mobilisasi Jihad”.

Sudah lebih seminggu kantor Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (DPP FK-ASWJ), yang sekaligus jadi Markas Laskar Jihad, itu ditinggal penghuninya. “Semua laki-laki di sini ikut latihan gabungan di Bogor, Mas,” tutur Abdul Fatah, salah seorang pimpinan laskar yang menjaga posko.

Bangunan posko itu sesungguhnya sederhana. Di atas lantai hanya terhampar karpet biru tipis lusuh. Di sudutnya terdapat satu unit komputer lengkap dengan printer dan mesin faksimile. Di pojok lain bertumpuk sejumlah kardus. “Itu pakaian yang rencananya akan kami kirim ke Ambon,” sambung Abdul Fatah. Di sebelah kiri posko terdapat bangunan khusus untuk perempuan. Di situlah para istri anggota dan para tamu perempuan diterima. Komunikasi kaum lelaki dan perempuan dibatasi pintu. Pesawat telepon pun diparalel.

Beberapa meter di sudut lain, terdapat sebuah masjid dengan nama Usman bin Affan. Di masjid itulah Jafar Umar Thalib -Panglima Laskar Jihad, sekaligus Pimpinan FK-ASWJ- memimpin pesantren Ihyaussunnah. Tidak ada lagi bangunan lain.

Meski terlihat sederhana, keberadaan mereka menyentak langit kesadaran keagamaan dan kebangsaan di Tanah Air dalam dua pekan terakhir. Parade yang dipentaskan Laskar Jihad di Ibu Kota, bahkan sempat langsung masuk ke Istana, tak pelak memicu perang urat saraf. Akhir pekan lalu, ketegangan itu memang akhirnya mereda. Hal tersebut diawali penyerahan sekitar 480 bilah senjata kepada aparat, dan sekitar 3.000 anggota laskar akhirnya bersedia menghentikan latihan gabungan, meninggalkan kawasan Tanah Sareal Bogor.

Namun, berbagai tudingan miring tak pelak muncul. “Mereka itu orang-orang bayaran,” tuding Ali Machsan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. “Mereka membawa-bawa paham ahlussunnah wal jamaah, padahal tidak relevan. Dalam hal strategi juga lemah,” timpal Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi. “Saya yakin ini semua manuver politik. Pasti ada sponsor di belakangnya,” tambah Ali Machsan. Siapa sponsor dimaksud, Ali Machsan enggan menyebut. “Yang jelas, ada hubungannya dengan elite-elite politik yang tak sepakat dengan Gus Dur,” tandas Ali.

Penggunaan simbol ahlussunnah wal jamaah pun diprotes keras. “Yang jelas, NU tidak setuju dengan penggunaan kata-kata “ahlussunnah wal jamaah” untuk sikap-sikap keras seperti mereka. Silakan klaim sendiri, tidak usah membawa-bawa nama ahlussunnah wal jamaah,” tegas K.H. Hasyim Muzadi. Paham ahlussunnah wal jamaah adalah metode pemahaman keagamaan yang menekankan moderasi. “Garis perjuangannya lebih menekankan persuasi, bukan mengembangkan sikap-sikap keras seperti mereka,” tandas Hasyim. Karena itu, Hasyim mengecam penggunaan simbol tersebut. “Tindakan itu jelas tidak relevan,” tegas Hasyim.

Laskar Jihad juga lemah dalam soal strategi. “Agitasi-agitasi soal Ambon di luar Ambon justru hanya akan menciptakan Ambon-Ambon baru,” tutur Hasyim. Hasyim menyebut contoh kerusuhan Mataram. “Apa yang terjadi? Masyarakat akhirnya bentrok sendiri. Akibatnya, ekonomi lumpuh, rakyat menganggur, dan sebagian besar mereka justru kaum muslim,” tandas Hasyim. “Gerakan-gerakan itu memang membawa nama Islam. Tapi, karena salah strategi, malah merusak umat Islam.” Kabarnya, lewat Menteri Agama Tolchah Hasan, sejumlah negara di Timur Tengah berkeberatan dengan simbol-simbol Arab yang digunakan Laskar Jihad.

Siapakah Jafar Umar Thalib dan laskar yang dipimpinnya? Menarik dicermati. Watak militan dan persinggungan Jafar dengan politik rupanya sudah mendarah daging. Lahir di Malang, 29 Desember 1961, Umar Thalib adalah anak seorang keturunan Yaman. Kakek Jafar datang ke Indonesia dan menikah dengan putri seorang lurah di Sumenep. Pendidikan formal Jafar hanya selesai sampai tingkat Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Malang. Itu pun tidak tamat. Jafar lalu nyantri di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil (1983-1985). Lepas dari Persis, Jafar melanjutkan ke Lembaga Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) Jakarta, hanya satu setengah tahun. Dari LIPIA, Jafar menimba ilmu ke Pakistan, di Maududi Institute. Di lembaga itu Jafar hanya bertahan setahun. Selama dua-tiga tahun berikutnya, ia bergabung dengan Mujahidin Afghanistan untuk melawan Rusia.

Kembali ke Indonesia pada 1989, Jafar langsung bergabung membina pesantren Al-Irsyad di Tengaran, Salatiga. Ia kemudian tersingkir dari Al-Irsyad. Lima tahun kemudian, 1994, Jafar membangun pesantrennya sendiri, Pesantren Ihyaussunnah, di Desa Degolan, di wilayah Kabupatan Sleman, Yogyakarta.

Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal jamaah baru muncul 1998, masa ketika pergolakan politik nasional berlangsung keras. “Pertama-tama hanya untuk mengurus pengajian dan tablig akbar,” tutur Jafar. Tapi, kegiatan yang disebut Jafar, dalam konteks pergolakan politik di tahun 1998, jelas perlu digarisbawahi. “Waktu itu, kita tampil untuk menanggapi berbagai praktik premanisme politik yang melakukan tekanan terhadap pemerintahan B.J. Habibie,” sambung Jafar. Dalam kasus serangan balik terhadap A.M. Saefuddin, yang sempat mendapat tekanan keras dari basis pendukung Megawati, terutama di Bali, massa Jafar pulalah yang tampil lantang membela A.M. Saefuddin.

Ikhwal inilah yang lalu menjadi sorotan tajam. Laskar Jihad, setelah dikaitkan dengan nama-nama seperti Hariman Siregar dan Eggy Sudjana, lalu dituding menjadi kaki tangan mantan rezim B.J. Habibie. Benarkah? “Kami tidak berpolitik. Kami independen. Kami mendukung B.J. Habibie bukan sebagai pribadi. Yang kami lawan adalah koalisi anti-Islam. Lagi pula, tidak seorang pun dari kami yang terkait barang serambut dengan ICMI,” tegas Jafar.

Dana pengerahan Laskar Jihad yang mencapai sekitar Rp 700 juta, lanjut Jafar, juga tidak secuil pun yang berasal dari Habibie, apalagi keluarga Cendana. “Kami haram mengambil sumbangan dari mereka yang bermasalah. Itu berarti kami harus masuk ke kandang macan,” sambung Jafar. Dari mana dana sebesar itu diperoleh, Jafar menyebut sejumlah donatur pribadi dari Timur Tengah. Sumbangan besar juga diperoleh dari Kongres Aktivis Ahlul-Quran Wal-Sunnah di New Jersey, yang berlangsung pada 6-8 April lalu. “Bantuan juga datang dari umat Islam di Malaysia dan Singapura,” tambah Jafar.

Latar dari seluruh bangunan militansi yang diusung Jafar ternyata satu: analisisnya bahwa seluruh proses reformasi berujung pada proses de-Islam-isasi. “Dari kasus pembantaian para kiai di Banyuwangi, berbagai kerusuhan di Ambon, Sambas, hingga tampilnya pemerintahan Presiden Gus Dur sesungguhnya adalah proses panjang de-Islam-isasi di Tanah Air,” tegas Jafar. “Itulah yang membangkitkan amarah kami. Kami semata-mata harus tampil membela Islam,” tandas Jafar. Malah, dibanding rezim Orde Baru, Jafar melihat proses de-Islam-isasi yang berlangsung pada era reformasi ini cenderung lebih kasar.

Terhadap berbagai serangan yang menuding kelompoknya telah menyalah-gunakan istilah ahlussunnah waljamaah, Jafar hanya tersenyum. “Mestinya warga NU tidak perlu tersinggung,” tutur Jafar tenang. Istilah itu bisa berbeda isi dan pengertian. “Tergantung siapa yang menafsirkan,” katanya. Di mata Jafar, NU mengambil paham itu dari sisi akidah (teologi) Asyariyah, dari sisi mazhab fikih Syafii dan dari sisi tarikat/tasawufnya. “Paham ahlussunnah wal jamaah yang kami ikuti sesuai ajaran dan sunah Nabi. Itu saja. Waljamaah itu artinya sunah Nabi berdasarkan penafsiran Al-Jamaah: para sahabat Nabi yang empat orang (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali),” tandas Jafar menambahkan.

Termasuk dalam sunah Nabi itu adalah pakaian gamis. “Ya, memang beginilah cara Nabi berpakaian,” sambung Jafar. Jafar beristrikan empat orang. Satu di antaranya telah dicerai. “Kami meneladani semua perilaku Rasulullah. Meneladani berarti mencintai,” tandas Jafar. Jafar mengaku pengikutnya saat ini sekitar 50-70.000 orang. Di Pulau Jawa saja sudah berdiri 21 kantor DPW (Dewan Perwakilan Wilayah) FK-ASWJ. Di luar Jawa, aktivis FK-ASWJ ini sudah menyebar di Medan, Padang, Lampung, Jambi, Riau, Batam, Kalimantan Selatan, Kaltim, Sulsel, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.

Setuju atau tidak, Laskar Jihad telah membuka lembaran baru peta politik Islam di Tanah Air. Dan, akhir pekan lalu, setelah selama sepekan pasukan Jafar latihan di Desa Kayumanis, Tanah Sareal, Bogor -bahkan diprotes keras Aliansi Jurnalis Indonesia karena sikap arogansinya- mereka meninggalkan desa itu dengan manis: menyerahkan senjata serta bersama penduduk membersihkan selokan, membuat sumur musala, dan memberi pelayanan pengobatan cuma-cuma. Damai dan selamat. Mestinya, itulah Islam.

Muchlis Ainurrafik, Bondan Prasodjo (Yogyakarta), Fendri Jaswir (Pekan Baru), dan Munawar Kasan (Surabaya)

Dimuat Majalah GAMMA, Nomor: 09-2 - 25-04-2000

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Laskar jihad ASWJ bergiat ke Ambon