Sabar, tersangka pelaku pembacokan Matori mengundang kontroversi. Selain membawa bendera Islam radikal, Sabar juga membawa pesan anti-PKI.
WAJAH Nurfaizi sungguh cerah. Mengenakan jaket kulit berwarna hitam, penampilan Kapolda Metro Jaya ini dalam acara GARDU di Indosiar bak artis top saja. Seting acara yang dipandu budayawan Emha Ainun Najib memang santai. Tapi, sesungguhnya bukan karena itu saja Nurfaizi tampil santai. “Pelakunya sudah diketahui. Tinggal kita tangkap saja,” ujarnya.
Yang dimaksud Nurfaizi adalah tersangka pelaku penganiayaan atas Matori Abdul Djalil, yang berlangsung Ahad, 5 Maret lalu. Pengakuan Nurfaizi di televisi itu berlangsung Kamis, 9 Maret, hanya empat hari setelah peristiwa terjadi. “Tadi kita cek, tersangka sedang pergi,” sambung Nurfaizi.
Benar saja. Malam itu juga, sekitar pukul 11 malam, aparat Reserse Polda Metro Jaya berhasil menyergap Sabar, tersangka pelaku, di Perumahan Total Persada Raya, Blok I 2/12, Kel. Doyong, Kec. Jatiuwung, Tangerang. Dari tempat Sabar disergap, polisi menemukan satu unit senjata api laras panjang, dua senjata genggam rakitan, pakaian yang digunakan pada saat operasi (masih terdapat noda darah di bagian belakang), dan uang tunai sebanyak Rp 130.000.
Luar biasa cepat. Hanya empat hari setelah peristiwa. Padahal, kesaksian dari korban, Matori Abdul Djalil sendiri, baru berlangsung 30 menit sebelumnya. Tapi, bukan kecepatan Nurfaizi saja yang mengagetkan. Yang lebih membuat kaget adalah pengakuan tersangka. Sabar alias Achmad Tazul Arifin mengaku tidak mengenal Matori. Pemuda ini hanya mengaku mendapat perintah dari seseorang bernama Zulfikar untuk menghabisi orang-orang PKI. Alamat yang ditunjuk Zulfikar adalah Jalan Elang Mas II Blok C-7/12, yang tak lain adalah rumah Matori, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.
Kepada polisi, Sabar -kelahiran Jakarta, 27 Juli 1966- juga mengaku pernah terlibat dalam perampokan BCA pada 15 April 1999. Mantan karyawan PT Mayora yang pernah menjadi Mahasiswa Akademi Manajemen Indonesia ini juga mengaku sebelumnya sudah merencanakan aksi kekerasan itu. Rapat persiapan berlangsung pada 2 Maret 2000, di rumah Zulfikar di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Oleh Zulfikar, Sabar mendapat tugas mengantar Tarmo alias Sarmo untuk “menghabisi Matori”.
Untuk proyek itu, Zulfikar menyiapkan sebuah sepeda motor RX King, dua buah penyeranta (pager) dan uang Rp 400.000, serta senjata api FN 46 berikut pelurunya. Tugas membunuh ada di pundak Sarmo alias Tarmo. Sementara, Sabar ditugasi mengamankan situasi dengan pistol FN 46 di tangan. Sabtu, 4 Maret, sehari sebelum peristiwa, Sabar bersama Sarmo mengaku sudah melakukan pengintaian.
Keberhasilan aparat kepolisian ini mestinya disambut gembira. Sayang, yang muncul justru kontroversi. Pemicunya bukan orang lain, melainkan justru Nurfaizi sendiri. Di luar fakta-fakta yang masih serba minim itu, Nurfaizi justru bernyanyi soal lain yang lebih serius.
Dalam wawancara dengan SCTV, Jumat sore, Nurfaizi berteori macam-macam. Sabar alias Achmad Tazul Arifin, jelasnya, selain terkait dengan kasus pengeboman BCA Hayam Wuruk April tahun lalu, juga diduga terlibat sebuah kelompok ekstrem kanan barlabel Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN). “Boleh jadi kelompok ini sudah disusupi oleh PKI,” tutur Nurfaizi lebih jauh. Sebelumnya, Jumat siang, Nurfaizi beserta jajaran reserse Polda Metro Jaya sudah menggelar jumpa pers yang juga ganjil.
Selain membeberkan hasil penyelidikan terhadap tersangka pelaku dan sejumlah alat bukti, Nurfaizi juga menghadirkan sang pelaku, Sabar alias Achmad Tazul Arifin.
Kepada ratusan wartawan yang membuat sesak ruangan pers Mapolda Metro Jaya, Sabar mengakui semua cerita versi Nurfaizi. “Tapi, saya tidak tahu yang dibunuh itu Matori,” tutur Sabar kepada wartawan. “Zulfikar hanya bilang, ada orang PKI yang mau dibunuh. Saya ditugaskan untuk mengantar Sarmo membunuh orang itu,” sambung Sabar.
Hasil penyelidikan aparat kepolisian ini tak urung mengundang kontroversi. Banyak pihak tidak yakin dengan hasil penyelidikan polisi. “Itu hanya cara aparat mencari-cari kambing hitam,” tegas pengamat politik Mochtar Pabottingi, mengomentari muncul kembalinya AMIN dalam kasus ini. Kekesalan Mochtar ada alasannya. Polisi, menurut Mochtar, bukan kali ini saja menuding kelompok AMIN ini berada di balik sebuah aksi kekerasan.
Kelompok yang sama sebenarnya sudah menjadi sasaran aparat sejak peristiwa pengeboman Istiqlal dan pengeboman BCA Hayam Wuruk berlangsung setahun lalu. “Jadi, saya heran, mengapa polisi mengulangi cara yang tidak bertanggung jawab, melemparkan sasaran kepada kelompok yang sebetulnya tidak ada,” tukas Mochtar.
Kriminolog UI Erlangga Masdiana menilai polisi sedang membelokkan arah. Keterkaitan kasus Matori dengan kelompok AMIN -yang sebelumnya dituding juga mengotaki pengeboman Istiqlal- menurut Erlangga tak lebih sebagai cara polisi melakukan kamuflase, mengalihkan perhatian. Tujuannya? “Terus terang, kasus ini mengancam kredibilitas polisi. Kalau tidak segera ditemukan pelakunya, sudah pasti polisi bakal menjadi bulan-bulanan masyarakat,” tutur Erlangga.
Proses kamuflase ini, jelas Erlangga, sudah biasa dilalukan polisi. Bahkan, Erlangga berani mensinyalir, aparat kepolisian selama ini memang memiliki hubungan khusus dengan kelompok-kelompok masyarakat yang biasa diajak terlibat dalam proyek seperti ini. “Ada kelompok yang ‘dipelihara’ oleh mereka untuk kepentingan polisi itu sendiri. Artinya, ketika polisi membutuhkan, kelompok tersebut juga bisa dikorbankan menjadi tersangka,” tutur Erlangga.
Tuduhan Erlangga mungkin terlalu jauh. Tapi, apa mau dikata, kasus Matori dan penyelidikan yang dilakukan polisi memang sejak awal sudah telanjur penuh tanda tanya. Pistol jenis FN 46 standar militer yang ada dalam genggaman Sabar, misalnya, sejak awal mengundang kecurigaan soal adanya jejak-jejak militer dalam kasus ini. Dalam proses penyelidikan, keberadaan jejak itu ternyata semakin jelas. Dalam proses identifikasi penyeranta milik pelaku misalnya, tiba-tiba muncul dua versi keterangan.
Saksi kunci bernama Herry, pemilik warung di dekat rumah Pangdam Jaya Ryamizard Ryacudu di Tanjung Barat, misalnya kepada wartawan mengatakan, dia yang pertama kali menemukan penyeranta dan lalu menyerahkan ke polisi. Belakangan, Herry mengaku menerima telepon dari “Cijantung” untuk mengamankan penyeranta itu. Belakangan pula, Pratu Sukirno -penjaga rumah Pangdam Jaya- menyatakan bahwa yang pertama kali menemukan penyeranta itu adalah Tikno, pembantu rumah Pangdam di Jl. Bandeng Raya, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Anehnya, Tikno kemudian menyerahkan penyeranta ke Herry, bukan kepada Kirno yang notabene adalah aparat keamanan.
Seorang perwira menengah di lingkungan Polda Metro Jaya bahkan mensinyalir telah terjadi pembelokan dan saling telikung dalam proses penyelidikan kasus Matori ini. Kepada Harian Berita Buana, Sabtu, 11 Maret lalu, sang perwira mensinyalir penyelidikan yang dilakukan oleh Kapolres Jakarta Selatan sebenarnya sudah mengarah pada pelaku yang sebenarnya. “Tapi, rupanya pihak Polda Metro Jaya memotong penyelidikan itu, dan membelokkan ke arah lain,” tutur sumber tersebut.
Penuturan sang perwira ini klop dengan analisis kriminolog Erlangga Masdiana. Pihak Polda Metro Jaya, menurut Erlangga, seperti sudah disebut di atas, sedang membangun skenario kamuflase. Soalnya, untuk apa? “Agendanya saya kira jelas, menyudutkan kelompok Islam,” tegas aktivis Islam Al Chaidar.
Al Chaidar mengakui, di kalangan aktivis Islam, memang ada sayap radikal yang menghalalkan aksi kekerasan. “Saya sering didatangi seorang tokoh yang bicaranya selalu soal senjata,” tutur mantan aktivis Negara Islam Indonesia ini. Namun, dalam kasus penganiayaan Matori, Al Chaidar menegaskan kecil kemungkinan aksi itu dilakukan oleh sayap radikal ini. “Saya tahu betul, mereka sangat terlatih dalam aksi-aksi bersenjata. Tidak seperti yang menimpa Matori,” tandas Al Chaidar.
Tapi, keberadaan AMIN juga diakui Al Chaidar. “Saya pernah diundang dalam acara pengajian mereka,” lanjutnya. Menurut catatan Al Chaidar, kelompok AMIN ini berdiri pertengahan 1998. “Pendirinya K.H. Syamsuri, orang dari Malaysia,” tambahnya. Oleh pengikutnya, K.H. Syamsuri ini dicitrakan sebagai keturunan Kahar Muzakkar, tokoh DI/TII. “Pencitraan itu efektif. Dalam sebuah pengajian di Tasikmalaya, yang hadir ribuan,” lanjut Al Chaidar.
Dalam waktu singkat, AMIN mampu merekrut ribuan pengikut di Tasikmalaya, Garut, dan daerah Bandung. Dalam beberapa kali dialog dengan K.H. Syamsuri, Al Chaidar melihat kelompok AMIN berpaham radikal. “Dia sering menyebut contoh dari dunia kedokteran. Untuk menyembuhkan sebuah penyakit yang kronis, seorang pasien kalau perlu harus dioperasi,” ujar Al Chaidar menirukan argumen K.H. Syamsuri. Dalam perdebatan itu, Al Chaidar mengaku sering mengajukan argumen lain, dengan tujuan menetralisir pemahaman mereka tentang penggunaan kekerasan. “Tapi, kelihatannya mereka ngotot, sulit dinetralisir,” tandas Al Chaidar. Belakangan, baru Al Chaidar mendengar informasi bahwa rupanya paham radikal dan kekerasan itu sudah diplot. “Saya mendapat informasi ada sejumlah tokoh militer yang masuk ke kelompok ini,” tandas Al Chaidar.
April 1999, kantor cabang Bank BCA di Hayam Wuruk diledakkan lalu dirampok. Rozak, salah seorang pelaku yang tertangkap mengaku anggota AMIN, yang sedang menjalankan proyek penggalangan dana. “Target saya merampok 10 bank,” tutur Rozak. Tidak sampai sebulan kemudian, giliran Istiqlal dibom.
Berdasarkan pengakuan Rozak, pelaku pengeboman BCA, polisi juga menuding AMIN ada di belakang aksi pengeboman Istiqlal. Dua peristiwa di atas sudah berlangsung hampir setahun. Selama itu, aparat belum berhasil membongkar jaringan lengkap kelompok AMIN ini.
Mestinya, bila benar ada jaringan kelompok ini, dan bila benar aksi-aksi mereka berbau kekerasan, aparat kepolisian sudah harus bisa membongkarnya. Sayang, sementara nasib pengusutan terhadap pelaku pengeboman Istiqlal maupun pengeboman BCA belum jelas, tiba-tiba muncul kasus baru.
Alex Bambang Riatmodjo, Kaditserse Polda Metro Jaya, menegaskan keterkaitan kasus-kasus ini dengan kelompok AMIN, dari sandi-sandi yang ada dalam penyeranta. “Sandi yang ada dalam pager pembacok Matori mirip dengan yang ada dalam pager yang ditemukan dalam kasus pengeboman BCA,” tutur Alex.
Motif menyudutkan Islam yang disebut Al Chaidar bisa saja benar. Faktanya, pengakuan Sabar tidak hanya menunjuk kelompok AMIN, tapi juga menghidupkan lagi hantu PKI. “Saya hanya disuruh menghabisi orang PKI,” ujar Sabar tanpa ekspresi.
Di mata Dr. Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi politik, dua penggal fakta ini sebenarnya bisa menunjuk motif dan kelompok di balik aksi teror terhadap Matori ini. “Dalam analisis komunikasi politik, yang harus kita tanyakan adalah siapa yang diuntungkan dalam kasus ini,” tukas Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat. Siapa? Kang Jalal enggan menyebut. “Nanti kalau saya menyebut, dan ternyata pas, saya bisa dituding provokator,” ujarnya sambil tertawa. Yang jelas, siapa pun kelompok ini, dari cara mereka menggunakan kekerasan, “Tentu mereka sangat serius, dan punya kepentingan yang serius pula,” sambung Kang Jalal.
Kriminolog Erlangga Masdiana dan Effendi Choiri, orang kepercayaan Matori, menyebut kasus yang menimpa Matori berkait dengan proses transisi dan persaingan faksi-faksi di lingkungan militer. Kang Jalal tidak membantah. “Saya tidak berani menuduh ini TNI, tapi TNI memang punya sejarah tradisional dalam berbagai aksi penggunaan kekerasan,” tutur Kang Jalal. “Tapi, kita tidak bisa mencap ini single out pekerjaan mereka. Tentu ada juga kerja samanya dengan berbagai kelompok di lingkungan sipil,” tandas Kang Jalal. Tujuannya, jelas Kang Jalal, satu: melestarikan kekuasaan. “Bagaimanapun, kata Karl Marx, tidak ada seorang pun yang akan menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela,” tegas Kang Jalal.
Mengikuti analisis ini, jelas kasus yang sedang dihadapi aparat kepolisian bukan sembarangan. Dari bawah, polisi menghadapi tekanan publik begitu besar. Sementara, kalau benar proses transisi di lingkungan elite politik ikut berbicara dalam kasus ini, itu jelas menjadi tekanan lain dari atas yang tak kalah berat.
Dalam posisi seperti itu, pengamat politik Mochtar Pabottingi mengharap polisi berlaku profesional. “Jangan mengulang cara Orde Baru, dengan mencari kambing hitam yang sebenarnya tidak ada,” tegas Mochtar Pabottinggi. Tapi kalau benar ada, ya buka saja agar jelas bagi semua.
Muchlis Ainurrafik, Wuri Hardiastuti, Julie Indahrini dan Paulus Winarto (Bandung).
Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 04-2 - 21-03-2000
Kamis, 17 Juli 2008
Kabinet Kejutan Gus Dur
Kabinet Rekonsiliasi masih tanda tanya. Pertarungan kubu Golkar-Poros Tengah dengan kubu PDI Perjuangan-PKB berlanjut.
Jabatan Menteri Sekretaris Negara kemungkinan dihapus,” tutur seorang pimpinan partai proreformasi. “Ini karena terlalu banyak pihak-pihak yang ngotot ingin mendudukkan orangnya di posisi itu,” sambungnya. Suara petinggi partai itu gamblang menunjukkan betapa kuat tarik-menarik berbagai kepentingan dalam proses penyusunan kabinet duet Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sebenarnya, menurut sumber yang sangat mengetahui, semula Gus Dur sudah sepakat untuk memberi kursi Mensesneg kepada Yusril Ihza Mahendra - yang sebelumnya diplot menteri kehakiman - sebagai konsesi mundurnya Yusril pada proses pemilihan presiden, Rabu pekan lalu. Tidak hanya itu. Dalam soal susunan kabinet, Gus Dur pun sudah menyerahkannya pada kubu Poros Tengah yang jelas-jelas mengantarnya ke kursi Presiden. Kepada kubu Poros Tengah, Gus Dur malah hanya minta tiga kursi kabinet untuk Partai Kebangkitan Bangsa. Tiga kursi itu antara lain untuk Alwi Syihab yang dipercaya sebagai Menteri Luar Negeri, lalu AS Hikam sebagai Menteri Pendidikan Nasional, dan Tolchah Hasan sebagai Menteri Agama. “Sisanya, terserah sajalah,” kata sumber tersebut, menirukan Gus Dur.
Selain kepada Yusril Ihza Mahendra, Gus Dur kabarnya juga sudah berjanji mempercayakan posisi Ketua Mahkamah Agung kepada Hartono Mardjono, Ketua Partai Bulan Bintang yang juga pengacara senior. “Mas Ton, Anda saya minta menjadi Ketua Mahkamah Agung,” ujar seorang sumber lain menirukan pernyataan Gus Dur, yang disampaikan langsung ke Hartono Mardjono, dalam sebuah kesempatan pekan lalu.
Belakangan, menyusul terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden, ternyata muncul skenario baru. Sejumlah pihak, dengan argumen-argumen seperti hak prerogratif presiden, jangan ada politik balas budi dalam menyusun kabinet, dan seterusnya, mulai berusaha menjegal kesepakatan Gus Dur dengan Poros Tengah. Tawaran Gus Dur pada Yusril untuk kursi Menteri Sekretaris Negara, dipersoalkan. Sebuah harian di Jakarta memunculkan Alwi Syihab dan Hariadi Dharmawan sebagai Mensesneg. Sementara sumber dari kalangan Mega menyebut yang ada nanti sekretaris negara saja seperti pernah dijabat Alamsyah Ratuperwiranegara di awal Orde Baru.
Gerilya untuk memotong jalur khusus Gus Dur-Amien Rais rupanya menjadi agenda serius. Tengoklah apa yang muncul dalam Dialog Publik tentang Kabinet yang berlangsung di Jakarta Media Center, Jum’at pekan lalu. Peran kubu Poros Tengah yang telah berhasil menggolkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden pun menjadi sasaran kecurigaan. “Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu, siapa sih Poros Tengah itu,” tutur pengamat ekonomi dari UI, Sri Mulyani.
“Kesimpulannya, kita harapkan Presiden dan Wakil Presiden, dalam menyusun kabinet ini, tidak menggunakan perspektif balas budi,” tegas Ichsanudin Noorsy, mantan anggota DPR dari Golkar yang menjadi moderator Dialog Publik itu. Bahkan, anehnya, skenario rekonsiliasi yang telah dengan sengaja menjadikan duet Gus Dur-Megawati, dalam kasus penyusunan kabinet ini juga ditolak.
Berbagai klaim yang muncul, tak pelak menyiratkan terjadinya adu kuat dalam perebutan kursi di kabinet. “PDI Perjuangan terakhir memang menuntut kursi lebih banyak,” tutur sumber GAMMA lainnya. PDIP kalau perlu lima menteri. Nama Dimyati Hartono atau Sabam Sirait yang diharapkan menjadi Menteri Dalam Negeri, lalu Kwik Kian Gie sebagai Menperindag, Meilono Soewondo sebagai Menteri Pekerjaan Umum, Laksamana Sukardi sebagai Menteri Investasi, dan Arifin Panigoro Menteri Pertambangan dan Energi pun sudah muncul di media. Dan kubu Poros Tengah dipinggirkan begitu saja. Tak satu pun PPP mendapatkan jatah.
Tapi Sukowaluyo dari PDIP membantah kubunya ingin mendominasi susunan kabinet duet Gus Dur-Megawati. “Baik Presiden maupun Wakil Presiden, saya kira pasti akan mengikutsertakan semua unsur bangsa yang mampu mengemban tugas penyelenggaraan negara secara baik. Dari fraksi manapun,” jawabnya diplomatis. Sebab, dalam hal terpilihnya Megawati sebagai wakil presiden, Sukowaluyo mengakui, “Itu adalah hasil dukungan seluruh fraksi.”
Nyatanya, perebutan kursi kabinet tengah berlangsung, dan tentu saja seru. Sabtu pekan lalu, sejumlah pimpinan partai-partai yang dihubungi GAMMA, mengaku sedang serius membahas tarik menarik penyusunan kabinet ini. Tidak adanya satu kursi pun yang diberikan oleh Gus Dur kepada PPP misalnya, menjadi perbincangan serius kubu Poros Tengah. “Teman-teman memang mempertanyakan itu,” tutur Hartono Mardjono.
Eki Syahrudin, salah seorang Ketua DPP Golkar, termasuk yang yakin duet Gus Dur-Megawati akan tetap melakukan pendekatan rekonsiliasi. “Rasanya, baik Gus Dur maupun Mega mustahil meninggalkan Golkar samasekali,” tegas Eki Syahrudin. Keyakinan Eki beralasan. Menurut sumber lain GAMMA, ketika Akbar menyatakan mundur dari pencalonan Presiden, Rabu pagi pekan lalu, soal peluang orang-orang Golkar duduk di kabinet ini kabarnya juga menjadi bahan perbincangan. “Sebagai syarat pengunduran dirinya, Habibie kepada Gus Dur sempat menitipkan delapan menteri dari Golkar,” kata si sumber. Waktu itu Gus Dur tidak menolak. “Ya terima saja,” kata si sumber menirukan Gus Dur.
Sementara perebutan tengah berlangsung, Gus Dur sendiri tampaknya sudah mulai melangkah. Jum’at pekan lalu, ia mengundang lima ekonom untuk meminta pendapat soal pembentukan dewan ekonomi nasional/DEN. Langkah ini, seperti ditulis Harian The Straits Times dari Singapura, mengikuti model Gedung Putih, Amerika Serikat. Selain dewan ekonomi, Gus Dur juga sudah berbicara dengan Wiranto tentang pembentukan Dewan Keamanan Nasional/DKN (di Amerika ada National Security Council). Dewan ini bakal dipimpin oleh Wiranto, menyusul pelepasannya dari jabatan Menhankam/ Pangab. Melalui Dewan ini, Gus Dur kabarnya bakal memberi kekuasaan cukup besar kepada Wiranto. Antara lain hak kontrol atas semua isu keamanan dan diplomatik, termasuk memelihara proses reformasi di tubuh militer. Dan ada pula Dewan yangmenangani politik yang belum dipastikan ketuanya.
Di luar ketiga dewan itu, menurut sumber GAMMA, jumlah menteri dipastikan bakal lebih ramping. Jumlah 36 menteri seperti yang lalu, akan menyusut hingga 22 menteri. Yaitu 16 menteri memimpin departemen, dan 6 menteri negara. Posisi Menteri Koordinator dan Menteri Sekretaris Negara dihapus. Sejumlah departemen juga bakal dihapus dan digabung. Ke-16 menteri teknis itu antara lain: menteri luar negeri dan perdagangan luar ngeri, menteri ekonomi dan keuangan, menteri industri-investasi-perdagangan dalam negeri-koperasi, menteri tenaga kerja, menteri pertahanan dan keamanan, menteri konstruksi dan transportasi, menteri informasi dan komunikasi, menteri maritim dan perikanan, dan menteri pariwisata, seni dan budaya.
Sementara enam menteri negara antara lain, menteri negara urusan kesehatan dan kesejahteraan rakyat, menteri urusan agama, menteri urusan pertanahan dan pemukiman, menteri negara perencanaan pembangunan nasional, dan menteri negara pemberdayaan BUMN.
Siapa saja yang bakal menduduki kursi menteri-menteri itu? Belum jelas. Golkar sebagai partai kedua terbesar semestinya mendapat jatah menteri proporsional. “Paling tidak, kami dapat jatah delapan menteri,” kata B. Aritonang dari Golkar. Misalnya, Marzuki yang jadi jembatan Golkar-PDI Perjuangan, dan juga Slamet Effendy Yusuf yang menggarap PKB. Lebih dari itu, “Gus Dur perlu memberikan kursi menteri kepada birokrat karier yang selama ini berpengalaman menjadi menteri, sekjen, dan dirjen,” Aritonang menambahkan.
Namun sejumlah nama yang disebut-sebut bakal menjadi menteri, juga belum mau mendahului proses. “Masih terlalu pagi,” tutur Yusril Ihza Mahendra, yang selama ini sudah diplot untuk Mensesneg. Yusril juga membantah telah melakukan negosiasi dengan Gus Dur. “Tidak ada tawar menawar itu. Saya mundur semata demi tegaknya ukhuwah,” kata Yusril.
Sri Mulyani, yang diperkirakan bakal menjabat Menteri Keuangan memberi jawaban senada. “Tidak ada tawaran untuk menjadi Menteri Keuangan. Karena tak ada tawaran, ya tidak ada jawaban,” tuturnya. Zarkasih Nur, salah seorang pimpinan PPP, juga enggan memberi jawaban. “Urusan saya adalah soal strategi dan Poros Tengah. Tentang bagi-bagi kekuasaan dalam kabinet, saya tidak tahu,” jawabnya. “Semua masih serba belum jelas. Gus Dur sendiri belum bisa dipegang. Pagi bilang A, sore bisa lain lagi,” tandas Hartono Mardjono, Ketua Partai Bulan Bintang, yang konon diproyeksikan bakal mengganti Sarwata sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Yang sudah pasti adalah tiga posisi menteri yang memang dikehendaki Gus Dur untuk diberikan kepada PKB. “You tahu kan, Gus dur selama ini menghendaki Menteri Agama, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pendidikan. Itu saja,” tutur Alwi Syihab, nominator kuat untuk Menteri Luar Negeri. “Kalau saya disebut sebagai calon kuat Menteri Luar Negeri, ya syukur alhamdulillah,” sambungnya. Selain tiga kursi itu, PKB, menurut Alwi Syihab, juga masih mengusahakan tambahan satu kursi lagi. “Untuk posisi apa dan siapa orangnya, sedang kita bicarakan,” tandasnya. Tapi orang juga sudah tahu bahwa yang disiapkan adalah Khofifah Indarparawansa.
Susunan lengkap kabinet Gus Dur kabarnya bakal diumumkan pekan ini. Kejutan tampaknya sudah melekat pada diri cucu pendiri NU ini. Nurcholish Madjid ikut memberi tamsil. “Ada empat hak Tuhan yang tidak bisa kita rencanakan. Pertama, kelahiran. Kedua, jodoh atau perkawinan. Ketiga, kematian. Dan keempat, Gus Dur.” Artinya, menurut Cak Nur, selalu ada aspek kejutan dalam diri Gus Dur. “Jadi kita tunggu saja apa kejutan itu,” tutur Cak Nur tertawa.
Di antara kejutan yang patut ditunggu itu antara lain, Gus Dur kabarnya akan menyerahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan kepada orang sipil. Nama yang sudah beredar untuk jabatan itu adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekarang, Juwono Sudarsono. Lalu, jabatan Panglima TNI, yang selama puluhan tahun dikuasai Angkatan Darat, kabarnya bakal dipercayakan pada Angkatan Laut. Siapa? Tentu saja Wakil Panglima TNI sekarang, Laksamana (TNI) Widodo AS. “Itu sesuai dengan tekad Gus Dur, membangun Indonesia sebagai negara maritim,” tutur seorang sumber. Lagipula, “untuk posisi Panglima TNI, memang kami minta dari Cilangkap,” timpal Kapuspen TNI, Mayjen (TNI) Sudradjat.
Muchlis Ainurrafik, Agus Basri, Abdul Latief Siregar, Rika Condessy, dan Julie Indahrini.
Dimuat di Majalah GAMMA, edisi 36-1 - 31-10-99
Jabatan Menteri Sekretaris Negara kemungkinan dihapus,” tutur seorang pimpinan partai proreformasi. “Ini karena terlalu banyak pihak-pihak yang ngotot ingin mendudukkan orangnya di posisi itu,” sambungnya. Suara petinggi partai itu gamblang menunjukkan betapa kuat tarik-menarik berbagai kepentingan dalam proses penyusunan kabinet duet Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sebenarnya, menurut sumber yang sangat mengetahui, semula Gus Dur sudah sepakat untuk memberi kursi Mensesneg kepada Yusril Ihza Mahendra - yang sebelumnya diplot menteri kehakiman - sebagai konsesi mundurnya Yusril pada proses pemilihan presiden, Rabu pekan lalu. Tidak hanya itu. Dalam soal susunan kabinet, Gus Dur pun sudah menyerahkannya pada kubu Poros Tengah yang jelas-jelas mengantarnya ke kursi Presiden. Kepada kubu Poros Tengah, Gus Dur malah hanya minta tiga kursi kabinet untuk Partai Kebangkitan Bangsa. Tiga kursi itu antara lain untuk Alwi Syihab yang dipercaya sebagai Menteri Luar Negeri, lalu AS Hikam sebagai Menteri Pendidikan Nasional, dan Tolchah Hasan sebagai Menteri Agama. “Sisanya, terserah sajalah,” kata sumber tersebut, menirukan Gus Dur.
Selain kepada Yusril Ihza Mahendra, Gus Dur kabarnya juga sudah berjanji mempercayakan posisi Ketua Mahkamah Agung kepada Hartono Mardjono, Ketua Partai Bulan Bintang yang juga pengacara senior. “Mas Ton, Anda saya minta menjadi Ketua Mahkamah Agung,” ujar seorang sumber lain menirukan pernyataan Gus Dur, yang disampaikan langsung ke Hartono Mardjono, dalam sebuah kesempatan pekan lalu.
Belakangan, menyusul terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden, ternyata muncul skenario baru. Sejumlah pihak, dengan argumen-argumen seperti hak prerogratif presiden, jangan ada politik balas budi dalam menyusun kabinet, dan seterusnya, mulai berusaha menjegal kesepakatan Gus Dur dengan Poros Tengah. Tawaran Gus Dur pada Yusril untuk kursi Menteri Sekretaris Negara, dipersoalkan. Sebuah harian di Jakarta memunculkan Alwi Syihab dan Hariadi Dharmawan sebagai Mensesneg. Sementara sumber dari kalangan Mega menyebut yang ada nanti sekretaris negara saja seperti pernah dijabat Alamsyah Ratuperwiranegara di awal Orde Baru.
Gerilya untuk memotong jalur khusus Gus Dur-Amien Rais rupanya menjadi agenda serius. Tengoklah apa yang muncul dalam Dialog Publik tentang Kabinet yang berlangsung di Jakarta Media Center, Jum’at pekan lalu. Peran kubu Poros Tengah yang telah berhasil menggolkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden pun menjadi sasaran kecurigaan. “Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu, siapa sih Poros Tengah itu,” tutur pengamat ekonomi dari UI, Sri Mulyani.
“Kesimpulannya, kita harapkan Presiden dan Wakil Presiden, dalam menyusun kabinet ini, tidak menggunakan perspektif balas budi,” tegas Ichsanudin Noorsy, mantan anggota DPR dari Golkar yang menjadi moderator Dialog Publik itu. Bahkan, anehnya, skenario rekonsiliasi yang telah dengan sengaja menjadikan duet Gus Dur-Megawati, dalam kasus penyusunan kabinet ini juga ditolak.
Berbagai klaim yang muncul, tak pelak menyiratkan terjadinya adu kuat dalam perebutan kursi di kabinet. “PDI Perjuangan terakhir memang menuntut kursi lebih banyak,” tutur sumber GAMMA lainnya. PDIP kalau perlu lima menteri. Nama Dimyati Hartono atau Sabam Sirait yang diharapkan menjadi Menteri Dalam Negeri, lalu Kwik Kian Gie sebagai Menperindag, Meilono Soewondo sebagai Menteri Pekerjaan Umum, Laksamana Sukardi sebagai Menteri Investasi, dan Arifin Panigoro Menteri Pertambangan dan Energi pun sudah muncul di media. Dan kubu Poros Tengah dipinggirkan begitu saja. Tak satu pun PPP mendapatkan jatah.
Tapi Sukowaluyo dari PDIP membantah kubunya ingin mendominasi susunan kabinet duet Gus Dur-Megawati. “Baik Presiden maupun Wakil Presiden, saya kira pasti akan mengikutsertakan semua unsur bangsa yang mampu mengemban tugas penyelenggaraan negara secara baik. Dari fraksi manapun,” jawabnya diplomatis. Sebab, dalam hal terpilihnya Megawati sebagai wakil presiden, Sukowaluyo mengakui, “Itu adalah hasil dukungan seluruh fraksi.”
Nyatanya, perebutan kursi kabinet tengah berlangsung, dan tentu saja seru. Sabtu pekan lalu, sejumlah pimpinan partai-partai yang dihubungi GAMMA, mengaku sedang serius membahas tarik menarik penyusunan kabinet ini. Tidak adanya satu kursi pun yang diberikan oleh Gus Dur kepada PPP misalnya, menjadi perbincangan serius kubu Poros Tengah. “Teman-teman memang mempertanyakan itu,” tutur Hartono Mardjono.
Eki Syahrudin, salah seorang Ketua DPP Golkar, termasuk yang yakin duet Gus Dur-Megawati akan tetap melakukan pendekatan rekonsiliasi. “Rasanya, baik Gus Dur maupun Mega mustahil meninggalkan Golkar samasekali,” tegas Eki Syahrudin. Keyakinan Eki beralasan. Menurut sumber lain GAMMA, ketika Akbar menyatakan mundur dari pencalonan Presiden, Rabu pagi pekan lalu, soal peluang orang-orang Golkar duduk di kabinet ini kabarnya juga menjadi bahan perbincangan. “Sebagai syarat pengunduran dirinya, Habibie kepada Gus Dur sempat menitipkan delapan menteri dari Golkar,” kata si sumber. Waktu itu Gus Dur tidak menolak. “Ya terima saja,” kata si sumber menirukan Gus Dur.
Sementara perebutan tengah berlangsung, Gus Dur sendiri tampaknya sudah mulai melangkah. Jum’at pekan lalu, ia mengundang lima ekonom untuk meminta pendapat soal pembentukan dewan ekonomi nasional/DEN. Langkah ini, seperti ditulis Harian The Straits Times dari Singapura, mengikuti model Gedung Putih, Amerika Serikat. Selain dewan ekonomi, Gus Dur juga sudah berbicara dengan Wiranto tentang pembentukan Dewan Keamanan Nasional/DKN (di Amerika ada National Security Council). Dewan ini bakal dipimpin oleh Wiranto, menyusul pelepasannya dari jabatan Menhankam/ Pangab. Melalui Dewan ini, Gus Dur kabarnya bakal memberi kekuasaan cukup besar kepada Wiranto. Antara lain hak kontrol atas semua isu keamanan dan diplomatik, termasuk memelihara proses reformasi di tubuh militer. Dan ada pula Dewan yangmenangani politik yang belum dipastikan ketuanya.
Di luar ketiga dewan itu, menurut sumber GAMMA, jumlah menteri dipastikan bakal lebih ramping. Jumlah 36 menteri seperti yang lalu, akan menyusut hingga 22 menteri. Yaitu 16 menteri memimpin departemen, dan 6 menteri negara. Posisi Menteri Koordinator dan Menteri Sekretaris Negara dihapus. Sejumlah departemen juga bakal dihapus dan digabung. Ke-16 menteri teknis itu antara lain: menteri luar negeri dan perdagangan luar ngeri, menteri ekonomi dan keuangan, menteri industri-investasi-perdagangan dalam negeri-koperasi, menteri tenaga kerja, menteri pertahanan dan keamanan, menteri konstruksi dan transportasi, menteri informasi dan komunikasi, menteri maritim dan perikanan, dan menteri pariwisata, seni dan budaya.
Sementara enam menteri negara antara lain, menteri negara urusan kesehatan dan kesejahteraan rakyat, menteri urusan agama, menteri urusan pertanahan dan pemukiman, menteri negara perencanaan pembangunan nasional, dan menteri negara pemberdayaan BUMN.
Siapa saja yang bakal menduduki kursi menteri-menteri itu? Belum jelas. Golkar sebagai partai kedua terbesar semestinya mendapat jatah menteri proporsional. “Paling tidak, kami dapat jatah delapan menteri,” kata B. Aritonang dari Golkar. Misalnya, Marzuki yang jadi jembatan Golkar-PDI Perjuangan, dan juga Slamet Effendy Yusuf yang menggarap PKB. Lebih dari itu, “Gus Dur perlu memberikan kursi menteri kepada birokrat karier yang selama ini berpengalaman menjadi menteri, sekjen, dan dirjen,” Aritonang menambahkan.
Namun sejumlah nama yang disebut-sebut bakal menjadi menteri, juga belum mau mendahului proses. “Masih terlalu pagi,” tutur Yusril Ihza Mahendra, yang selama ini sudah diplot untuk Mensesneg. Yusril juga membantah telah melakukan negosiasi dengan Gus Dur. “Tidak ada tawar menawar itu. Saya mundur semata demi tegaknya ukhuwah,” kata Yusril.
Sri Mulyani, yang diperkirakan bakal menjabat Menteri Keuangan memberi jawaban senada. “Tidak ada tawaran untuk menjadi Menteri Keuangan. Karena tak ada tawaran, ya tidak ada jawaban,” tuturnya. Zarkasih Nur, salah seorang pimpinan PPP, juga enggan memberi jawaban. “Urusan saya adalah soal strategi dan Poros Tengah. Tentang bagi-bagi kekuasaan dalam kabinet, saya tidak tahu,” jawabnya. “Semua masih serba belum jelas. Gus Dur sendiri belum bisa dipegang. Pagi bilang A, sore bisa lain lagi,” tandas Hartono Mardjono, Ketua Partai Bulan Bintang, yang konon diproyeksikan bakal mengganti Sarwata sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Yang sudah pasti adalah tiga posisi menteri yang memang dikehendaki Gus Dur untuk diberikan kepada PKB. “You tahu kan, Gus dur selama ini menghendaki Menteri Agama, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pendidikan. Itu saja,” tutur Alwi Syihab, nominator kuat untuk Menteri Luar Negeri. “Kalau saya disebut sebagai calon kuat Menteri Luar Negeri, ya syukur alhamdulillah,” sambungnya. Selain tiga kursi itu, PKB, menurut Alwi Syihab, juga masih mengusahakan tambahan satu kursi lagi. “Untuk posisi apa dan siapa orangnya, sedang kita bicarakan,” tandasnya. Tapi orang juga sudah tahu bahwa yang disiapkan adalah Khofifah Indarparawansa.
Susunan lengkap kabinet Gus Dur kabarnya bakal diumumkan pekan ini. Kejutan tampaknya sudah melekat pada diri cucu pendiri NU ini. Nurcholish Madjid ikut memberi tamsil. “Ada empat hak Tuhan yang tidak bisa kita rencanakan. Pertama, kelahiran. Kedua, jodoh atau perkawinan. Ketiga, kematian. Dan keempat, Gus Dur.” Artinya, menurut Cak Nur, selalu ada aspek kejutan dalam diri Gus Dur. “Jadi kita tunggu saja apa kejutan itu,” tutur Cak Nur tertawa.
Di antara kejutan yang patut ditunggu itu antara lain, Gus Dur kabarnya akan menyerahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan kepada orang sipil. Nama yang sudah beredar untuk jabatan itu adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekarang, Juwono Sudarsono. Lalu, jabatan Panglima TNI, yang selama puluhan tahun dikuasai Angkatan Darat, kabarnya bakal dipercayakan pada Angkatan Laut. Siapa? Tentu saja Wakil Panglima TNI sekarang, Laksamana (TNI) Widodo AS. “Itu sesuai dengan tekad Gus Dur, membangun Indonesia sebagai negara maritim,” tutur seorang sumber. Lagipula, “untuk posisi Panglima TNI, memang kami minta dari Cilangkap,” timpal Kapuspen TNI, Mayjen (TNI) Sudradjat.
Muchlis Ainurrafik, Agus Basri, Abdul Latief Siregar, Rika Condessy, dan Julie Indahrini.
Dimuat di Majalah GAMMA, edisi 36-1 - 31-10-99
Habibie Mau Mundur Secara Terhormat
Lobi-lobi politik berjalan semakin intens. Presiden B.J. Habibie dikabarkan menuruti desakan Poros Tengah untuk meninjau kembali pencalonannya.
DI tengah hiruk-pikuk dan panasnya perdebatan soal jadwal sidang dan tata-tertib Sidang Umum MPR pekan lalu, dari Gedung Binagraha terbersit berita yang sangat penting. Hari-hari terakhir, menurut kabar itu, terjadi rapat-rapat intens membahas cara pengunduran diri Presiden Habibie dari pencalonan Partai Golkar. Hasilnya? “Habibie mau mundur, asal pidato pertanggungjawabannya diterima,” tutur salah seorang pejabat di lingkungan kepresidenan yang terlibat dalam rapat-rapat itu.
Kabar itu bisa saja salah. Tapi, apa yang sedang berlangsung selama beberapa hari Sidang Umum MPR menunjukkan bahwa pencalonan Habibie sebagai presiden oleh Partai Golkar memang menghadapi ancaman serius. Bahkan, ketika Presiden Habibie mulai menginjakkan kaki di ruang sidang, Jumat pekan lalu, bukan tepuk tangan atau sambutan hangat yang ia terima, tapi teriakan “huu…”.
“Apa yang dihadapi Habibie memang berat,” tutur Hartono Mardjono, salah seorang Ketua Partai Bulan Bintang. Selain teriakan itu, sejumlah fakta lain mendukung pernyataan Hartono Mardjono. Terpilihnya Marzuki Darusman sebagai Ketua FKP MPR mengalahkan Fahmi Idris disebut-sebut sebagai jalan awal untuk menjegal pencalonan Habibie. Bahkan, bersikerasnya Golkar untuk tetap mengadakan sidang umum dalam dua tahap disebut-sebut sebagai upaya kelompok Akbar Tanjung dan Kiki -nama sapaan Marzuki Darusman- memberi kesempatan Golkar untuk menggelar rapat pimpinan untuk mengoreksi pencalonan Habibie.
Bukti lain adalah beredarnya formulir jajak pendapat tentang peta dukungan internal Golkar terhadap Habibie. Jajak pendapat tersebut ditengarai muncul menyusul sejumlah kejadian yang mengejutkan di hari pertama Sidang Umum MPR, seperti teriakan “huuu…”, hingga kehadiran Habibie yang tanpa memberikan pidato kenegaraan.
“Saya dengar perkembangannya, kekuatan pendukung Habibie di dalam tubuh Golkar tinggal sekitar 40 orang. Sisanya, 80 orang, berpaling ke Akbar,” tutur Ichsanuddin Noorsy, mantan Anggota Komisi VIII dari FKP. Sumber lain yang juga salah seorang pimpinan Golkar menyebut angka lain. “Saya kira lebih dari 50%, atau bahkan sudah mencapai 70% yang mendukung Akbar,” katanya.
Perkiraan jumlah dukungan itu, di lapangan, ternyata dibantah. Sebuah selebaran berjudul “Laporan Sementara Pendukung Habibie di DPR-RI Periode 1999-2004″ justru menyebut masih kuatnya dukungan terhadap Habibie. Laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pimpinan Kaukus Iramasuka Nusantara (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara) menyebut, misalnya, bahwa di DPR, Habibie didukung 79 orang dari Partai Golkar, PPP (51 orang), PKB (29), PAN (34), partai-partai Islam (12), partai sekuler/nasional (3), totalnya 208 orang.
Sementara, dukungan kepada Habibie dari MPR berasal dari Utusan Golongan (40 orang) dan Utusan Daerah (51). Jumlah seluruh pendukung Habibie di DPR/MPR menjadi 269 orang. Edaran itu disertai catatan bahwa komposisi pendukung Habibie di DPR belum mencukupi, sehingga masih diperlukan 30 orang lagi. Disebutkan juga bahwa partai-partai yang potensial untuk “digarap” antara lain dari Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Umat, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan PPII Masyumi.
Edaran itu menyebut juga bahwa jika Tentara Nasional Indonesia (38 orang) dimasukkan sebagai pendukung Habibie, maka jumlah pendukungnya di DPR total menjadi 307 orang, yang dinilai cukup kuat untuk mendukung pencalonan Habibie menjadi presiden. Ditambahkan, jika Partai Golkar solid atau 120 orang semua mendukung Habibie, maka jumlah pendukung Habibie menjadi 348. “Jumlah itu cukup untuk mendukung Habibie. Mungkin yang perlu disolidkan secara maksimal adalah Partai Golkar sebagai pendukung utama Habibie,” sebut edaran itu.
Lepas dari perhitungan suara dukungan, Hartono Mardjono memperkirakan Habibie bakal menghadapi ancaman serius pada saat pidato pertanggungjawaban. “Dengan adanya pertanggungjawaban sebelum pemilihan presiden, itu menjadi berat buat Habibie,” tutur Hartono.
Perkiraan Hartono beralasan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, sudah mengambil ancang-ancang menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. “Dari evaluasi partai terhadap perjalanan pemerintahan Habibie, kami memutuskan untuk menolak pertanggungjawaban Presiden,” tegas Khofifah Indar Parawansa, salah seorang Ketua PKB. Menurut Khofifah, PKB menilai pemerintahan Habibie justru mencatat banyak hal negatif ketimbang positifnya. Hal-hal positif seperti pembebasan tapol-napol, kebebasan pers, dan kebebasan politik, menurut Khofifah, dinilai bukan inisiatif dari Habibie.
“Kebijakan itu semua lebih karena tekanan publik dan internasional. Artinya, dilakukan secara terpaksa,” sambung Khofifah. Sementara, daftar kegagalan kepemimpinan Habibie, di mata PKB, berderet. Dari soal kemacetan pemulihan ekonomi sampai masalah Timtim. “Dalam kasus Timor Timor, Habibie kami anggap tidak hanya melanggar Tap MPR, tapi juga Undang-Undang Dasar 45,” tambah Khofifah.
Benarkah peluang Habibie terancam? Marwah Daud Ibrahim, salah satu Ketua DPP Golkar yang disebut-sebut masuk dalam kelompok pendukung Habibie, tegas membantah. “Kalau saya yang Anda tanya, jawabnya tidak,” kata Marwah. Ia melihat berbagai indikasi yang disebut melemahkan dukungan terhadap pencalonan Habibie tidak sepenuhnya benar. “Munculnya Marzuki Darusman sebagai Ketua FKP MPR, menurut saya, malah positif. Itu menunjukkan di dalam tubuh Golkar tidak ada kubu-kubuan,” kata Marwah. Lebih jauh, Marwah masih tetap yakin dukungan untuk Habibie masih kuat.
Akbar Tanjung memilih bersikap realistis. “Yang jelas, dukungan suara yang kami miliki tidak cukup signifikan untuk mengegolkan Habibie, tanpa dukungan dari partai-partai lain,” tutur Akbar diplomatis. Saat ini, menurut Akbar, dari Utusan Daerah, dari 135 kursi, Golkar mendapat 50 suara. “Tapi, dari Poros Tengah, itu sulit. Mereka masih solid mendukung Gus Dur. Dari TNI? Itu juga sulit, karena ada ganjalan soal Timtim,” tambah Akbar.
Golkar merencanakan akan melakukan evaluasi soal peluang Habibie dalam rapat pimpinan. “Pelaksanaannya dalam waktu dekat, sebelum 14 Oktober,” kata Akbar. Akankah Golkar menganulir pencalonan Habibie? “Kami hanya akan melaporkan perkembangan situasi. Setelah itu, terserah Pak Habibie,” sambung Akbar, sekali lagi, diplomatis.
Muchlis Ainurrafik, Ruba’I Kadir, Rika Condessy, Julie Indahrini, Yuyuk Andriati Iskak, Yessi Maryam.
DI tengah hiruk-pikuk dan panasnya perdebatan soal jadwal sidang dan tata-tertib Sidang Umum MPR pekan lalu, dari Gedung Binagraha terbersit berita yang sangat penting. Hari-hari terakhir, menurut kabar itu, terjadi rapat-rapat intens membahas cara pengunduran diri Presiden Habibie dari pencalonan Partai Golkar. Hasilnya? “Habibie mau mundur, asal pidato pertanggungjawabannya diterima,” tutur salah seorang pejabat di lingkungan kepresidenan yang terlibat dalam rapat-rapat itu.
Kabar itu bisa saja salah. Tapi, apa yang sedang berlangsung selama beberapa hari Sidang Umum MPR menunjukkan bahwa pencalonan Habibie sebagai presiden oleh Partai Golkar memang menghadapi ancaman serius. Bahkan, ketika Presiden Habibie mulai menginjakkan kaki di ruang sidang, Jumat pekan lalu, bukan tepuk tangan atau sambutan hangat yang ia terima, tapi teriakan “huu…”.
“Apa yang dihadapi Habibie memang berat,” tutur Hartono Mardjono, salah seorang Ketua Partai Bulan Bintang. Selain teriakan itu, sejumlah fakta lain mendukung pernyataan Hartono Mardjono. Terpilihnya Marzuki Darusman sebagai Ketua FKP MPR mengalahkan Fahmi Idris disebut-sebut sebagai jalan awal untuk menjegal pencalonan Habibie. Bahkan, bersikerasnya Golkar untuk tetap mengadakan sidang umum dalam dua tahap disebut-sebut sebagai upaya kelompok Akbar Tanjung dan Kiki -nama sapaan Marzuki Darusman- memberi kesempatan Golkar untuk menggelar rapat pimpinan untuk mengoreksi pencalonan Habibie.
Bukti lain adalah beredarnya formulir jajak pendapat tentang peta dukungan internal Golkar terhadap Habibie. Jajak pendapat tersebut ditengarai muncul menyusul sejumlah kejadian yang mengejutkan di hari pertama Sidang Umum MPR, seperti teriakan “huuu…”, hingga kehadiran Habibie yang tanpa memberikan pidato kenegaraan.
“Saya dengar perkembangannya, kekuatan pendukung Habibie di dalam tubuh Golkar tinggal sekitar 40 orang. Sisanya, 80 orang, berpaling ke Akbar,” tutur Ichsanuddin Noorsy, mantan Anggota Komisi VIII dari FKP. Sumber lain yang juga salah seorang pimpinan Golkar menyebut angka lain. “Saya kira lebih dari 50%, atau bahkan sudah mencapai 70% yang mendukung Akbar,” katanya.
Perkiraan jumlah dukungan itu, di lapangan, ternyata dibantah. Sebuah selebaran berjudul “Laporan Sementara Pendukung Habibie di DPR-RI Periode 1999-2004″ justru menyebut masih kuatnya dukungan terhadap Habibie. Laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pimpinan Kaukus Iramasuka Nusantara (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Nusatenggara) menyebut, misalnya, bahwa di DPR, Habibie didukung 79 orang dari Partai Golkar, PPP (51 orang), PKB (29), PAN (34), partai-partai Islam (12), partai sekuler/nasional (3), totalnya 208 orang.
Sementara, dukungan kepada Habibie dari MPR berasal dari Utusan Golongan (40 orang) dan Utusan Daerah (51). Jumlah seluruh pendukung Habibie di DPR/MPR menjadi 269 orang. Edaran itu disertai catatan bahwa komposisi pendukung Habibie di DPR belum mencukupi, sehingga masih diperlukan 30 orang lagi. Disebutkan juga bahwa partai-partai yang potensial untuk “digarap” antara lain dari Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Umat, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan PPII Masyumi.
Edaran itu menyebut juga bahwa jika Tentara Nasional Indonesia (38 orang) dimasukkan sebagai pendukung Habibie, maka jumlah pendukungnya di DPR total menjadi 307 orang, yang dinilai cukup kuat untuk mendukung pencalonan Habibie menjadi presiden. Ditambahkan, jika Partai Golkar solid atau 120 orang semua mendukung Habibie, maka jumlah pendukung Habibie menjadi 348. “Jumlah itu cukup untuk mendukung Habibie. Mungkin yang perlu disolidkan secara maksimal adalah Partai Golkar sebagai pendukung utama Habibie,” sebut edaran itu.
Lepas dari perhitungan suara dukungan, Hartono Mardjono memperkirakan Habibie bakal menghadapi ancaman serius pada saat pidato pertanggungjawaban. “Dengan adanya pertanggungjawaban sebelum pemilihan presiden, itu menjadi berat buat Habibie,” tutur Hartono.
Perkiraan Hartono beralasan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, sudah mengambil ancang-ancang menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. “Dari evaluasi partai terhadap perjalanan pemerintahan Habibie, kami memutuskan untuk menolak pertanggungjawaban Presiden,” tegas Khofifah Indar Parawansa, salah seorang Ketua PKB. Menurut Khofifah, PKB menilai pemerintahan Habibie justru mencatat banyak hal negatif ketimbang positifnya. Hal-hal positif seperti pembebasan tapol-napol, kebebasan pers, dan kebebasan politik, menurut Khofifah, dinilai bukan inisiatif dari Habibie.
“Kebijakan itu semua lebih karena tekanan publik dan internasional. Artinya, dilakukan secara terpaksa,” sambung Khofifah. Sementara, daftar kegagalan kepemimpinan Habibie, di mata PKB, berderet. Dari soal kemacetan pemulihan ekonomi sampai masalah Timtim. “Dalam kasus Timor Timor, Habibie kami anggap tidak hanya melanggar Tap MPR, tapi juga Undang-Undang Dasar 45,” tambah Khofifah.
Benarkah peluang Habibie terancam? Marwah Daud Ibrahim, salah satu Ketua DPP Golkar yang disebut-sebut masuk dalam kelompok pendukung Habibie, tegas membantah. “Kalau saya yang Anda tanya, jawabnya tidak,” kata Marwah. Ia melihat berbagai indikasi yang disebut melemahkan dukungan terhadap pencalonan Habibie tidak sepenuhnya benar. “Munculnya Marzuki Darusman sebagai Ketua FKP MPR, menurut saya, malah positif. Itu menunjukkan di dalam tubuh Golkar tidak ada kubu-kubuan,” kata Marwah. Lebih jauh, Marwah masih tetap yakin dukungan untuk Habibie masih kuat.
Akbar Tanjung memilih bersikap realistis. “Yang jelas, dukungan suara yang kami miliki tidak cukup signifikan untuk mengegolkan Habibie, tanpa dukungan dari partai-partai lain,” tutur Akbar diplomatis. Saat ini, menurut Akbar, dari Utusan Daerah, dari 135 kursi, Golkar mendapat 50 suara. “Tapi, dari Poros Tengah, itu sulit. Mereka masih solid mendukung Gus Dur. Dari TNI? Itu juga sulit, karena ada ganjalan soal Timtim,” tambah Akbar.
Golkar merencanakan akan melakukan evaluasi soal peluang Habibie dalam rapat pimpinan. “Pelaksanaannya dalam waktu dekat, sebelum 14 Oktober,” kata Akbar. Akankah Golkar menganulir pencalonan Habibie? “Kami hanya akan melaporkan perkembangan situasi. Setelah itu, terserah Pak Habibie,” sambung Akbar, sekali lagi, diplomatis.
Muchlis Ainurrafik, Ruba’I Kadir, Rika Condessy, Julie Indahrini, Yuyuk Andriati Iskak, Yessi Maryam.
Menakar Kekuatan Para Pemain
Golkar dan Poros Tengah sibuk melempangkan jalan
SIDANG Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang baru akan digelar pekan ini benar-benar menjadi panggung pertarungan politik paling menarik sekaligus paling bersejarah. Inilah untuk pertama kalinya bakal terjadi pertarungan terbuka -mungkin habis-habisan- sejumlah calon presiden.
Sampai sepekan terakhir paling tidak ada beberapa nama calon Presiden: B.J. Habibie dari Golkar, K.H. Abdurrahman Wahid dari Poros Tengah, dan Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan. Untuk mengegolkan atau memenangkan pertarungan, berbagai pihak tengah menyiapkan aturan main yang perlu disepakati bersama.
Tengoklah sebuah pertemuan yang berlangsung di Apartemen Plaza Senayan, Jumat malam pekan lalu. Bertempat di sebuah ruangan yang dipesan khusus pada tengah malam, tampak Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung agak lelah. Politisi yang andal melakukan lobi itu ta mpak baru saja usai membahas soal aturan main tersebut bersama Amien Rais, K.H. Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, dan Nur Mahmudi Ismail. “Banyak pemikiran dan usulan yang sangat menarik,” kata Akbar Tanjung dengan suara datar.
Begitulah, Golkar dan Poros Tengah memang sibuk menyiapkan diri. Mereka sebenarnya telah membentuk tim kerja terhitung sejak Sabtu dua pekan lalu. Pertemuan pertama berlangsung di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur. Dalam pertemuan itu hadir Akba r Tanjung (Golkar), Matori Abdul Djalil (PKB), Amien Rais (PAN), Zarkasih Noer (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan Nur Mahmudi Ismail (PK). Enam partai besar ini sepakat membentuk tim kecil untuk menyusun materi Sidang Umum MPR, terutama jadwal, tata t ertib, dan mekanisme pemilihan presiden.
Pertemuan Ciganjur menugaskan Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang dan Slamet Effendi Yusuf dari Golkar untuk mengomandani tim tujuh. Kenapa disebut tim tujuh? Karena motor penggeraknya belakangan bertambah satu, sehingga menjadi tujuh partai: G olkar, PAN, PPP, PKB, Partai Keadilan, PBB, dan juga PDI Perjuangan. Setelah rapat maraton selama empat hari sepanjang pekan lalu, tim ini berhasil menelorkan sejumlah rumusan penting.
Tentang fraksi di MPR, misalnya. Selain fraksi-fraksi berdasarkan partai politik -yang disyaratkan dengan keanggotaan minimal 10 anggota (electoral treshold)- tim tujuh juga sepakat membentuk fraksi gabungan antarpartai-partai politik. Dan, fraksi Utusan Daerah dihapus.
Rapat tim tujuh sempat berjalan alot ketika membahas mekanisme pencalonan dan pemilihan presiden. “Kami mendesak sistem pemilihan presiden one man one vote,” kata Muhaimin Iskandar, anggota tim yang dikenal juga sebagai Sekjen PKB. Usulan satu orang satu suara tampaknya disepakati oleh tim. “Ya kami sepakati pemilihan satu orang satu suara, dan berlangsung tertutup,” Yusril menimpali. Hanya, sampai tahap akhir rapat, kabarnya wakil dari PDI Perjuangan masih berusaha mendesakkan sistem terbuka.
Rapat-rapat tim tidak berhasil mencapai titik temu manakala membahas mekanisme pencalonan presiden. “Akhirnya kami memberikan pilihan-pilihan atau opsi,” tutur Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional. Tiga opsi itu antara lain, pertama, setiap anggota ma jelis berhak mencalonkan presiden, dan seseorang berhak menjadi calon apabila mendapat dukungan sekurang-kurangnya 70 anggota majelis.
Kedua, calon presiden diusulkan oleh fraksi, tapi anggota fraksi boleh tidak setuju dengan calon usulan fraksinya. “Artinya, kalau seseorang tak setuju dengan calon fraksinya, dia harus bergabung dengan 70 orang lain untuk mengusulkan calon yang didukungn ya. Itu boleh,” kata Hatta Rajasa menjelaskan. Ketiga, murni fraksi. Artinya, hanya fraksilah yang berhak mencalonkan nama calon presidennya. “Dalam hal ini kami berusaha mengakomodasi individualitas, kolektivitas, dan gabungan antara keduanya,” kata Slamet Effendi Yusuf.
Sejumlah persoalan memang mulai terurai. Hatta Rajasa, misalnya, mengusulkan agar tim kecil inilah yang akan menjadi inti pembentukan Badan Pekerja MPR. “Sebaiknya memang begitu. Karena praktis, anggota tim tujuh ini kan sudah menguasai persoalan. Anggota Badan Pekerja sebanyak 90 orang. Dalam tim tujuh ini sudah ada 14 orang. Tinggal mencari tambahannya,” katanya.
Mulus? Belum juga. Ketidakhadiran Megawati dalam berbagai pertemuan, termasuk pertemuan pimpinan tujuh partai di Plaza Senayan, Jumat pekan lalu, tampaknya menunjukkan masih ada persoalan yang mengganjal. Meskipun mengirim wakil, kontribusi PDI Perjuangan dalam tim ini sangat minim. “Utusannya cuma satu orang, itu pun ganti-ganti,” ujar seorang anggota tim. Toh, Yusril optimistis. “Ketujuh partai yang terlibat di dalam perumusan ini sangat signifikan,” katanya.
Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Julie Indahrini, Wuri Hardiastuti, dan
Yuyuk A. Iskak
Dimuat di Majalah GAMMA, 30 Sep 1999
SIDANG Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang baru akan digelar pekan ini benar-benar menjadi panggung pertarungan politik paling menarik sekaligus paling bersejarah. Inilah untuk pertama kalinya bakal terjadi pertarungan terbuka -mungkin habis-habisan- sejumlah calon presiden.
Sampai sepekan terakhir paling tidak ada beberapa nama calon Presiden: B.J. Habibie dari Golkar, K.H. Abdurrahman Wahid dari Poros Tengah, dan Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan. Untuk mengegolkan atau memenangkan pertarungan, berbagai pihak tengah menyiapkan aturan main yang perlu disepakati bersama.
Tengoklah sebuah pertemuan yang berlangsung di Apartemen Plaza Senayan, Jumat malam pekan lalu. Bertempat di sebuah ruangan yang dipesan khusus pada tengah malam, tampak Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung agak lelah. Politisi yang andal melakukan lobi itu ta mpak baru saja usai membahas soal aturan main tersebut bersama Amien Rais, K.H. Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, dan Nur Mahmudi Ismail. “Banyak pemikiran dan usulan yang sangat menarik,” kata Akbar Tanjung dengan suara datar.
Begitulah, Golkar dan Poros Tengah memang sibuk menyiapkan diri. Mereka sebenarnya telah membentuk tim kerja terhitung sejak Sabtu dua pekan lalu. Pertemuan pertama berlangsung di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur. Dalam pertemuan itu hadir Akba r Tanjung (Golkar), Matori Abdul Djalil (PKB), Amien Rais (PAN), Zarkasih Noer (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan Nur Mahmudi Ismail (PK). Enam partai besar ini sepakat membentuk tim kecil untuk menyusun materi Sidang Umum MPR, terutama jadwal, tata t ertib, dan mekanisme pemilihan presiden.
Pertemuan Ciganjur menugaskan Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang dan Slamet Effendi Yusuf dari Golkar untuk mengomandani tim tujuh. Kenapa disebut tim tujuh? Karena motor penggeraknya belakangan bertambah satu, sehingga menjadi tujuh partai: G olkar, PAN, PPP, PKB, Partai Keadilan, PBB, dan juga PDI Perjuangan. Setelah rapat maraton selama empat hari sepanjang pekan lalu, tim ini berhasil menelorkan sejumlah rumusan penting.
Tentang fraksi di MPR, misalnya. Selain fraksi-fraksi berdasarkan partai politik -yang disyaratkan dengan keanggotaan minimal 10 anggota (electoral treshold)- tim tujuh juga sepakat membentuk fraksi gabungan antarpartai-partai politik. Dan, fraksi Utusan Daerah dihapus.
Rapat tim tujuh sempat berjalan alot ketika membahas mekanisme pencalonan dan pemilihan presiden. “Kami mendesak sistem pemilihan presiden one man one vote,” kata Muhaimin Iskandar, anggota tim yang dikenal juga sebagai Sekjen PKB. Usulan satu orang satu suara tampaknya disepakati oleh tim. “Ya kami sepakati pemilihan satu orang satu suara, dan berlangsung tertutup,” Yusril menimpali. Hanya, sampai tahap akhir rapat, kabarnya wakil dari PDI Perjuangan masih berusaha mendesakkan sistem terbuka.
Rapat-rapat tim tidak berhasil mencapai titik temu manakala membahas mekanisme pencalonan presiden. “Akhirnya kami memberikan pilihan-pilihan atau opsi,” tutur Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional. Tiga opsi itu antara lain, pertama, setiap anggota ma jelis berhak mencalonkan presiden, dan seseorang berhak menjadi calon apabila mendapat dukungan sekurang-kurangnya 70 anggota majelis.
Kedua, calon presiden diusulkan oleh fraksi, tapi anggota fraksi boleh tidak setuju dengan calon usulan fraksinya. “Artinya, kalau seseorang tak setuju dengan calon fraksinya, dia harus bergabung dengan 70 orang lain untuk mengusulkan calon yang didukungn ya. Itu boleh,” kata Hatta Rajasa menjelaskan. Ketiga, murni fraksi. Artinya, hanya fraksilah yang berhak mencalonkan nama calon presidennya. “Dalam hal ini kami berusaha mengakomodasi individualitas, kolektivitas, dan gabungan antara keduanya,” kata Slamet Effendi Yusuf.
Sejumlah persoalan memang mulai terurai. Hatta Rajasa, misalnya, mengusulkan agar tim kecil inilah yang akan menjadi inti pembentukan Badan Pekerja MPR. “Sebaiknya memang begitu. Karena praktis, anggota tim tujuh ini kan sudah menguasai persoalan. Anggota Badan Pekerja sebanyak 90 orang. Dalam tim tujuh ini sudah ada 14 orang. Tinggal mencari tambahannya,” katanya.
Mulus? Belum juga. Ketidakhadiran Megawati dalam berbagai pertemuan, termasuk pertemuan pimpinan tujuh partai di Plaza Senayan, Jumat pekan lalu, tampaknya menunjukkan masih ada persoalan yang mengganjal. Meskipun mengirim wakil, kontribusi PDI Perjuangan dalam tim ini sangat minim. “Utusannya cuma satu orang, itu pun ganti-ganti,” ujar seorang anggota tim. Toh, Yusril optimistis. “Ketujuh partai yang terlibat di dalam perumusan ini sangat signifikan,” katanya.
Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Julie Indahrini, Wuri Hardiastuti, dan
Yuyuk A. Iskak
Dimuat di Majalah GAMMA, 30 Sep 1999
Mundur Dulu Nanti Menyerang
SENIN siang, saat istirahat makan, telepon seluler di tangan Bondan Gunawan terus berdering. Puluhan rekan dan wartawan bertanya apakah Bondan akan mundur dari kabinet, atau sedang menyusun berbagai serangan dalam kasus skandal Bulog. “Saya bilang, setelah tugas reorganisasi Setneg sudah tuntas mungkin akan mundur. Sebab, saya memang tak cocok di sini,” tutur Bondan, santai.
Sejak ditarik ke lingkungan Istana, awal Januari lalu, kehadiran Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) ini tak lepas dari kontroversi. Dalam kasus Gus Dur versus Amien Rais soal Aksi Sejuta Ummat di Monas, Gus Dur mendapat sorotan tajam. Gus Dur dianggap terlalu menganggap kecil aspirasi umat. Untuk pertama kali, kehadiran Bondan mulai terusik. “Ya sejak itu saya mulai risih,” katanya. Sejak itu, berbagai tudingan miring mengarah kepada adik pahlawan revolusi Brigjen Katamso ini.
Perjalanan hidup lelaki gempal kelahiran Kali Code, Yogyakarta, ini memang penuh warna. Bondan umum dikenal hanya sebagai aktivis Fordem. Padahal, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan Gerakan Sarjana Nasional Indonesia (GSNI) -dua-duanya Soekarnois- ini tercatat juga sebagai pengajar di Fakultas Teknik Geologi Universitas Trisakti. Ia juga cukup lama menjadi Rektor Universitas 17 Agustus di Banyuwangi (1989-1992).
Senin malam lalu, Bondan membuat keputusan menyentak. Jabatan Sekretaris Pengendalian Pemerintah dan Pjs. Sekretaris Negara resmi ditanggalkannya, justru ketika ia menghadapi akumulasi serangan politik, terakhir skandal Bulog. “Saya tidak ingin berlindung dengan baju kekuasaan,” tuturnya kepada Hariyadi, Chumairah, dan Rizki Yanuardi dari Gamma dalam dua kali kesempatan. Pertama, usai jumpa pers Senin malam dan dilanjutkan Selasa pagi, di rumahnya, di Jl. Pelikan, Bintaro Jaya. Berikut petikannya:
Keputusan mundur Anda terkesan mendadak?
Mundur itu hal yang biasa. Tapi, rumor kalau saya mau mundur atau mau diganti sudah beberapa waktu lalu.
Pengunduran diri Anda sudah disampaikan pada presiden?
Ya, dong. Tidak mungkin saya melangkah tanpa beliau tahu. Sekitar pukul 20.00-21.00 (Senin malam, Red.) kami mengobrol dan diskusi. Kami sampai pada kesimpulan lebih baik saya mundur untuk mengurangi beban beliau. Sebab, pada hakikatnya, serangan ini ditujukan pada Gus Dur. Beliau bisa memahami.
Jadi, bagaimana posisi persisnya. Anda yang meminta mundur, atau sebaliknya?
Sebagai orang Timur, saya tahu persis beliau mendapat cukup serangan. Dalam diskusi itu, saya yang menyampaikan keinginan mundur itu. Tapi, kami sebenarnya sama-sama tahu. Kami sudah lama bekerja sama. Sejak di Fordem kami bisa saling mengantisipasi, apa kehendak beliau, apa yang harus saya kerjakan. Sebagai teman, dengan body language saja, saya tahu bahwa beliau dalam suatu situasi pelik, saya perlu berbuat sesuatu. Itulah mengapa saya memilih mundur dan beliau setuju. Tapi, pertanyaan Anda mengundang tanya. Ada info apa kok nanya saya diminta mundur. Gus Dur itu kalau bersahabat sangat total demikian juga saya pada Gus Dur, tak mungkin Gus Dur meminta saya mundur.
Rencana mundur ini, apakah sudah terpikir lama sebelumnya? Atau karena terdesak skandal Bulog?
Sebenarnya sudah cukup lama. Posisi saya di sini kan sepenuhnya melayani presiden. Sejak orang merumorkan soal pembisik dan macam-macam, saya sudah risau dan risih. Mengapa kok kita melihatnya dari hal yang tidak enak. Mengapa mereka tidak mencoba melihat dari sisi positif. Nah, kalau saya tetap berada di dalam situasi itu akan bertahan terus. Tapi, kalau saya berada di luar saya bisa membantu dan bisa mendorong opini yang sesungguhnya terjadi bagaimna.
Anda menyimpulkan pengungkapan skandal Bulog ini bertujuan untuk menjatuhkan Gus Dur?
Itu analisis saya. Misalnya, konstitusi kita memberi ruang Sidang Umum MPR lima tahun sekali. Selain itu, setiap tahun diadakan sidang sekali. Kemudian, orang ngomong tentang sidang istimewa. Padahal, menurut ketetapan MPR, sidang Agustus nanti untuk menyampaikan progress report. Kemudian, soal usulan presiden untuk mencabut Tap MPR soal komunisme. Mengapa kita semua tidak mau berpikir bahwa presiden berpikir sangat-sangat konsepsional. Berangkat dari itu, saya merasa andai kata saya berada di luar dan kembali sebagai teman bukan sebagai pembantu beliau, saya akan jauh lebih punya keleluasaan untuk melakukan dukungan atau melakukan hal-hal yang lebih terbuka lagi daripada saya di dalam.
Tapi, publik akan menilai Anda kalah bertarung?
Kenapa Anda melihat ini sebagai pertarungan? Saya justru melihat keputusan ini untuk membuktikan bahwa siapa pun yang duduk di sini, seperti selalu saya omongkan, hanyalah pembantu presiden. Jadi jangan lagi presiden merasa tidak terbantu, atau malah terganggu oleh kehadiran karena kita. Saya tahu diri, saya tidak ingin presiden saya terganggu.
Jadi, apa yang hendak Anda capai?
Saya ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Saya tidak perlu menyombongkan diri, tapi setidaknya teman-teman tahu tentang saya. Dengan mundur berarti saya menjadi masyarakat biasa. Kalau saya masih dalam posisi pemerintah, dan melakukan pembelaan diri itu wajar. Tapi justru saya akan melakukan pembelaan dari serangan ini ketika saya sudah kembali, tidak menjadi pejabat tapi anggota masyarakat. Orang yang bertahan akan selalu mencari perlindungan yang dipahami sebagai kekuasaan. Dan saya tidak perlu berlindung di mana pun untuk menghadapi persoalan itu.
Dalam skandal Bulog, Anda mengaku sama sekali tidak bersalah. Berniat akan menyerang balik lewat proses hukum?
Persoalannya begini, siapa yang harus saya lakukan tindakan hukum? Misalnya, ada orang menyatakan Mbak Eva adalah saudara saya, apa bisa saya kenakan tindakan hukum. Jadi, ada insinuasi yang sengaja diciptakan. Lalu, dalam pemberitaan skandal Bulog seringkali dikasih tanda tanya. Apa yang mesti harus saya dilakukan. Itu kan bukan tuduhan. Dan Anda sah berbuat semacam itu. Makanya sama-sama kita lihat proses, kalau menyakitkan hati mungkin kita akan tempuh langkah itu.
Sebenarnya, bagaimana posisi Anda di mana dalam kasus Bulog?
Saya tidak tahu-menahu sama sekali (suaranya meninggi, Red.). Pertanyaan itu sangat menyinggung perasaan, kalau Anda mau tahu.
Begini. Sebab, dalam pengakuan tertulis Sapuan, sebelum jebolnya dana Bulog, Anda mengundang dia membicarakan penggunaan dana nonneraca, sekaligus membicarakan keinginan Gus Dur memanfaatkan dana itu untuk penyelesaian soal Aceh. Benar?
Pak Sapuan memang pernah diundang dua kali. Tapi bukan hanya dia, ada Dirjen Bea Cukai, Dirut Pertamina, Dirut PT Timah, dan beberapa pimpinan instansi lain. Tujuannya, selama ini katanya ada dana nonneraca yang sering menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Saya ingin menertibkan, dan bagaimana bisa diamankan dan harusnya semua dimasukkan ke kas negara. Jadi bukan berkaitan dengan persoalan Aceh. Jadi penjelasan Sapuan itu benar. Yang salah kemudian dikait-kaitkan.
Saya juga pernah mengundang Sapuan kembali saat Rizal Ramli akan dilantik sebagai Kabulog. Waktu itu saya ingin memberi saran-saran. Tapi, dia tak datang. Cara mengaitkan saya dengan pengakuan Sapuan itu masih kecil. Yang lebih jahat, pengaitan saya dengan Siti Ferika yang katanya keluarga saya. Dan kebetulan ada aliran uang ke Semarang saat saya ikut kongres PDI, sehingga tuduhannya saya memakai uang untuk kampanye PDI. Jelas sekali semua dicari-cari agar menjadi isu dan rumor.
Menurut Sapuan, Gus Dur sendiri katanya membutuhkan dana nonneraca Bulog itu untuk penyelesaian kasus Aceh. Benar?
Saya tidak tahu soal itu dan tak pernah dengar. Saya tak pernah bicara soal penggunaan dana baik dengan Sapuan maupun pimpinan instansi yang lain. Saya hanya bicara soal bagaimana mengamankan.
Fakta lain, saat Kongres PDI-P di Semarang, begitu banyak spanduk mendukung Anda. Apa sebenarnya proyek Anda dengan PDI Perjuangan?
Tujuan saya hanya satu, untuk menegakkan demokrasi. Demokrasi mutlak memerlukan hadirnya partai politik yang tidak hanya menjadi kendaraan. Saya datang ke Semarang tujuannya ingin mendorong agar PDI-P bisa menjadi partai yang benar. Tak pernah saya mencari dukungan. Justru saya datang untuk menghargai orang yang mendukung saya. Jadi, kecurigaan itu sama sekali salah. Saya tidak pernah memakai tim sukses segala macam apalagi bagi-bagi duit. Spanduk-spanduk itu juga buatan orang yang mendukung, yang tak pernah saya tahu.
Masa nggak pernah ngasih dana untuk semua itu?
O, tabu bagi saya untuk kegiatan semacam itu dengan uang.
Meski sebentar, Anda sempat juga di pusat kekuasaan. Ada yang paling berkesan?
Kita masuk dalam kekuasaan yang saya gambarkan sebagai hotplate. Segala macam rencana yang dulu ada harus menunggu. Harus tetap melihat secara cerdas dan jernih agar kita tidak macet atau tidak terlibat dalam kungkungan sistem yang selama ini dipakai untuk kepentingan penguasa. Kita harus mengubah menjadi sistem yang menjadi berpihak pada rakyat. Dan proses itu ternyata tak sesederhana seperti yang saya bayangkan waktu belum masuk.
Kapok menjadi pejabat?
Yang jelas saya tidak akan kapok berjuang. Apa pun konsekuensinya. Bagi saya, jabatan bukan obsesi dan tujuan. Begitu juga yang terjadi pada Gus Dur. Gus Dur tidak pernah punya cita-cita jadi presiden, tapi kenapa akhirnya jadi. Perjuanganlah yang menghendaki. Ketika saya dipanggil Gus Dur untuk membantu, yang terpikir oleh saya ya inilah konsekuensi perjuangan. Jadi bukan persoalan kapok atau tidak.
Muchlis Ainurrafik
Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 15-2 - 06-06-2000
Sejak ditarik ke lingkungan Istana, awal Januari lalu, kehadiran Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) ini tak lepas dari kontroversi. Dalam kasus Gus Dur versus Amien Rais soal Aksi Sejuta Ummat di Monas, Gus Dur mendapat sorotan tajam. Gus Dur dianggap terlalu menganggap kecil aspirasi umat. Untuk pertama kali, kehadiran Bondan mulai terusik. “Ya sejak itu saya mulai risih,” katanya. Sejak itu, berbagai tudingan miring mengarah kepada adik pahlawan revolusi Brigjen Katamso ini.
Perjalanan hidup lelaki gempal kelahiran Kali Code, Yogyakarta, ini memang penuh warna. Bondan umum dikenal hanya sebagai aktivis Fordem. Padahal, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan Gerakan Sarjana Nasional Indonesia (GSNI) -dua-duanya Soekarnois- ini tercatat juga sebagai pengajar di Fakultas Teknik Geologi Universitas Trisakti. Ia juga cukup lama menjadi Rektor Universitas 17 Agustus di Banyuwangi (1989-1992).
Senin malam lalu, Bondan membuat keputusan menyentak. Jabatan Sekretaris Pengendalian Pemerintah dan Pjs. Sekretaris Negara resmi ditanggalkannya, justru ketika ia menghadapi akumulasi serangan politik, terakhir skandal Bulog. “Saya tidak ingin berlindung dengan baju kekuasaan,” tuturnya kepada Hariyadi, Chumairah, dan Rizki Yanuardi dari Gamma dalam dua kali kesempatan. Pertama, usai jumpa pers Senin malam dan dilanjutkan Selasa pagi, di rumahnya, di Jl. Pelikan, Bintaro Jaya. Berikut petikannya:
Keputusan mundur Anda terkesan mendadak?
Mundur itu hal yang biasa. Tapi, rumor kalau saya mau mundur atau mau diganti sudah beberapa waktu lalu.
Pengunduran diri Anda sudah disampaikan pada presiden?
Ya, dong. Tidak mungkin saya melangkah tanpa beliau tahu. Sekitar pukul 20.00-21.00 (Senin malam, Red.) kami mengobrol dan diskusi. Kami sampai pada kesimpulan lebih baik saya mundur untuk mengurangi beban beliau. Sebab, pada hakikatnya, serangan ini ditujukan pada Gus Dur. Beliau bisa memahami.
Jadi, bagaimana posisi persisnya. Anda yang meminta mundur, atau sebaliknya?
Sebagai orang Timur, saya tahu persis beliau mendapat cukup serangan. Dalam diskusi itu, saya yang menyampaikan keinginan mundur itu. Tapi, kami sebenarnya sama-sama tahu. Kami sudah lama bekerja sama. Sejak di Fordem kami bisa saling mengantisipasi, apa kehendak beliau, apa yang harus saya kerjakan. Sebagai teman, dengan body language saja, saya tahu bahwa beliau dalam suatu situasi pelik, saya perlu berbuat sesuatu. Itulah mengapa saya memilih mundur dan beliau setuju. Tapi, pertanyaan Anda mengundang tanya. Ada info apa kok nanya saya diminta mundur. Gus Dur itu kalau bersahabat sangat total demikian juga saya pada Gus Dur, tak mungkin Gus Dur meminta saya mundur.
Rencana mundur ini, apakah sudah terpikir lama sebelumnya? Atau karena terdesak skandal Bulog?
Sebenarnya sudah cukup lama. Posisi saya di sini kan sepenuhnya melayani presiden. Sejak orang merumorkan soal pembisik dan macam-macam, saya sudah risau dan risih. Mengapa kok kita melihatnya dari hal yang tidak enak. Mengapa mereka tidak mencoba melihat dari sisi positif. Nah, kalau saya tetap berada di dalam situasi itu akan bertahan terus. Tapi, kalau saya berada di luar saya bisa membantu dan bisa mendorong opini yang sesungguhnya terjadi bagaimna.
Anda menyimpulkan pengungkapan skandal Bulog ini bertujuan untuk menjatuhkan Gus Dur?
Itu analisis saya. Misalnya, konstitusi kita memberi ruang Sidang Umum MPR lima tahun sekali. Selain itu, setiap tahun diadakan sidang sekali. Kemudian, orang ngomong tentang sidang istimewa. Padahal, menurut ketetapan MPR, sidang Agustus nanti untuk menyampaikan progress report. Kemudian, soal usulan presiden untuk mencabut Tap MPR soal komunisme. Mengapa kita semua tidak mau berpikir bahwa presiden berpikir sangat-sangat konsepsional. Berangkat dari itu, saya merasa andai kata saya berada di luar dan kembali sebagai teman bukan sebagai pembantu beliau, saya akan jauh lebih punya keleluasaan untuk melakukan dukungan atau melakukan hal-hal yang lebih terbuka lagi daripada saya di dalam.
Tapi, publik akan menilai Anda kalah bertarung?
Kenapa Anda melihat ini sebagai pertarungan? Saya justru melihat keputusan ini untuk membuktikan bahwa siapa pun yang duduk di sini, seperti selalu saya omongkan, hanyalah pembantu presiden. Jadi jangan lagi presiden merasa tidak terbantu, atau malah terganggu oleh kehadiran karena kita. Saya tahu diri, saya tidak ingin presiden saya terganggu.
Jadi, apa yang hendak Anda capai?
Saya ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Saya tidak perlu menyombongkan diri, tapi setidaknya teman-teman tahu tentang saya. Dengan mundur berarti saya menjadi masyarakat biasa. Kalau saya masih dalam posisi pemerintah, dan melakukan pembelaan diri itu wajar. Tapi justru saya akan melakukan pembelaan dari serangan ini ketika saya sudah kembali, tidak menjadi pejabat tapi anggota masyarakat. Orang yang bertahan akan selalu mencari perlindungan yang dipahami sebagai kekuasaan. Dan saya tidak perlu berlindung di mana pun untuk menghadapi persoalan itu.
Dalam skandal Bulog, Anda mengaku sama sekali tidak bersalah. Berniat akan menyerang balik lewat proses hukum?
Persoalannya begini, siapa yang harus saya lakukan tindakan hukum? Misalnya, ada orang menyatakan Mbak Eva adalah saudara saya, apa bisa saya kenakan tindakan hukum. Jadi, ada insinuasi yang sengaja diciptakan. Lalu, dalam pemberitaan skandal Bulog seringkali dikasih tanda tanya. Apa yang mesti harus saya dilakukan. Itu kan bukan tuduhan. Dan Anda sah berbuat semacam itu. Makanya sama-sama kita lihat proses, kalau menyakitkan hati mungkin kita akan tempuh langkah itu.
Sebenarnya, bagaimana posisi Anda di mana dalam kasus Bulog?
Saya tidak tahu-menahu sama sekali (suaranya meninggi, Red.). Pertanyaan itu sangat menyinggung perasaan, kalau Anda mau tahu.
Begini. Sebab, dalam pengakuan tertulis Sapuan, sebelum jebolnya dana Bulog, Anda mengundang dia membicarakan penggunaan dana nonneraca, sekaligus membicarakan keinginan Gus Dur memanfaatkan dana itu untuk penyelesaian soal Aceh. Benar?
Pak Sapuan memang pernah diundang dua kali. Tapi bukan hanya dia, ada Dirjen Bea Cukai, Dirut Pertamina, Dirut PT Timah, dan beberapa pimpinan instansi lain. Tujuannya, selama ini katanya ada dana nonneraca yang sering menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Saya ingin menertibkan, dan bagaimana bisa diamankan dan harusnya semua dimasukkan ke kas negara. Jadi bukan berkaitan dengan persoalan Aceh. Jadi penjelasan Sapuan itu benar. Yang salah kemudian dikait-kaitkan.
Saya juga pernah mengundang Sapuan kembali saat Rizal Ramli akan dilantik sebagai Kabulog. Waktu itu saya ingin memberi saran-saran. Tapi, dia tak datang. Cara mengaitkan saya dengan pengakuan Sapuan itu masih kecil. Yang lebih jahat, pengaitan saya dengan Siti Ferika yang katanya keluarga saya. Dan kebetulan ada aliran uang ke Semarang saat saya ikut kongres PDI, sehingga tuduhannya saya memakai uang untuk kampanye PDI. Jelas sekali semua dicari-cari agar menjadi isu dan rumor.
Menurut Sapuan, Gus Dur sendiri katanya membutuhkan dana nonneraca Bulog itu untuk penyelesaian kasus Aceh. Benar?
Saya tidak tahu soal itu dan tak pernah dengar. Saya tak pernah bicara soal penggunaan dana baik dengan Sapuan maupun pimpinan instansi yang lain. Saya hanya bicara soal bagaimana mengamankan.
Fakta lain, saat Kongres PDI-P di Semarang, begitu banyak spanduk mendukung Anda. Apa sebenarnya proyek Anda dengan PDI Perjuangan?
Tujuan saya hanya satu, untuk menegakkan demokrasi. Demokrasi mutlak memerlukan hadirnya partai politik yang tidak hanya menjadi kendaraan. Saya datang ke Semarang tujuannya ingin mendorong agar PDI-P bisa menjadi partai yang benar. Tak pernah saya mencari dukungan. Justru saya datang untuk menghargai orang yang mendukung saya. Jadi, kecurigaan itu sama sekali salah. Saya tidak pernah memakai tim sukses segala macam apalagi bagi-bagi duit. Spanduk-spanduk itu juga buatan orang yang mendukung, yang tak pernah saya tahu.
Masa nggak pernah ngasih dana untuk semua itu?
O, tabu bagi saya untuk kegiatan semacam itu dengan uang.
Meski sebentar, Anda sempat juga di pusat kekuasaan. Ada yang paling berkesan?
Kita masuk dalam kekuasaan yang saya gambarkan sebagai hotplate. Segala macam rencana yang dulu ada harus menunggu. Harus tetap melihat secara cerdas dan jernih agar kita tidak macet atau tidak terlibat dalam kungkungan sistem yang selama ini dipakai untuk kepentingan penguasa. Kita harus mengubah menjadi sistem yang menjadi berpihak pada rakyat. Dan proses itu ternyata tak sesederhana seperti yang saya bayangkan waktu belum masuk.
Kapok menjadi pejabat?
Yang jelas saya tidak akan kapok berjuang. Apa pun konsekuensinya. Bagi saya, jabatan bukan obsesi dan tujuan. Begitu juga yang terjadi pada Gus Dur. Gus Dur tidak pernah punya cita-cita jadi presiden, tapi kenapa akhirnya jadi. Perjuanganlah yang menghendaki. Ketika saya dipanggil Gus Dur untuk membantu, yang terpikir oleh saya ya inilah konsekuensi perjuangan. Jadi bukan persoalan kapok atau tidak.
Muchlis Ainurrafik
Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 15-2 - 06-06-2000
Peta Baru Siasat Islam
Simbol Laskar Jihad dan strategi perjuangan mereka mengundang protes. Apa dan siapakah mereka?
BIASANYA, ratusan pria berjenggot dan bergamis hilir mudik di sekitar sini,” tutur Kartono, seorang warga di Jalan Kaliurang km 15 Degolan, Yogyakarta. Mereka umumnya sopan dan bertetangga dengan baik. Sekitar 300 meter dari rumah Kartono terdapat sebuah bangunan dengan pekarangan cukup luas. Di atas pintunya terbentang sebuah spanduk bertuliskan, “Posko Pusat Mobilisasi Jihad”.
Sudah lebih seminggu kantor Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (DPP FK-ASWJ), yang sekaligus jadi Markas Laskar Jihad, itu ditinggal penghuninya. “Semua laki-laki di sini ikut latihan gabungan di Bogor, Mas,” tutur Abdul Fatah, salah seorang pimpinan laskar yang menjaga posko.
Bangunan posko itu sesungguhnya sederhana. Di atas lantai hanya terhampar karpet biru tipis lusuh. Di sudutnya terdapat satu unit komputer lengkap dengan printer dan mesin faksimile. Di pojok lain bertumpuk sejumlah kardus. “Itu pakaian yang rencananya akan kami kirim ke Ambon,” sambung Abdul Fatah. Di sebelah kiri posko terdapat bangunan khusus untuk perempuan. Di situlah para istri anggota dan para tamu perempuan diterima. Komunikasi kaum lelaki dan perempuan dibatasi pintu. Pesawat telepon pun diparalel.
Beberapa meter di sudut lain, terdapat sebuah masjid dengan nama Usman bin Affan. Di masjid itulah Jafar Umar Thalib -Panglima Laskar Jihad, sekaligus Pimpinan FK-ASWJ- memimpin pesantren Ihyaussunnah. Tidak ada lagi bangunan lain.
Meski terlihat sederhana, keberadaan mereka menyentak langit kesadaran keagamaan dan kebangsaan di Tanah Air dalam dua pekan terakhir. Parade yang dipentaskan Laskar Jihad di Ibu Kota, bahkan sempat langsung masuk ke Istana, tak pelak memicu perang urat saraf. Akhir pekan lalu, ketegangan itu memang akhirnya mereda. Hal tersebut diawali penyerahan sekitar 480 bilah senjata kepada aparat, dan sekitar 3.000 anggota laskar akhirnya bersedia menghentikan latihan gabungan, meninggalkan kawasan Tanah Sareal Bogor.
Namun, berbagai tudingan miring tak pelak muncul. “Mereka itu orang-orang bayaran,” tuding Ali Machsan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. “Mereka membawa-bawa paham ahlussunnah wal jamaah, padahal tidak relevan. Dalam hal strategi juga lemah,” timpal Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi. “Saya yakin ini semua manuver politik. Pasti ada sponsor di belakangnya,” tambah Ali Machsan. Siapa sponsor dimaksud, Ali Machsan enggan menyebut. “Yang jelas, ada hubungannya dengan elite-elite politik yang tak sepakat dengan Gus Dur,” tandas Ali.
Penggunaan simbol ahlussunnah wal jamaah pun diprotes keras. “Yang jelas, NU tidak setuju dengan penggunaan kata-kata “ahlussunnah wal jamaah” untuk sikap-sikap keras seperti mereka. Silakan klaim sendiri, tidak usah membawa-bawa nama ahlussunnah wal jamaah,” tegas K.H. Hasyim Muzadi. Paham ahlussunnah wal jamaah adalah metode pemahaman keagamaan yang menekankan moderasi. “Garis perjuangannya lebih menekankan persuasi, bukan mengembangkan sikap-sikap keras seperti mereka,” tandas Hasyim. Karena itu, Hasyim mengecam penggunaan simbol tersebut. “Tindakan itu jelas tidak relevan,” tegas Hasyim.
Laskar Jihad juga lemah dalam soal strategi. “Agitasi-agitasi soal Ambon di luar Ambon justru hanya akan menciptakan Ambon-Ambon baru,” tutur Hasyim. Hasyim menyebut contoh kerusuhan Mataram. “Apa yang terjadi? Masyarakat akhirnya bentrok sendiri. Akibatnya, ekonomi lumpuh, rakyat menganggur, dan sebagian besar mereka justru kaum muslim,” tandas Hasyim. “Gerakan-gerakan itu memang membawa nama Islam. Tapi, karena salah strategi, malah merusak umat Islam.” Kabarnya, lewat Menteri Agama Tolchah Hasan, sejumlah negara di Timur Tengah berkeberatan dengan simbol-simbol Arab yang digunakan Laskar Jihad.
Siapakah Jafar Umar Thalib dan laskar yang dipimpinnya? Menarik dicermati. Watak militan dan persinggungan Jafar dengan politik rupanya sudah mendarah daging. Lahir di Malang, 29 Desember 1961, Umar Thalib adalah anak seorang keturunan Yaman. Kakek Jafar datang ke Indonesia dan menikah dengan putri seorang lurah di Sumenep. Pendidikan formal Jafar hanya selesai sampai tingkat Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Malang. Itu pun tidak tamat. Jafar lalu nyantri di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil (1983-1985). Lepas dari Persis, Jafar melanjutkan ke Lembaga Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) Jakarta, hanya satu setengah tahun. Dari LIPIA, Jafar menimba ilmu ke Pakistan, di Maududi Institute. Di lembaga itu Jafar hanya bertahan setahun. Selama dua-tiga tahun berikutnya, ia bergabung dengan Mujahidin Afghanistan untuk melawan Rusia.
Kembali ke Indonesia pada 1989, Jafar langsung bergabung membina pesantren Al-Irsyad di Tengaran, Salatiga. Ia kemudian tersingkir dari Al-Irsyad. Lima tahun kemudian, 1994, Jafar membangun pesantrennya sendiri, Pesantren Ihyaussunnah, di Desa Degolan, di wilayah Kabupatan Sleman, Yogyakarta.
Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal jamaah baru muncul 1998, masa ketika pergolakan politik nasional berlangsung keras. “Pertama-tama hanya untuk mengurus pengajian dan tablig akbar,” tutur Jafar. Tapi, kegiatan yang disebut Jafar, dalam konteks pergolakan politik di tahun 1998, jelas perlu digarisbawahi. “Waktu itu, kita tampil untuk menanggapi berbagai praktik premanisme politik yang melakukan tekanan terhadap pemerintahan B.J. Habibie,” sambung Jafar. Dalam kasus serangan balik terhadap A.M. Saefuddin, yang sempat mendapat tekanan keras dari basis pendukung Megawati, terutama di Bali, massa Jafar pulalah yang tampil lantang membela A.M. Saefuddin.
Ikhwal inilah yang lalu menjadi sorotan tajam. Laskar Jihad, setelah dikaitkan dengan nama-nama seperti Hariman Siregar dan Eggy Sudjana, lalu dituding menjadi kaki tangan mantan rezim B.J. Habibie. Benarkah? “Kami tidak berpolitik. Kami independen. Kami mendukung B.J. Habibie bukan sebagai pribadi. Yang kami lawan adalah koalisi anti-Islam. Lagi pula, tidak seorang pun dari kami yang terkait barang serambut dengan ICMI,” tegas Jafar.
Dana pengerahan Laskar Jihad yang mencapai sekitar Rp 700 juta, lanjut Jafar, juga tidak secuil pun yang berasal dari Habibie, apalagi keluarga Cendana. “Kami haram mengambil sumbangan dari mereka yang bermasalah. Itu berarti kami harus masuk ke kandang macan,” sambung Jafar. Dari mana dana sebesar itu diperoleh, Jafar menyebut sejumlah donatur pribadi dari Timur Tengah. Sumbangan besar juga diperoleh dari Kongres Aktivis Ahlul-Quran Wal-Sunnah di New Jersey, yang berlangsung pada 6-8 April lalu. “Bantuan juga datang dari umat Islam di Malaysia dan Singapura,” tambah Jafar.
Latar dari seluruh bangunan militansi yang diusung Jafar ternyata satu: analisisnya bahwa seluruh proses reformasi berujung pada proses de-Islam-isasi. “Dari kasus pembantaian para kiai di Banyuwangi, berbagai kerusuhan di Ambon, Sambas, hingga tampilnya pemerintahan Presiden Gus Dur sesungguhnya adalah proses panjang de-Islam-isasi di Tanah Air,” tegas Jafar. “Itulah yang membangkitkan amarah kami. Kami semata-mata harus tampil membela Islam,” tandas Jafar. Malah, dibanding rezim Orde Baru, Jafar melihat proses de-Islam-isasi yang berlangsung pada era reformasi ini cenderung lebih kasar.
Terhadap berbagai serangan yang menuding kelompoknya telah menyalah-gunakan istilah ahlussunnah waljamaah, Jafar hanya tersenyum. “Mestinya warga NU tidak perlu tersinggung,” tutur Jafar tenang. Istilah itu bisa berbeda isi dan pengertian. “Tergantung siapa yang menafsirkan,” katanya. Di mata Jafar, NU mengambil paham itu dari sisi akidah (teologi) Asyariyah, dari sisi mazhab fikih Syafii dan dari sisi tarikat/tasawufnya. “Paham ahlussunnah wal jamaah yang kami ikuti sesuai ajaran dan sunah Nabi. Itu saja. Waljamaah itu artinya sunah Nabi berdasarkan penafsiran Al-Jamaah: para sahabat Nabi yang empat orang (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali),” tandas Jafar menambahkan.
Termasuk dalam sunah Nabi itu adalah pakaian gamis. “Ya, memang beginilah cara Nabi berpakaian,” sambung Jafar. Jafar beristrikan empat orang. Satu di antaranya telah dicerai. “Kami meneladani semua perilaku Rasulullah. Meneladani berarti mencintai,” tandas Jafar. Jafar mengaku pengikutnya saat ini sekitar 50-70.000 orang. Di Pulau Jawa saja sudah berdiri 21 kantor DPW (Dewan Perwakilan Wilayah) FK-ASWJ. Di luar Jawa, aktivis FK-ASWJ ini sudah menyebar di Medan, Padang, Lampung, Jambi, Riau, Batam, Kalimantan Selatan, Kaltim, Sulsel, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
Setuju atau tidak, Laskar Jihad telah membuka lembaran baru peta politik Islam di Tanah Air. Dan, akhir pekan lalu, setelah selama sepekan pasukan Jafar latihan di Desa Kayumanis, Tanah Sareal, Bogor -bahkan diprotes keras Aliansi Jurnalis Indonesia karena sikap arogansinya- mereka meninggalkan desa itu dengan manis: menyerahkan senjata serta bersama penduduk membersihkan selokan, membuat sumur musala, dan memberi pelayanan pengobatan cuma-cuma. Damai dan selamat. Mestinya, itulah Islam.
Muchlis Ainurrafik, Bondan Prasodjo (Yogyakarta), Fendri Jaswir (Pekan Baru), dan Munawar Kasan (Surabaya)
Dimuat Majalah GAMMA, Nomor: 09-2 - 25-04-2000
BIASANYA, ratusan pria berjenggot dan bergamis hilir mudik di sekitar sini,” tutur Kartono, seorang warga di Jalan Kaliurang km 15 Degolan, Yogyakarta. Mereka umumnya sopan dan bertetangga dengan baik. Sekitar 300 meter dari rumah Kartono terdapat sebuah bangunan dengan pekarangan cukup luas. Di atas pintunya terbentang sebuah spanduk bertuliskan, “Posko Pusat Mobilisasi Jihad”.
Sudah lebih seminggu kantor Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (DPP FK-ASWJ), yang sekaligus jadi Markas Laskar Jihad, itu ditinggal penghuninya. “Semua laki-laki di sini ikut latihan gabungan di Bogor, Mas,” tutur Abdul Fatah, salah seorang pimpinan laskar yang menjaga posko.
Bangunan posko itu sesungguhnya sederhana. Di atas lantai hanya terhampar karpet biru tipis lusuh. Di sudutnya terdapat satu unit komputer lengkap dengan printer dan mesin faksimile. Di pojok lain bertumpuk sejumlah kardus. “Itu pakaian yang rencananya akan kami kirim ke Ambon,” sambung Abdul Fatah. Di sebelah kiri posko terdapat bangunan khusus untuk perempuan. Di situlah para istri anggota dan para tamu perempuan diterima. Komunikasi kaum lelaki dan perempuan dibatasi pintu. Pesawat telepon pun diparalel.
Beberapa meter di sudut lain, terdapat sebuah masjid dengan nama Usman bin Affan. Di masjid itulah Jafar Umar Thalib -Panglima Laskar Jihad, sekaligus Pimpinan FK-ASWJ- memimpin pesantren Ihyaussunnah. Tidak ada lagi bangunan lain.
Meski terlihat sederhana, keberadaan mereka menyentak langit kesadaran keagamaan dan kebangsaan di Tanah Air dalam dua pekan terakhir. Parade yang dipentaskan Laskar Jihad di Ibu Kota, bahkan sempat langsung masuk ke Istana, tak pelak memicu perang urat saraf. Akhir pekan lalu, ketegangan itu memang akhirnya mereda. Hal tersebut diawali penyerahan sekitar 480 bilah senjata kepada aparat, dan sekitar 3.000 anggota laskar akhirnya bersedia menghentikan latihan gabungan, meninggalkan kawasan Tanah Sareal Bogor.
Namun, berbagai tudingan miring tak pelak muncul. “Mereka itu orang-orang bayaran,” tuding Ali Machsan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. “Mereka membawa-bawa paham ahlussunnah wal jamaah, padahal tidak relevan. Dalam hal strategi juga lemah,” timpal Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi. “Saya yakin ini semua manuver politik. Pasti ada sponsor di belakangnya,” tambah Ali Machsan. Siapa sponsor dimaksud, Ali Machsan enggan menyebut. “Yang jelas, ada hubungannya dengan elite-elite politik yang tak sepakat dengan Gus Dur,” tandas Ali.
Penggunaan simbol ahlussunnah wal jamaah pun diprotes keras. “Yang jelas, NU tidak setuju dengan penggunaan kata-kata “ahlussunnah wal jamaah” untuk sikap-sikap keras seperti mereka. Silakan klaim sendiri, tidak usah membawa-bawa nama ahlussunnah wal jamaah,” tegas K.H. Hasyim Muzadi. Paham ahlussunnah wal jamaah adalah metode pemahaman keagamaan yang menekankan moderasi. “Garis perjuangannya lebih menekankan persuasi, bukan mengembangkan sikap-sikap keras seperti mereka,” tandas Hasyim. Karena itu, Hasyim mengecam penggunaan simbol tersebut. “Tindakan itu jelas tidak relevan,” tegas Hasyim.
Laskar Jihad juga lemah dalam soal strategi. “Agitasi-agitasi soal Ambon di luar Ambon justru hanya akan menciptakan Ambon-Ambon baru,” tutur Hasyim. Hasyim menyebut contoh kerusuhan Mataram. “Apa yang terjadi? Masyarakat akhirnya bentrok sendiri. Akibatnya, ekonomi lumpuh, rakyat menganggur, dan sebagian besar mereka justru kaum muslim,” tandas Hasyim. “Gerakan-gerakan itu memang membawa nama Islam. Tapi, karena salah strategi, malah merusak umat Islam.” Kabarnya, lewat Menteri Agama Tolchah Hasan, sejumlah negara di Timur Tengah berkeberatan dengan simbol-simbol Arab yang digunakan Laskar Jihad.
Siapakah Jafar Umar Thalib dan laskar yang dipimpinnya? Menarik dicermati. Watak militan dan persinggungan Jafar dengan politik rupanya sudah mendarah daging. Lahir di Malang, 29 Desember 1961, Umar Thalib adalah anak seorang keturunan Yaman. Kakek Jafar datang ke Indonesia dan menikah dengan putri seorang lurah di Sumenep. Pendidikan formal Jafar hanya selesai sampai tingkat Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Malang. Itu pun tidak tamat. Jafar lalu nyantri di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil (1983-1985). Lepas dari Persis, Jafar melanjutkan ke Lembaga Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) Jakarta, hanya satu setengah tahun. Dari LIPIA, Jafar menimba ilmu ke Pakistan, di Maududi Institute. Di lembaga itu Jafar hanya bertahan setahun. Selama dua-tiga tahun berikutnya, ia bergabung dengan Mujahidin Afghanistan untuk melawan Rusia.
Kembali ke Indonesia pada 1989, Jafar langsung bergabung membina pesantren Al-Irsyad di Tengaran, Salatiga. Ia kemudian tersingkir dari Al-Irsyad. Lima tahun kemudian, 1994, Jafar membangun pesantrennya sendiri, Pesantren Ihyaussunnah, di Desa Degolan, di wilayah Kabupatan Sleman, Yogyakarta.
Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal jamaah baru muncul 1998, masa ketika pergolakan politik nasional berlangsung keras. “Pertama-tama hanya untuk mengurus pengajian dan tablig akbar,” tutur Jafar. Tapi, kegiatan yang disebut Jafar, dalam konteks pergolakan politik di tahun 1998, jelas perlu digarisbawahi. “Waktu itu, kita tampil untuk menanggapi berbagai praktik premanisme politik yang melakukan tekanan terhadap pemerintahan B.J. Habibie,” sambung Jafar. Dalam kasus serangan balik terhadap A.M. Saefuddin, yang sempat mendapat tekanan keras dari basis pendukung Megawati, terutama di Bali, massa Jafar pulalah yang tampil lantang membela A.M. Saefuddin.
Ikhwal inilah yang lalu menjadi sorotan tajam. Laskar Jihad, setelah dikaitkan dengan nama-nama seperti Hariman Siregar dan Eggy Sudjana, lalu dituding menjadi kaki tangan mantan rezim B.J. Habibie. Benarkah? “Kami tidak berpolitik. Kami independen. Kami mendukung B.J. Habibie bukan sebagai pribadi. Yang kami lawan adalah koalisi anti-Islam. Lagi pula, tidak seorang pun dari kami yang terkait barang serambut dengan ICMI,” tegas Jafar.
Dana pengerahan Laskar Jihad yang mencapai sekitar Rp 700 juta, lanjut Jafar, juga tidak secuil pun yang berasal dari Habibie, apalagi keluarga Cendana. “Kami haram mengambil sumbangan dari mereka yang bermasalah. Itu berarti kami harus masuk ke kandang macan,” sambung Jafar. Dari mana dana sebesar itu diperoleh, Jafar menyebut sejumlah donatur pribadi dari Timur Tengah. Sumbangan besar juga diperoleh dari Kongres Aktivis Ahlul-Quran Wal-Sunnah di New Jersey, yang berlangsung pada 6-8 April lalu. “Bantuan juga datang dari umat Islam di Malaysia dan Singapura,” tambah Jafar.
Latar dari seluruh bangunan militansi yang diusung Jafar ternyata satu: analisisnya bahwa seluruh proses reformasi berujung pada proses de-Islam-isasi. “Dari kasus pembantaian para kiai di Banyuwangi, berbagai kerusuhan di Ambon, Sambas, hingga tampilnya pemerintahan Presiden Gus Dur sesungguhnya adalah proses panjang de-Islam-isasi di Tanah Air,” tegas Jafar. “Itulah yang membangkitkan amarah kami. Kami semata-mata harus tampil membela Islam,” tandas Jafar. Malah, dibanding rezim Orde Baru, Jafar melihat proses de-Islam-isasi yang berlangsung pada era reformasi ini cenderung lebih kasar.
Terhadap berbagai serangan yang menuding kelompoknya telah menyalah-gunakan istilah ahlussunnah waljamaah, Jafar hanya tersenyum. “Mestinya warga NU tidak perlu tersinggung,” tutur Jafar tenang. Istilah itu bisa berbeda isi dan pengertian. “Tergantung siapa yang menafsirkan,” katanya. Di mata Jafar, NU mengambil paham itu dari sisi akidah (teologi) Asyariyah, dari sisi mazhab fikih Syafii dan dari sisi tarikat/tasawufnya. “Paham ahlussunnah wal jamaah yang kami ikuti sesuai ajaran dan sunah Nabi. Itu saja. Waljamaah itu artinya sunah Nabi berdasarkan penafsiran Al-Jamaah: para sahabat Nabi yang empat orang (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali),” tandas Jafar menambahkan.
Termasuk dalam sunah Nabi itu adalah pakaian gamis. “Ya, memang beginilah cara Nabi berpakaian,” sambung Jafar. Jafar beristrikan empat orang. Satu di antaranya telah dicerai. “Kami meneladani semua perilaku Rasulullah. Meneladani berarti mencintai,” tandas Jafar. Jafar mengaku pengikutnya saat ini sekitar 50-70.000 orang. Di Pulau Jawa saja sudah berdiri 21 kantor DPW (Dewan Perwakilan Wilayah) FK-ASWJ. Di luar Jawa, aktivis FK-ASWJ ini sudah menyebar di Medan, Padang, Lampung, Jambi, Riau, Batam, Kalimantan Selatan, Kaltim, Sulsel, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
Setuju atau tidak, Laskar Jihad telah membuka lembaran baru peta politik Islam di Tanah Air. Dan, akhir pekan lalu, setelah selama sepekan pasukan Jafar latihan di Desa Kayumanis, Tanah Sareal, Bogor -bahkan diprotes keras Aliansi Jurnalis Indonesia karena sikap arogansinya- mereka meninggalkan desa itu dengan manis: menyerahkan senjata serta bersama penduduk membersihkan selokan, membuat sumur musala, dan memberi pelayanan pengobatan cuma-cuma. Damai dan selamat. Mestinya, itulah Islam.
Muchlis Ainurrafik, Bondan Prasodjo (Yogyakarta), Fendri Jaswir (Pekan Baru), dan Munawar Kasan (Surabaya)
Dimuat Majalah GAMMA, Nomor: 09-2 - 25-04-2000
Rhoma Irama: Assalamu'alaikum, Saya Numpang Jihad
Tabloid Paron No. 21, 28 September 1996
Raden Haji Oma Irama, lebih dikenal sebagai Rhoma Irama, membuktikan dirinya tetap seorang "raja". Rhoma adalah "Satria Bergitar" yang –menurut William H. Frederick, sosiolog dari Universitas Ohio, Amerika Serikat– mampu menggoyang sekitar 15 juta penggemarnya di tanah air. Ketika terjun menjadi juru kampanye PPP pada 1977, partai berlambang Ka’bah –ketika itu– menyabet 26,70% suara di DKI, mengungguli Golkar. Sekali lagi Rhoma menyemarakkan Partai bintang pada Pemilu 1982.
Setelah itu, Rhoma, kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, seperti surut dari hingar-bingar panggung politik. Ia memilih netral: "tak di mana-mana, tapi di mana-mana" –meminjam istilah da’i kondang Zainuddin MZ, sahabat Rhoma. Sikap itu diambilnya setelah ia mengalami pencekalan: Rhoma dan Soneta (grup musiknya) tak boleh tampil di TVRI. Ketika itu TVRI masih satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.
Tapi, surutnya Rhoma di panggung politik tak menyurutkan langkahnya di panggung hiburan. Pentas musiknya tetap dibanjiri penggemar. Musik Soneta sendiri ia proklamirkan sebagai "voice of moslem". Film-filmnya masuk box office.
Rhoma kembali membuat berita ketika tiba-tiba namanya tercantum dalam nomor jadi calon legislatif (caleg) Golkar untuk wilayah DKI. Keputusan ini tentu saja mengejutkan. Orang pun bertanya-tanya.
Kepada Mursidi Hartono, Muchlis Ainurrafik, Aris Mohpian Pumuka, Yani Winarni, dan fotografer Kushindarto dari Paron, Rhoma menjawab semua gunjingan itu. Suaranya pelan, kutipan ayat-ayat Alqur'an meluncur dengan fasih di sela-sela jawabannya. Sebuah tasbih kecil tak lepas dari tangannya. Wawancara berlangsung dua kali, Senin dan Selasa pekan lalu, di studionya di kawasan Depok, Jawa Barat. Petikannya:
Apa yang melatarbelakangi Anda terjun ke dunia politik?
Sebetulnya politik itu salah satu fitrah manusia. Manusia itu makhluk politik. Yang membuat saya interes pada politik, katakanlah keberpihakan saya pada PPP dulu, karena motif agama.
Maksudnya?
Islam itu, sebagaimana firman Allah, alyauma akmaltu lakum dinakum (hari ini telah Aku sempurnakan agamamu). Jadi, Islam itu agama yang sempurna. Dan politik adalah bagian dari ke-kaaffah-an kita dalam beragama. Soal besar-kecilnya kegiatan politik saya, ya itu tergantung situasi dan kondisi.
Panggilan agama itukah yang dulu membuat Anda menjadi juru kampanye PPP?
Saya melihat, dulu, di sana (PPP) ada asas Islam. Islam berjuang. Saat itu saya merasa wajib hukumnya mendukung PPP. Islam itu kan luas, di dalamnya terkait demokrasi, Pancasila, dan lainnya. Itulah motivasi saya ke PPP. Tapi, saya tak perlu merasa "masuk" ke dalam partai. Kini pun saya tidak merasa "keluar" dari PPP. Saya kan tidak pernah menjadi fungsionaris partai, tidak menjadi anggota PPP. Istilahnya, saya di sana hanya numpang jihad.
Tapi, gara-gara aktif di PPP ruang gerak Anda jadi dibatasi?
Saya out, keluar, karena saya tidak punya motivasi lagi. Itu hampir sepuluh tahun.
Mengapa?
Saya ingin mengambil bagian dalam pengembangan ukhuwah Islamiyah, tanpa harus membawa simbol sebuah partai. Kondisi ukhuwah Islamiyah saat itu sangat parah. Bahkan ada kecenderungan saling mengkafirkan. Ada semacam gap antara umat Islam PPP dan Islam Golkar. Nah, setelah asas tunggal, Golkar mengajak saya untuk masuk. Itu pada tahun 1987.
Tanggapan Anda atas ajakan Golkar?
Waktu itu saya jawab, "Perkenankanlah saya berdiri netral agar dapat menjadi mediator bagi umat Islam." Gap yang terjadi pada 1982 kan masih terasa. Saya melihat perlu ada orang-orang netral yang menjembatani keduanya, untuk membangun kesatuan dan persatuan nasional. Persatuan dan kesatuan nasional mutlak memerlukan ukhuwah Islamiyah, karena Islam menjadi mayoritas dari bangsa ini.
Lalu, alasan Anda menerima tawaran Golkar sekarang ini?
Sekarang ini tidak ada lagi partai Islam. Dan saya melihat komitmen keislaman Golkar sangat baik dibanding dulu. Saat ini Golkar cukup kondusif menciptakan kehidupan keagamaan, terutama bagi perkembangan Islam. Ini dirasakan umat.
Siapa yang menawari Anda masuk Golkar?
Seorang perwira tinggi ABRI. Masih aktif (ketika Paron menyodorkan dua nama perwira tinggi ABRI, seorang mayor jenderal dan seorang jenderal yang dikenal akrab dengan Rhoma, ia cuma tersenyum). Beliau menelepon langsung, dan bilang, "Apakah Anda bersedia mengoptimalkan, memaksimalkan, dan mengamalkan potensi yang ada pada Anda untuk bangsa dan negara?"
Kabarnya Anda kenal dekat dengan "beliau"?
Ya, saya kenal baik. Sebelum ini, saya dan "beliau" sudah sering dialog.
Menurut Anda, mengapa Golkar menawari Anda menjadi calegnya?
Pertanyaan itu bukan untuk saya. Saya hanya bisa meraba-raba. Tapi, itu tidak etis saya ungkapkan. Seharusnya merekalah yang menjelaskan. Kalau saya juga yang menjawab, itu onani, dong.
Anda hanya perlu waktu 45 menit untuk mengatakan "ya". Begitu cepat?
Tidak secepat itu. Enam tahun saya mempertimbangkan tawaran mereka. Waktu 45 menit itu hanya untuk mengatakan "oke".
Ketika Anda memutuskan untuk gabung dengan Golkar, apakah ada tanggapan dari orang-orang PPP?
Saya tidak perlu tanggapan mereka, dan memang mereka tidak ada yang menaggapinya. Mereka tahu motivasi saya berada di PPP. Saya katakan sejak awal, "Assalamu’alaikum, saya numpang jihad di sini." Motivasi saya hanya satu: amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Selain itu, juga karena tidak ada sesuatu pun yang saya minta dari PPP. Saya tidak dibayar, tidak diberi jabatan, bahkan saya harus membayar.
Oh, begitu ya….
Saya kampanye biaya sendiri, dan besar itu….
Sebagai mantan sahabat PPP, Anda tak menghubungi mereka ketika mengambil keputusan menerima tawaran Golkar?
Mana ada mantan sahabat. Sahabat itu dunia-akhirat. Dan PPP itu teman saya dunia-akhirat, kalau komitmen mereka juga dunia-akhirat, yaitu izzul Islam wal Muslimin. Artinya, kalau orang berbicara soal Islam, tentu komitmennya sama. Yang berbeda kan pilihan taktik dan strateginya. Tapi, jangan karena pilihan ini kita menjadi terkotak-kotak. Makanya saya tidak ingin membuat polemik dengan teman-teman PPP. Dan bagi saya, tidak ada istilah lawan politik. Yang ada, mitra politik.
PPP mengklaim membawa aspirasi umat Islam, demikian juga Golkar. Tapi, kenapa yang Anda pilih Golkar?
Saya memang melihat hal itu di PPP. Tapi, kesempatan yang dimiliki tidak sebesar Golkar. Saya nilai, PPP kurang efektif.
Anda mengatakan Golkar lebih kondusif menciptakan suasana keagamaan. Contohnya?
Dulu, di berbagai instansi Pemerintah, jangankan ada orang yang membawa sajadah dan salat, mengucapkan salam saja sudah dicurigai…. Ini orang PPP, nih…. Orang lalu takut mengucapkan salam, takut salat, takut naik haji. Setelah Pak Harto pergi haji, kehidupan agama begitu semarak. Di elit penguasa, di tiga jalur Golkar, kita lihat sekarang komitmen agama ini begitu kental. Di bulan Ramadan, tidak ada pejabat yang tidak mengadakan tarawih, tidak ada juga pejabat yang tidak mempunyai majelis taklim.
Itu yang Anda sebut sebagai sistem kondusif?
Kalau itu dilakukan secara serempak dari rakyat kecil sampai Presiden, saya rasa tulus. Kegiatan-kegiatan itu bukan lagi dipandang sebagai kewajiban, tapi mereka begitu asyik menikmati kehidupan beragama tersebut. Ini adalah suatu hidayah, bukan rekayasa. Mana bisa hidayah direkayasa.
PPP menang di DKI ketika Anda menjadi juru kampanye pada 1977. Kabarnya Golkar kini merekrut Anda karena ingin meraih suara mayoritas di DKI?
Kalau saya sih positive thinking saja. Kalau ada yang berpikir begitu, ya saya bersyukur. Karena kata Nabi, khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau saya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, why not? Saya tahu, itu memang salah satu alasan Golkar menarik saya. Bagi Golkar sendiri, buat apa menarik orang yang tidak potensial.
Anda yakin bisa memenangkan Golkar seperti Anda memenangkan PPP dulu?
Keyakinan dan optimisme itu mutlak menjadi pakaian kita. Kalau nggak yakin menang di Jakarta, ngapain.
Dalam kampanye 1977, Anda pernah mengatakan, orang Islam yang tidak mendukung partai Islam atau perjuangan Islam karena takut kehilangan kedudukan, itu munafik. Anda ingat?
Ya, orang Islam yang tidak ingin Islam maju, itu munafik. Tapi, setelah asas tunggal, sekarang ini kan tidak ada partai Islam. Dalam kampanye 1977 itu saya menggunakan ayat la yattakhidz al-mu’minin al-kafirin awliya’a min dunil mu’minin. Jangan seorang mukmin itu mengambil orang kafir untuk menjadi pemimpin.
Kalau ayat yang akan Anda bawa untuk kampanye 1997?
(Tertawa) Ya, barangkali wa’tashimu bihablillah jami’a wala tafarraqu. Berpegang teguhlah pada tali ajaran Allah, dan janganlah bercerai-berai.
Anda pernah dicekal tampil di TVRI. Bagaimana ceritanya?
Ya, memang. Tak ada surat resmi pencekalan, tapi saya merasakan. Dari tahun 1977 sampai 1982, saya memang pendukung PPP. Itu konsekuensi logis dalam perjuangan. Saya merasa pengorbanan itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Pencekalan itu terlalu ringan. Dan yang membuat saya bahagia, karena motivasi dan komitmen saya untuk Islam tidak pernah berubah. Saya tetap mantap, tidak ragu-ragu.
Waktu pecah "Peristiwa Priok 1984", Anda sempat ditahan di Kodam Jaya. Anda memang punya hubungan dengan peristiwa itu?
Gimana, ya. Dibilang ditahan nggak, tapi nggak ditahan kok nggak pulang selama 42 hari. Cuma tidak masuk dalam sel. Saya ditempatkan dalam satu ruang, diberi tempat tidur. Saya cuma dimintai keterangan.
Keterangan apa saja?
Saya ditanya tentang keterlibatan saya dalam peristiwa itu. Tapi, ya tidak ada apa-adanya karena saya memang tidak tahu-menahu. "Peristiwa Priok" itu, menurut saya, merupakan spontanitas, tidak direncanakan, tidak ada planning. Pada saat kejadian, saya sedang syuting film Pengabdian di Pasuruan (Jawa Timur). Jangankan saya, Salim Kadar, teman Amir Biki, yang ada di Jakarta pun tidak tahu.
Salim saat itu tanya kepada Amir Biki. "Ada apa ini?" Amir Biki jawab, "Lihat saja nanti." Jadi Salim sendiri yang berada di lokasi (Tanjung Priok) tidak ngerti. Itu memang benar-benar spontanitas Amir Biki.
Jadi?
Waktu itu saya sekadar dimintai keterangan, karena saya memang dekat sekali dengan Amir Biki.
Sejak kapan Anda kenal Amir Biki?
Kami sama-sama di PPP….
Lengkingan mandolin dan hentakan ketipun dari studio menembus ruang kerja Rhoma. Sore itu sebenarnya Rhoma sudah ditunggu anak buahnya di Soneta Group untuk latihan persiapan pentasnya di Malaysia. Rhoma datang ke studionya dengan mobil Cherokee warna biru tua yang dikemudikan sendiri. Begitu turun, seluruh personel berdiri menyambutnya, mengucapkan salam "Assalamu’alaikum", dan mencium tangannya.
Rhoma seperti kiai di awak Soneta. Tak hanya anak band, tapi juga karyawan dan para tamu memanggilnya dengan sebutan "Pak Haji". Setidaknya, sepuluh di antara 14 anggota Soneta ia biayai naik haji. Aroma Islam memang sangat kental melingkupi markas Soneta. Bukan saja seluruh dindingnya dicat warna hijau dan tempelan kaligrafi di mana-mana. Setiap personil juga biasa saling mengingatkan, "Sudah salat atau belum?"
Sementara salam Islam bersahutan, di halaman belakang studio ada sepasang kijang sedang merumput. Di belakangnya lagi, ada bangunan tempat menyimpan peralatan pentas. Setiap ada undangan manggung, Rhoma selalu membawa peralatan sendiri, mulai dari lighting, sound system, dan keperluan artistik panggung. "Jumlahnya mencapai tujuh truk," kata Haji Usman, pemain keyboard Soneta.
Kalau Anda sudah di DPR, bagaimana masa depan Soneta?
Tetap. Bahkan akan lebih saya intensifkan. Karena Soneta itu power Rhoma Irama. Selama ini saya banyak waktu luang. Dari pagi sampai pukul satu siang, misalnya, saya free. Biasanya saya pakai untuk membaca. Jadi aktivitas saya nanti di DPR tidak akan mengambil waktu saya bermain musik dan aktivitas dakwah.
Apa tidak lucu, anggota DPR naik panggung, pegang gitar, dan berdangdut-ria?
Saya tetap seorang musisi, bukan politisi. Musik itulah senjata saya untuk membangun bangsa ini. Lewat musik saya berjuang. Jangan sampai orang yang duduk dalam legislator tidak sesuai dengan bidangnya. Makanya, di DPR nanti saya akan masuk ke komisi yang membawahi masalah budaya, jangan masuk bidang luar negeri, misalnya. Jadi, the right man on the right place. Kalau kita duduk di bidang yang tidak dikuasai, namanya badut politik.
Anda sudah punya konsep dan program yang akan disampaikan kalau duduk di DPR nanti?
Belum sampai sanalah. Tapi, mungkin saya akan mengajak untuk mengantisipasi ancaman globalisasi, baik dalam bidang aqidah maupun budaya.
Bagaimana Anda melihat ancaman globalisasi bagi musik kita?
Oh, sangat dahsyat. Banyak sekali muatan budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita. Budaya kita, sesuai dengan Pancasila, kan harus bernilai ketuhanan, kemanusiaan, dan sebagainya. Kalau tidak mempunyai nilai-nilai seperti itu kan berarti bertentangan. Contohnya, Hong Sui. Itu kan kita kecolongan. Hong Sui kan pandangan Cina yang menurut ajaran Islam khurafat takhayul.
Berapa Anda dibayar untuk sekali pentas?
Kalau bayaran relatif. Yang jelas, biaya operasionalnya saja paling sedikit Rp50 juta. Jadi, bayarannya tentu di atas angka itu.
Apakah personel Soneta Anda wajibkan masuk Golkar?
Dengan sendirinya demikian. Karena hakikatnya, kami adalah satu, Rhoma adalah Soneta, Soneta adalah Rhoma. Jadi, dalam segala hal kami seiring-sejalan, sekata.
Bagaimana bila ada satu yang memilih lain?
Tidak. Tidak ada. Ini sudah komitmen bersama. Saya katakan pada mereka, selama saya berada di jalan Allah, patuhlah. Dan bila saya menyimpang dari jalan Allah, tegurlah.
Anda menempatkan diri sebagai "imam" di Soneta?
Ya, selagi saya berada di jalan Allah.
Anda menganggap masuknya Anda ke DPR sebagai jalan Allah?
Ya, sesuai dengan niat saya.
Dalam kampanye-kampanye nanti Soneta juga dilibatkan?
Jelas, karena Soneta adalah senjata saya. Soneta adalah power saya dan Soneta adalah pakaian kebesaran saya. Jadi, kalau saya jadi legislator, bukan berarti saya akan meninggalkan atau mengecilkan peran Soneta. Soneta akan saya jadikan benteng dari budaya-budaya asing. Soneta harus bisa mengikuti perkembangan musik dunia, sehingga mampu bersaing dengan grup-grup musik luar.
Musik Soneta kan juga mengambil unsur asing. Ada warna rock dan hentakan perkusi India, misalnya?
Kalau saya mengambil unsur rock, misalnya, itu semata strategi, agar musik dangdut tetap bisa kompetitif dengan musik lain. Seperti juga tentang masalah lighting, sound system, dan penataan artistik panggung.
Lalu apa bedanya antara musik Anda dengan musik yang Anda kritik sebagai meniru?
Saya tidak meniru, tapi meramu, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Saya tidak merasa rendah untuk bersaing dengan Michael Jakcson, Mick Jagger, misalnya. We are not western, we are not India, we are not something different. Kita sebagai bangsa akan punya kebanggaan bahwa musik dangdut tidak kalah dengan musik-musik yang lain. Sebagai legislator, saya akan menjadikan Soneta sebagai salah satu langkah antisipatif bagi kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia.
Soneta adalah alat dakwah Anda. Bagaimana bentuk dakwah politik Anda nanti?
Selama ini saya melakukan dakwah lewat jalur informal, lewat musik. Dengan menjadi anggota DPR, saya akan mendapatkan jalur formalnya. Itu berarti semakin mengokohkan kegiatan dakwah, sehingga konstitusional.
Jalur informal itu tidak konstitusional?
Jalur informal sudah saya lakukan. Tapi, dengan jalur formal, saya harapkan bisa lebih mantap. Bukan mengganti jalur informal dengan jalur formal, tapi menambahkan.
Selama 10 tahun tekhir, Anda memposisikan diri sebagai orang netral. Sekarang orang mungkin akan berpersepsi Rhoma is Golkar. Sudah Anda pikirkan?
Ini yang akan saya buktikan bahwa saya bisa melakukan itu. Saya akan buktikan. Itu tantangan, bagaimana saya harus dapat meyakinkan umat, bahwa keberadaan saya di PPP, di Golkar, adalah sama. Amar ma’ruf nahi munkar. PPP atau Golkar itu hanya sarana.
Bagaimana jika ada penggemar Anda yang tidak rela Anda masuk salah satu partai politik?
Selama dia belum mengetahui niat saya yang sebenarnya, hal itu bisa saya maklumi. Tapi, bila mereka sudah tahu niat saya, saya yakin tidak akan ada masalah. Insya Allah mereka dapat menerima, dan itu semua saya lakukan juga demi mereka.
Dalam dunia politik, "Tidak ada kawan atau lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati." Anda tampaknya memahami benar artinya?
Makanya, tidak perlu ada buruk sangka dengan umat yang ada di PPP atau PDI. Kalau niat sama, tidak ada masalah. Kita satu. Dan ini yang ingin saya buktikan. Rhoma tidak berubah. Rhoma tidak akan mengkotak-kotakkan umat. Saya tidak punya vested interest.
Dalam pentas kampanye nanti, Anda akan memakai atribut Golkar atau atribut Islam seperti selama ini?
I am a Moslem.
Studio Anda yang bercat hijau ini juga tidak akan diganti warna kuning?
Nggak usah begitu. Yang penting kan amaliahnya.
Raden Haji Oma Irama, lebih dikenal sebagai Rhoma Irama, membuktikan dirinya tetap seorang "raja". Rhoma adalah "Satria Bergitar" yang –menurut William H. Frederick, sosiolog dari Universitas Ohio, Amerika Serikat– mampu menggoyang sekitar 15 juta penggemarnya di tanah air. Ketika terjun menjadi juru kampanye PPP pada 1977, partai berlambang Ka’bah –ketika itu– menyabet 26,70% suara di DKI, mengungguli Golkar. Sekali lagi Rhoma menyemarakkan Partai bintang pada Pemilu 1982.
Setelah itu, Rhoma, kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, seperti surut dari hingar-bingar panggung politik. Ia memilih netral: "tak di mana-mana, tapi di mana-mana" –meminjam istilah da’i kondang Zainuddin MZ, sahabat Rhoma. Sikap itu diambilnya setelah ia mengalami pencekalan: Rhoma dan Soneta (grup musiknya) tak boleh tampil di TVRI. Ketika itu TVRI masih satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.
Tapi, surutnya Rhoma di panggung politik tak menyurutkan langkahnya di panggung hiburan. Pentas musiknya tetap dibanjiri penggemar. Musik Soneta sendiri ia proklamirkan sebagai "voice of moslem". Film-filmnya masuk box office.
Rhoma kembali membuat berita ketika tiba-tiba namanya tercantum dalam nomor jadi calon legislatif (caleg) Golkar untuk wilayah DKI. Keputusan ini tentu saja mengejutkan. Orang pun bertanya-tanya.
Kepada Mursidi Hartono, Muchlis Ainurrafik, Aris Mohpian Pumuka, Yani Winarni, dan fotografer Kushindarto dari Paron, Rhoma menjawab semua gunjingan itu. Suaranya pelan, kutipan ayat-ayat Alqur'an meluncur dengan fasih di sela-sela jawabannya. Sebuah tasbih kecil tak lepas dari tangannya. Wawancara berlangsung dua kali, Senin dan Selasa pekan lalu, di studionya di kawasan Depok, Jawa Barat. Petikannya:
Apa yang melatarbelakangi Anda terjun ke dunia politik?
Sebetulnya politik itu salah satu fitrah manusia. Manusia itu makhluk politik. Yang membuat saya interes pada politik, katakanlah keberpihakan saya pada PPP dulu, karena motif agama.
Maksudnya?
Islam itu, sebagaimana firman Allah, alyauma akmaltu lakum dinakum (hari ini telah Aku sempurnakan agamamu). Jadi, Islam itu agama yang sempurna. Dan politik adalah bagian dari ke-kaaffah-an kita dalam beragama. Soal besar-kecilnya kegiatan politik saya, ya itu tergantung situasi dan kondisi.
Panggilan agama itukah yang dulu membuat Anda menjadi juru kampanye PPP?
Saya melihat, dulu, di sana (PPP) ada asas Islam. Islam berjuang. Saat itu saya merasa wajib hukumnya mendukung PPP. Islam itu kan luas, di dalamnya terkait demokrasi, Pancasila, dan lainnya. Itulah motivasi saya ke PPP. Tapi, saya tak perlu merasa "masuk" ke dalam partai. Kini pun saya tidak merasa "keluar" dari PPP. Saya kan tidak pernah menjadi fungsionaris partai, tidak menjadi anggota PPP. Istilahnya, saya di sana hanya numpang jihad.
Tapi, gara-gara aktif di PPP ruang gerak Anda jadi dibatasi?
Saya out, keluar, karena saya tidak punya motivasi lagi. Itu hampir sepuluh tahun.
Mengapa?
Saya ingin mengambil bagian dalam pengembangan ukhuwah Islamiyah, tanpa harus membawa simbol sebuah partai. Kondisi ukhuwah Islamiyah saat itu sangat parah. Bahkan ada kecenderungan saling mengkafirkan. Ada semacam gap antara umat Islam PPP dan Islam Golkar. Nah, setelah asas tunggal, Golkar mengajak saya untuk masuk. Itu pada tahun 1987.
Tanggapan Anda atas ajakan Golkar?
Waktu itu saya jawab, "Perkenankanlah saya berdiri netral agar dapat menjadi mediator bagi umat Islam." Gap yang terjadi pada 1982 kan masih terasa. Saya melihat perlu ada orang-orang netral yang menjembatani keduanya, untuk membangun kesatuan dan persatuan nasional. Persatuan dan kesatuan nasional mutlak memerlukan ukhuwah Islamiyah, karena Islam menjadi mayoritas dari bangsa ini.
Lalu, alasan Anda menerima tawaran Golkar sekarang ini?
Sekarang ini tidak ada lagi partai Islam. Dan saya melihat komitmen keislaman Golkar sangat baik dibanding dulu. Saat ini Golkar cukup kondusif menciptakan kehidupan keagamaan, terutama bagi perkembangan Islam. Ini dirasakan umat.
Siapa yang menawari Anda masuk Golkar?
Seorang perwira tinggi ABRI. Masih aktif (ketika Paron menyodorkan dua nama perwira tinggi ABRI, seorang mayor jenderal dan seorang jenderal yang dikenal akrab dengan Rhoma, ia cuma tersenyum). Beliau menelepon langsung, dan bilang, "Apakah Anda bersedia mengoptimalkan, memaksimalkan, dan mengamalkan potensi yang ada pada Anda untuk bangsa dan negara?"
Kabarnya Anda kenal dekat dengan "beliau"?
Ya, saya kenal baik. Sebelum ini, saya dan "beliau" sudah sering dialog.
Menurut Anda, mengapa Golkar menawari Anda menjadi calegnya?
Pertanyaan itu bukan untuk saya. Saya hanya bisa meraba-raba. Tapi, itu tidak etis saya ungkapkan. Seharusnya merekalah yang menjelaskan. Kalau saya juga yang menjawab, itu onani, dong.
Anda hanya perlu waktu 45 menit untuk mengatakan "ya". Begitu cepat?
Tidak secepat itu. Enam tahun saya mempertimbangkan tawaran mereka. Waktu 45 menit itu hanya untuk mengatakan "oke".
Ketika Anda memutuskan untuk gabung dengan Golkar, apakah ada tanggapan dari orang-orang PPP?
Saya tidak perlu tanggapan mereka, dan memang mereka tidak ada yang menaggapinya. Mereka tahu motivasi saya berada di PPP. Saya katakan sejak awal, "Assalamu’alaikum, saya numpang jihad di sini." Motivasi saya hanya satu: amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Selain itu, juga karena tidak ada sesuatu pun yang saya minta dari PPP. Saya tidak dibayar, tidak diberi jabatan, bahkan saya harus membayar.
Oh, begitu ya….
Saya kampanye biaya sendiri, dan besar itu….
Sebagai mantan sahabat PPP, Anda tak menghubungi mereka ketika mengambil keputusan menerima tawaran Golkar?
Mana ada mantan sahabat. Sahabat itu dunia-akhirat. Dan PPP itu teman saya dunia-akhirat, kalau komitmen mereka juga dunia-akhirat, yaitu izzul Islam wal Muslimin. Artinya, kalau orang berbicara soal Islam, tentu komitmennya sama. Yang berbeda kan pilihan taktik dan strateginya. Tapi, jangan karena pilihan ini kita menjadi terkotak-kotak. Makanya saya tidak ingin membuat polemik dengan teman-teman PPP. Dan bagi saya, tidak ada istilah lawan politik. Yang ada, mitra politik.
PPP mengklaim membawa aspirasi umat Islam, demikian juga Golkar. Tapi, kenapa yang Anda pilih Golkar?
Saya memang melihat hal itu di PPP. Tapi, kesempatan yang dimiliki tidak sebesar Golkar. Saya nilai, PPP kurang efektif.
Anda mengatakan Golkar lebih kondusif menciptakan suasana keagamaan. Contohnya?
Dulu, di berbagai instansi Pemerintah, jangankan ada orang yang membawa sajadah dan salat, mengucapkan salam saja sudah dicurigai…. Ini orang PPP, nih…. Orang lalu takut mengucapkan salam, takut salat, takut naik haji. Setelah Pak Harto pergi haji, kehidupan agama begitu semarak. Di elit penguasa, di tiga jalur Golkar, kita lihat sekarang komitmen agama ini begitu kental. Di bulan Ramadan, tidak ada pejabat yang tidak mengadakan tarawih, tidak ada juga pejabat yang tidak mempunyai majelis taklim.
Itu yang Anda sebut sebagai sistem kondusif?
Kalau itu dilakukan secara serempak dari rakyat kecil sampai Presiden, saya rasa tulus. Kegiatan-kegiatan itu bukan lagi dipandang sebagai kewajiban, tapi mereka begitu asyik menikmati kehidupan beragama tersebut. Ini adalah suatu hidayah, bukan rekayasa. Mana bisa hidayah direkayasa.
PPP menang di DKI ketika Anda menjadi juru kampanye pada 1977. Kabarnya Golkar kini merekrut Anda karena ingin meraih suara mayoritas di DKI?
Kalau saya sih positive thinking saja. Kalau ada yang berpikir begitu, ya saya bersyukur. Karena kata Nabi, khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau saya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, why not? Saya tahu, itu memang salah satu alasan Golkar menarik saya. Bagi Golkar sendiri, buat apa menarik orang yang tidak potensial.
Anda yakin bisa memenangkan Golkar seperti Anda memenangkan PPP dulu?
Keyakinan dan optimisme itu mutlak menjadi pakaian kita. Kalau nggak yakin menang di Jakarta, ngapain.
Dalam kampanye 1977, Anda pernah mengatakan, orang Islam yang tidak mendukung partai Islam atau perjuangan Islam karena takut kehilangan kedudukan, itu munafik. Anda ingat?
Ya, orang Islam yang tidak ingin Islam maju, itu munafik. Tapi, setelah asas tunggal, sekarang ini kan tidak ada partai Islam. Dalam kampanye 1977 itu saya menggunakan ayat la yattakhidz al-mu’minin al-kafirin awliya’a min dunil mu’minin. Jangan seorang mukmin itu mengambil orang kafir untuk menjadi pemimpin.
Kalau ayat yang akan Anda bawa untuk kampanye 1997?
(Tertawa) Ya, barangkali wa’tashimu bihablillah jami’a wala tafarraqu. Berpegang teguhlah pada tali ajaran Allah, dan janganlah bercerai-berai.
Anda pernah dicekal tampil di TVRI. Bagaimana ceritanya?
Ya, memang. Tak ada surat resmi pencekalan, tapi saya merasakan. Dari tahun 1977 sampai 1982, saya memang pendukung PPP. Itu konsekuensi logis dalam perjuangan. Saya merasa pengorbanan itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Pencekalan itu terlalu ringan. Dan yang membuat saya bahagia, karena motivasi dan komitmen saya untuk Islam tidak pernah berubah. Saya tetap mantap, tidak ragu-ragu.
Waktu pecah "Peristiwa Priok 1984", Anda sempat ditahan di Kodam Jaya. Anda memang punya hubungan dengan peristiwa itu?
Gimana, ya. Dibilang ditahan nggak, tapi nggak ditahan kok nggak pulang selama 42 hari. Cuma tidak masuk dalam sel. Saya ditempatkan dalam satu ruang, diberi tempat tidur. Saya cuma dimintai keterangan.
Keterangan apa saja?
Saya ditanya tentang keterlibatan saya dalam peristiwa itu. Tapi, ya tidak ada apa-adanya karena saya memang tidak tahu-menahu. "Peristiwa Priok" itu, menurut saya, merupakan spontanitas, tidak direncanakan, tidak ada planning. Pada saat kejadian, saya sedang syuting film Pengabdian di Pasuruan (Jawa Timur). Jangankan saya, Salim Kadar, teman Amir Biki, yang ada di Jakarta pun tidak tahu.
Salim saat itu tanya kepada Amir Biki. "Ada apa ini?" Amir Biki jawab, "Lihat saja nanti." Jadi Salim sendiri yang berada di lokasi (Tanjung Priok) tidak ngerti. Itu memang benar-benar spontanitas Amir Biki.
Jadi?
Waktu itu saya sekadar dimintai keterangan, karena saya memang dekat sekali dengan Amir Biki.
Sejak kapan Anda kenal Amir Biki?
Kami sama-sama di PPP….
Lengkingan mandolin dan hentakan ketipun dari studio menembus ruang kerja Rhoma. Sore itu sebenarnya Rhoma sudah ditunggu anak buahnya di Soneta Group untuk latihan persiapan pentasnya di Malaysia. Rhoma datang ke studionya dengan mobil Cherokee warna biru tua yang dikemudikan sendiri. Begitu turun, seluruh personel berdiri menyambutnya, mengucapkan salam "Assalamu’alaikum", dan mencium tangannya.
Rhoma seperti kiai di awak Soneta. Tak hanya anak band, tapi juga karyawan dan para tamu memanggilnya dengan sebutan "Pak Haji". Setidaknya, sepuluh di antara 14 anggota Soneta ia biayai naik haji. Aroma Islam memang sangat kental melingkupi markas Soneta. Bukan saja seluruh dindingnya dicat warna hijau dan tempelan kaligrafi di mana-mana. Setiap personil juga biasa saling mengingatkan, "Sudah salat atau belum?"
Sementara salam Islam bersahutan, di halaman belakang studio ada sepasang kijang sedang merumput. Di belakangnya lagi, ada bangunan tempat menyimpan peralatan pentas. Setiap ada undangan manggung, Rhoma selalu membawa peralatan sendiri, mulai dari lighting, sound system, dan keperluan artistik panggung. "Jumlahnya mencapai tujuh truk," kata Haji Usman, pemain keyboard Soneta.
Kalau Anda sudah di DPR, bagaimana masa depan Soneta?
Tetap. Bahkan akan lebih saya intensifkan. Karena Soneta itu power Rhoma Irama. Selama ini saya banyak waktu luang. Dari pagi sampai pukul satu siang, misalnya, saya free. Biasanya saya pakai untuk membaca. Jadi aktivitas saya nanti di DPR tidak akan mengambil waktu saya bermain musik dan aktivitas dakwah.
Apa tidak lucu, anggota DPR naik panggung, pegang gitar, dan berdangdut-ria?
Saya tetap seorang musisi, bukan politisi. Musik itulah senjata saya untuk membangun bangsa ini. Lewat musik saya berjuang. Jangan sampai orang yang duduk dalam legislator tidak sesuai dengan bidangnya. Makanya, di DPR nanti saya akan masuk ke komisi yang membawahi masalah budaya, jangan masuk bidang luar negeri, misalnya. Jadi, the right man on the right place. Kalau kita duduk di bidang yang tidak dikuasai, namanya badut politik.
Anda sudah punya konsep dan program yang akan disampaikan kalau duduk di DPR nanti?
Belum sampai sanalah. Tapi, mungkin saya akan mengajak untuk mengantisipasi ancaman globalisasi, baik dalam bidang aqidah maupun budaya.
Bagaimana Anda melihat ancaman globalisasi bagi musik kita?
Oh, sangat dahsyat. Banyak sekali muatan budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita. Budaya kita, sesuai dengan Pancasila, kan harus bernilai ketuhanan, kemanusiaan, dan sebagainya. Kalau tidak mempunyai nilai-nilai seperti itu kan berarti bertentangan. Contohnya, Hong Sui. Itu kan kita kecolongan. Hong Sui kan pandangan Cina yang menurut ajaran Islam khurafat takhayul.
Berapa Anda dibayar untuk sekali pentas?
Kalau bayaran relatif. Yang jelas, biaya operasionalnya saja paling sedikit Rp50 juta. Jadi, bayarannya tentu di atas angka itu.
Apakah personel Soneta Anda wajibkan masuk Golkar?
Dengan sendirinya demikian. Karena hakikatnya, kami adalah satu, Rhoma adalah Soneta, Soneta adalah Rhoma. Jadi, dalam segala hal kami seiring-sejalan, sekata.
Bagaimana bila ada satu yang memilih lain?
Tidak. Tidak ada. Ini sudah komitmen bersama. Saya katakan pada mereka, selama saya berada di jalan Allah, patuhlah. Dan bila saya menyimpang dari jalan Allah, tegurlah.
Anda menempatkan diri sebagai "imam" di Soneta?
Ya, selagi saya berada di jalan Allah.
Anda menganggap masuknya Anda ke DPR sebagai jalan Allah?
Ya, sesuai dengan niat saya.
Dalam kampanye-kampanye nanti Soneta juga dilibatkan?
Jelas, karena Soneta adalah senjata saya. Soneta adalah power saya dan Soneta adalah pakaian kebesaran saya. Jadi, kalau saya jadi legislator, bukan berarti saya akan meninggalkan atau mengecilkan peran Soneta. Soneta akan saya jadikan benteng dari budaya-budaya asing. Soneta harus bisa mengikuti perkembangan musik dunia, sehingga mampu bersaing dengan grup-grup musik luar.
Musik Soneta kan juga mengambil unsur asing. Ada warna rock dan hentakan perkusi India, misalnya?
Kalau saya mengambil unsur rock, misalnya, itu semata strategi, agar musik dangdut tetap bisa kompetitif dengan musik lain. Seperti juga tentang masalah lighting, sound system, dan penataan artistik panggung.
Lalu apa bedanya antara musik Anda dengan musik yang Anda kritik sebagai meniru?
Saya tidak meniru, tapi meramu, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Saya tidak merasa rendah untuk bersaing dengan Michael Jakcson, Mick Jagger, misalnya. We are not western, we are not India, we are not something different. Kita sebagai bangsa akan punya kebanggaan bahwa musik dangdut tidak kalah dengan musik-musik yang lain. Sebagai legislator, saya akan menjadikan Soneta sebagai salah satu langkah antisipatif bagi kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia.
Soneta adalah alat dakwah Anda. Bagaimana bentuk dakwah politik Anda nanti?
Selama ini saya melakukan dakwah lewat jalur informal, lewat musik. Dengan menjadi anggota DPR, saya akan mendapatkan jalur formalnya. Itu berarti semakin mengokohkan kegiatan dakwah, sehingga konstitusional.
Jalur informal itu tidak konstitusional?
Jalur informal sudah saya lakukan. Tapi, dengan jalur formal, saya harapkan bisa lebih mantap. Bukan mengganti jalur informal dengan jalur formal, tapi menambahkan.
Selama 10 tahun tekhir, Anda memposisikan diri sebagai orang netral. Sekarang orang mungkin akan berpersepsi Rhoma is Golkar. Sudah Anda pikirkan?
Ini yang akan saya buktikan bahwa saya bisa melakukan itu. Saya akan buktikan. Itu tantangan, bagaimana saya harus dapat meyakinkan umat, bahwa keberadaan saya di PPP, di Golkar, adalah sama. Amar ma’ruf nahi munkar. PPP atau Golkar itu hanya sarana.
Bagaimana jika ada penggemar Anda yang tidak rela Anda masuk salah satu partai politik?
Selama dia belum mengetahui niat saya yang sebenarnya, hal itu bisa saya maklumi. Tapi, bila mereka sudah tahu niat saya, saya yakin tidak akan ada masalah. Insya Allah mereka dapat menerima, dan itu semua saya lakukan juga demi mereka.
Dalam dunia politik, "Tidak ada kawan atau lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati." Anda tampaknya memahami benar artinya?
Makanya, tidak perlu ada buruk sangka dengan umat yang ada di PPP atau PDI. Kalau niat sama, tidak ada masalah. Kita satu. Dan ini yang ingin saya buktikan. Rhoma tidak berubah. Rhoma tidak akan mengkotak-kotakkan umat. Saya tidak punya vested interest.
Dalam pentas kampanye nanti, Anda akan memakai atribut Golkar atau atribut Islam seperti selama ini?
I am a Moslem.
Studio Anda yang bercat hijau ini juga tidak akan diganti warna kuning?
Nggak usah begitu. Yang penting kan amaliahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)