Tampilkan postingan dengan label arsip tulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arsip tulisan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Juli 2008

Mundur Dulu Nanti Menyerang

SENIN siang, saat istirahat makan, telepon seluler di tangan Bondan Gunawan terus berdering. Puluhan rekan dan wartawan bertanya apakah Bondan akan mundur dari kabinet, atau sedang menyusun berbagai serangan dalam kasus skandal Bulog. “Saya bilang, setelah tugas reorganisasi Setneg sudah tuntas mungkin akan mundur. Sebab, saya memang tak cocok di sini,” tutur Bondan, santai.

Sejak ditarik ke lingkungan Istana, awal Januari lalu, kehadiran Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi (Fordem) ini tak lepas dari kontroversi. Dalam kasus Gus Dur versus Amien Rais soal Aksi Sejuta Ummat di Monas, Gus Dur mendapat sorotan tajam. Gus Dur dianggap terlalu menganggap kecil aspirasi umat. Untuk pertama kali, kehadiran Bondan mulai terusik. “Ya sejak itu saya mulai risih,” katanya. Sejak itu, berbagai tudingan miring mengarah kepada adik pahlawan revolusi Brigjen Katamso ini.

Perjalanan hidup lelaki gempal kelahiran Kali Code, Yogyakarta, ini memang penuh warna. Bondan umum dikenal hanya sebagai aktivis Fordem. Padahal, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan Gerakan Sarjana Nasional Indonesia (GSNI) -dua-duanya Soekarnois- ini tercatat juga sebagai pengajar di Fakultas Teknik Geologi Universitas Trisakti. Ia juga cukup lama menjadi Rektor Universitas 17 Agustus di Banyuwangi (1989-1992).

Senin malam lalu, Bondan membuat keputusan menyentak. Jabatan Sekretaris Pengendalian Pemerintah dan Pjs. Sekretaris Negara resmi ditanggalkannya, justru ketika ia menghadapi akumulasi serangan politik, terakhir skandal Bulog. “Saya tidak ingin berlindung dengan baju kekuasaan,” tuturnya kepada Hariyadi, Chumairah, dan Rizki Yanuardi dari Gamma dalam dua kali kesempatan. Pertama, usai jumpa pers Senin malam dan dilanjutkan Selasa pagi, di rumahnya, di Jl. Pelikan, Bintaro Jaya. Berikut petikannya:

Keputusan mundur Anda terkesan mendadak?

Mundur itu hal yang biasa. Tapi, rumor kalau saya mau mundur atau mau diganti sudah beberapa waktu lalu.

Pengunduran diri Anda sudah disampaikan pada presiden?

Ya, dong. Tidak mungkin saya melangkah tanpa beliau tahu. Sekitar pukul 20.00-21.00 (Senin malam, Red.) kami mengobrol dan diskusi. Kami sampai pada kesimpulan lebih baik saya mundur untuk mengurangi beban beliau. Sebab, pada hakikatnya, serangan ini ditujukan pada Gus Dur. Beliau bisa memahami.

Jadi, bagaimana posisi persisnya. Anda yang meminta mundur, atau sebaliknya?

Sebagai orang Timur, saya tahu persis beliau mendapat cukup serangan. Dalam diskusi itu, saya yang menyampaikan keinginan mundur itu. Tapi, kami sebenarnya sama-sama tahu. Kami sudah lama bekerja sama. Sejak di Fordem kami bisa saling mengantisipasi, apa kehendak beliau, apa yang harus saya kerjakan. Sebagai teman, dengan body language saja, saya tahu bahwa beliau dalam suatu situasi pelik, saya perlu berbuat sesuatu. Itulah mengapa saya memilih mundur dan beliau setuju. Tapi, pertanyaan Anda mengundang tanya. Ada info apa kok nanya saya diminta mundur. Gus Dur itu kalau bersahabat sangat total demikian juga saya pada Gus Dur, tak mungkin Gus Dur meminta saya mundur.

Rencana mundur ini, apakah sudah terpikir lama sebelumnya? Atau karena terdesak skandal Bulog?

Sebenarnya sudah cukup lama. Posisi saya di sini kan sepenuhnya melayani presiden. Sejak orang merumorkan soal pembisik dan macam-macam, saya sudah risau dan risih. Mengapa kok kita melihatnya dari hal yang tidak enak. Mengapa mereka tidak mencoba melihat dari sisi positif. Nah, kalau saya tetap berada di dalam situasi itu akan bertahan terus. Tapi, kalau saya berada di luar saya bisa membantu dan bisa mendorong opini yang sesungguhnya terjadi bagaimna.

Anda menyimpulkan pengungkapan skandal Bulog ini bertujuan untuk menjatuhkan Gus Dur?

Itu analisis saya. Misalnya, konstitusi kita memberi ruang Sidang Umum MPR lima tahun sekali. Selain itu, setiap tahun diadakan sidang sekali. Kemudian, orang ngomong tentang sidang istimewa. Padahal, menurut ketetapan MPR, sidang Agustus nanti untuk menyampaikan progress report. Kemudian, soal usulan presiden untuk mencabut Tap MPR soal komunisme. Mengapa kita semua tidak mau berpikir bahwa presiden berpikir sangat-sangat konsepsional. Berangkat dari itu, saya merasa andai kata saya berada di luar dan kembali sebagai teman bukan sebagai pembantu beliau, saya akan jauh lebih punya keleluasaan untuk melakukan dukungan atau melakukan hal-hal yang lebih terbuka lagi daripada saya di dalam.

Tapi, publik akan menilai Anda kalah bertarung?

Kenapa Anda melihat ini sebagai pertarungan? Saya justru melihat keputusan ini untuk membuktikan bahwa siapa pun yang duduk di sini, seperti selalu saya omongkan, hanyalah pembantu presiden. Jadi jangan lagi presiden merasa tidak terbantu, atau malah terganggu oleh kehadiran karena kita. Saya tahu diri, saya tidak ingin presiden saya terganggu.

Jadi, apa yang hendak Anda capai?

Saya ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Saya tidak perlu menyombongkan diri, tapi setidaknya teman-teman tahu tentang saya. Dengan mundur berarti saya menjadi masyarakat biasa. Kalau saya masih dalam posisi pemerintah, dan melakukan pembelaan diri itu wajar. Tapi justru saya akan melakukan pembelaan dari serangan ini ketika saya sudah kembali, tidak menjadi pejabat tapi anggota masyarakat. Orang yang bertahan akan selalu mencari perlindungan yang dipahami sebagai kekuasaan. Dan saya tidak perlu berlindung di mana pun untuk menghadapi persoalan itu.

Dalam skandal Bulog, Anda mengaku sama sekali tidak bersalah. Berniat akan menyerang balik lewat proses hukum?

Persoalannya begini, siapa yang harus saya lakukan tindakan hukum? Misalnya, ada orang menyatakan Mbak Eva adalah saudara saya, apa bisa saya kenakan tindakan hukum. Jadi, ada insinuasi yang sengaja diciptakan. Lalu, dalam pemberitaan skandal Bulog seringkali dikasih tanda tanya. Apa yang mesti harus saya dilakukan. Itu kan bukan tuduhan. Dan Anda sah berbuat semacam itu. Makanya sama-sama kita lihat proses, kalau menyakitkan hati mungkin kita akan tempuh langkah itu.

Sebenarnya, bagaimana posisi Anda di mana dalam kasus Bulog?

Saya tidak tahu-menahu sama sekali (suaranya meninggi, Red.). Pertanyaan itu sangat menyinggung perasaan, kalau Anda mau tahu.

Begini. Sebab, dalam pengakuan tertulis Sapuan, sebelum jebolnya dana Bulog, Anda mengundang dia membicarakan penggunaan dana nonneraca, sekaligus membicarakan keinginan Gus Dur memanfaatkan dana itu untuk penyelesaian soal Aceh. Benar?

Pak Sapuan memang pernah diundang dua kali. Tapi bukan hanya dia, ada Dirjen Bea Cukai, Dirut Pertamina, Dirut PT Timah, dan beberapa pimpinan instansi lain. Tujuannya, selama ini katanya ada dana nonneraca yang sering menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Saya ingin menertibkan, dan bagaimana bisa diamankan dan harusnya semua dimasukkan ke kas negara. Jadi bukan berkaitan dengan persoalan Aceh. Jadi penjelasan Sapuan itu benar. Yang salah kemudian dikait-kaitkan.

Saya juga pernah mengundang Sapuan kembali saat Rizal Ramli akan dilantik sebagai Kabulog. Waktu itu saya ingin memberi saran-saran. Tapi, dia tak datang. Cara mengaitkan saya dengan pengakuan Sapuan itu masih kecil. Yang lebih jahat, pengaitan saya dengan Siti Ferika yang katanya keluarga saya. Dan kebetulan ada aliran uang ke Semarang saat saya ikut kongres PDI, sehingga tuduhannya saya memakai uang untuk kampanye PDI. Jelas sekali semua dicari-cari agar menjadi isu dan rumor.

Menurut Sapuan, Gus Dur sendiri katanya membutuhkan dana nonneraca Bulog itu untuk penyelesaian kasus Aceh. Benar?

Saya tidak tahu soal itu dan tak pernah dengar. Saya tak pernah bicara soal penggunaan dana baik dengan Sapuan maupun pimpinan instansi yang lain. Saya hanya bicara soal bagaimana mengamankan.

Fakta lain, saat Kongres PDI-P di Semarang, begitu banyak spanduk mendukung Anda. Apa sebenarnya proyek Anda dengan PDI Perjuangan?

Tujuan saya hanya satu, untuk menegakkan demokrasi. Demokrasi mutlak memerlukan hadirnya partai politik yang tidak hanya menjadi kendaraan. Saya datang ke Semarang tujuannya ingin mendorong agar PDI-P bisa menjadi partai yang benar. Tak pernah saya mencari dukungan. Justru saya datang untuk menghargai orang yang mendukung saya. Jadi, kecurigaan itu sama sekali salah. Saya tidak pernah memakai tim sukses segala macam apalagi bagi-bagi duit. Spanduk-spanduk itu juga buatan orang yang mendukung, yang tak pernah saya tahu.

Masa nggak pernah ngasih dana untuk semua itu?

O, tabu bagi saya untuk kegiatan semacam itu dengan uang.

Meski sebentar, Anda sempat juga di pusat kekuasaan. Ada yang paling berkesan?

Kita masuk dalam kekuasaan yang saya gambarkan sebagai hotplate. Segala macam rencana yang dulu ada harus menunggu. Harus tetap melihat secara cerdas dan jernih agar kita tidak macet atau tidak terlibat dalam kungkungan sistem yang selama ini dipakai untuk kepentingan penguasa. Kita harus mengubah menjadi sistem yang menjadi berpihak pada rakyat. Dan proses itu ternyata tak sesederhana seperti yang saya bayangkan waktu belum masuk.

Kapok menjadi pejabat?

Yang jelas saya tidak akan kapok berjuang. Apa pun konsekuensinya. Bagi saya, jabatan bukan obsesi dan tujuan. Begitu juga yang terjadi pada Gus Dur. Gus Dur tidak pernah punya cita-cita jadi presiden, tapi kenapa akhirnya jadi. Perjuanganlah yang menghendaki. Ketika saya dipanggil Gus Dur untuk membantu, yang terpikir oleh saya ya inilah konsekuensi perjuangan. Jadi bukan persoalan kapok atau tidak.

Muchlis Ainurrafik
Dimuat di Majalah GAMMA, Nomor: 15-2 - 06-06-2000

Rhoma Irama: Assalamu'alaikum, Saya Numpang Jihad

Tabloid Paron No. 21, 28 September 1996

Raden Haji Oma Irama, lebih dikenal sebagai Rhoma Irama, membuktikan dirinya tetap seorang "raja". Rhoma adalah "Satria Bergitar" yang –menurut William H. Frederick, sosiolog dari Universitas Ohio, Amerika Serikat– mampu menggoyang sekitar 15 juta penggemarnya di tanah air. Ketika terjun menjadi juru kampanye PPP pada 1977, partai berlambang Ka’bah –ketika itu– menyabet 26,70% suara di DKI, mengungguli Golkar. Sekali lagi Rhoma menyemarakkan Partai bintang pada Pemilu 1982.

Setelah itu, Rhoma, kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947, seperti surut dari hingar-bingar panggung politik. Ia memilih netral: "tak di mana-mana, tapi di mana-mana" –meminjam istilah da’i kondang Zainuddin MZ, sahabat Rhoma. Sikap itu diambilnya setelah ia mengalami pencekalan: Rhoma dan Soneta (grup musiknya) tak boleh tampil di TVRI. Ketika itu TVRI masih satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.

Tapi, surutnya Rhoma di panggung politik tak menyurutkan langkahnya di panggung hiburan. Pentas musiknya tetap dibanjiri penggemar. Musik Soneta sendiri ia proklamirkan sebagai "voice of moslem". Film-filmnya masuk box office.

Rhoma kembali membuat berita ketika tiba-tiba namanya tercantum dalam nomor jadi calon legislatif (caleg) Golkar untuk wilayah DKI. Keputusan ini tentu saja mengejutkan. Orang pun bertanya-tanya.

Kepada Mursidi Hartono, Muchlis Ainurrafik, Aris Mohpian Pumuka, Yani Winarni, dan fotografer Kushindarto dari Paron, Rhoma menjawab semua gunjingan itu. Suaranya pelan, kutipan ayat-ayat Alqur'an meluncur dengan fasih di sela-sela jawabannya. Sebuah tasbih kecil tak lepas dari tangannya. Wawancara berlangsung dua kali, Senin dan Selasa pekan lalu, di studionya di kawasan Depok, Jawa Barat. Petikannya:

Apa yang melatarbelakangi Anda terjun ke dunia politik?
Sebetulnya politik itu salah satu fitrah manusia. Manusia itu makhluk politik. Yang membuat saya interes pada politik, katakanlah keberpihakan saya pada PPP dulu, karena motif agama.

Maksudnya?

Islam itu, sebagaimana firman Allah, alyauma akmaltu lakum dinakum (hari ini telah Aku sempurnakan agamamu). Jadi, Islam itu agama yang sempurna. Dan politik adalah bagian dari ke-kaaffah-an kita dalam beragama. Soal besar-kecilnya kegiatan politik saya, ya itu tergantung situasi dan kondisi.

Panggilan agama itukah yang dulu membuat Anda menjadi juru kampanye PPP?

Saya melihat, dulu, di sana (PPP) ada asas Islam. Islam berjuang. Saat itu saya merasa wajib hukumnya mendukung PPP. Islam itu kan luas, di dalamnya terkait demokrasi, Pancasila, dan lainnya. Itulah motivasi saya ke PPP. Tapi, saya tak perlu merasa "masuk" ke dalam partai. Kini pun saya tidak merasa "keluar" dari PPP. Saya kan tidak pernah menjadi fungsionaris partai, tidak menjadi anggota PPP. Istilahnya, saya di sana hanya numpang jihad.

Tapi, gara-gara aktif di PPP ruang gerak Anda jadi dibatasi?

Saya out, keluar, karena saya tidak punya motivasi lagi. Itu hampir sepuluh tahun.

Mengapa?

Saya ingin mengambil bagian dalam pengembangan ukhuwah Islamiyah, tanpa harus membawa simbol sebuah partai. Kondisi ukhuwah Islamiyah saat itu sangat parah. Bahkan ada kecenderungan saling mengkafirkan. Ada semacam gap antara umat Islam PPP dan Islam Golkar. Nah, setelah asas tunggal, Golkar mengajak saya untuk masuk. Itu pada tahun 1987.

Tanggapan Anda atas ajakan Golkar?

Waktu itu saya jawab, "Perkenankanlah saya berdiri netral agar dapat menjadi mediator bagi umat Islam." Gap yang terjadi pada 1982 kan masih terasa. Saya melihat perlu ada orang-orang netral yang menjembatani keduanya, untuk membangun kesatuan dan persatuan nasional. Persatuan dan kesatuan nasional mutlak memerlukan ukhuwah Islamiyah, karena Islam menjadi mayoritas dari bangsa ini.

Lalu, alasan Anda menerima tawaran Golkar sekarang ini?

Sekarang ini tidak ada lagi partai Islam. Dan saya melihat komitmen keislaman Golkar sangat baik dibanding dulu. Saat ini Golkar cukup kondusif menciptakan kehidupan keagamaan, terutama bagi perkembangan Islam. Ini dirasakan umat.

Siapa yang menawari Anda masuk Golkar?

Seorang perwira tinggi ABRI. Masih aktif (ketika Paron menyodorkan dua nama perwira tinggi ABRI, seorang mayor jenderal dan seorang jenderal yang dikenal akrab dengan Rhoma, ia cuma tersenyum). Beliau menelepon langsung, dan bilang, "Apakah Anda bersedia mengoptimalkan, memaksimalkan, dan mengamalkan potensi yang ada pada Anda untuk bangsa dan negara?"

Kabarnya Anda kenal dekat dengan "beliau"?

Ya, saya kenal baik. Sebelum ini, saya dan "beliau" sudah sering dialog.

Menurut Anda, mengapa Golkar menawari Anda menjadi calegnya?

Pertanyaan itu bukan untuk saya. Saya hanya bisa meraba-raba. Tapi, itu tidak etis saya ungkapkan. Seharusnya merekalah yang menjelaskan. Kalau saya juga yang menjawab, itu onani, dong.

Anda hanya perlu waktu 45 menit untuk mengatakan "ya". Begitu cepat?

Tidak secepat itu. Enam tahun saya mempertimbangkan tawaran mereka. Waktu 45 menit itu hanya untuk mengatakan "oke".

Ketika Anda memutuskan untuk gabung dengan Golkar, apakah ada tanggapan dari orang-orang PPP?

Saya tidak perlu tanggapan mereka, dan memang mereka tidak ada yang menaggapinya. Mereka tahu motivasi saya berada di PPP. Saya katakan sejak awal, "Assalamu’alaikum, saya numpang jihad di sini." Motivasi saya hanya satu: amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Selain itu, juga karena tidak ada sesuatu pun yang saya minta dari PPP. Saya tidak dibayar, tidak diberi jabatan, bahkan saya harus membayar.

Oh, begitu ya….

Saya kampanye biaya sendiri, dan besar itu….

Sebagai mantan sahabat PPP, Anda tak menghubungi mereka ketika mengambil keputusan menerima tawaran Golkar?

Mana ada mantan sahabat. Sahabat itu dunia-akhirat. Dan PPP itu teman saya dunia-akhirat, kalau komitmen mereka juga dunia-akhirat, yaitu izzul Islam wal Muslimin. Artinya, kalau orang berbicara soal Islam, tentu komitmennya sama. Yang berbeda kan pilihan taktik dan strateginya. Tapi, jangan karena pilihan ini kita menjadi terkotak-kotak. Makanya saya tidak ingin membuat polemik dengan teman-teman PPP. Dan bagi saya, tidak ada istilah lawan politik. Yang ada, mitra politik.

PPP mengklaim membawa aspirasi umat Islam, demikian juga Golkar. Tapi, kenapa yang Anda pilih Golkar?

Saya memang melihat hal itu di PPP. Tapi, kesempatan yang dimiliki tidak sebesar Golkar. Saya nilai, PPP kurang efektif.

Anda mengatakan Golkar lebih kondusif menciptakan suasana keagamaan. Contohnya?

Dulu, di berbagai instansi Pemerintah, jangankan ada orang yang membawa sajadah dan salat, mengucapkan salam saja sudah dicurigai…. Ini orang PPP, nih…. Orang lalu takut mengucapkan salam, takut salat, takut naik haji. Setelah Pak Harto pergi haji, kehidupan agama begitu semarak. Di elit penguasa, di tiga jalur Golkar, kita lihat sekarang komitmen agama ini begitu kental. Di bulan Ramadan, tidak ada pejabat yang tidak mengadakan tarawih, tidak ada juga pejabat yang tidak mempunyai majelis taklim.

Itu yang Anda sebut sebagai sistem kondusif?

Kalau itu dilakukan secara serempak dari rakyat kecil sampai Presiden, saya rasa tulus. Kegiatan-kegiatan itu bukan lagi dipandang sebagai kewajiban, tapi mereka begitu asyik menikmati kehidupan beragama tersebut. Ini adalah suatu hidayah, bukan rekayasa. Mana bisa hidayah direkayasa.

PPP menang di DKI ketika Anda menjadi juru kampanye pada 1977. Kabarnya Golkar kini merekrut Anda karena ingin meraih suara mayoritas di DKI?

Kalau saya sih positive thinking saja. Kalau ada yang berpikir begitu, ya saya bersyukur. Karena kata Nabi, khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau saya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, why not? Saya tahu, itu memang salah satu alasan Golkar menarik saya. Bagi Golkar sendiri, buat apa menarik orang yang tidak potensial.

Anda yakin bisa memenangkan Golkar seperti Anda memenangkan PPP dulu?

Keyakinan dan optimisme itu mutlak menjadi pakaian kita. Kalau nggak yakin menang di Jakarta, ngapain.

Dalam kampanye 1977, Anda pernah mengatakan, orang Islam yang tidak mendukung partai Islam atau perjuangan Islam karena takut kehilangan kedudukan, itu munafik. Anda ingat?

Ya, orang Islam yang tidak ingin Islam maju, itu munafik. Tapi, setelah asas tunggal, sekarang ini kan tidak ada partai Islam. Dalam kampanye 1977 itu saya menggunakan ayat la yattakhidz al-mu’minin al-kafirin awliya’a min dunil mu’minin. Jangan seorang mukmin itu mengambil orang kafir untuk menjadi pemimpin.

Kalau ayat yang akan Anda bawa untuk kampanye 1997?

(Tertawa) Ya, barangkali wa’tashimu bihablillah jami’a wala tafarraqu. Berpegang teguhlah pada tali ajaran Allah, dan janganlah bercerai-berai.

Anda pernah dicekal tampil di TVRI. Bagaimana ceritanya?

Ya, memang. Tak ada surat resmi pencekalan, tapi saya merasakan. Dari tahun 1977 sampai 1982, saya memang pendukung PPP. Itu konsekuensi logis dalam perjuangan. Saya merasa pengorbanan itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang terdahulu. Pencekalan itu terlalu ringan. Dan yang membuat saya bahagia, karena motivasi dan komitmen saya untuk Islam tidak pernah berubah. Saya tetap mantap, tidak ragu-ragu.

Waktu pecah "Peristiwa Priok 1984", Anda sempat ditahan di Kodam Jaya. Anda memang punya hubungan dengan peristiwa itu?

Gimana, ya. Dibilang ditahan nggak, tapi nggak ditahan kok nggak pulang selama 42 hari. Cuma tidak masuk dalam sel. Saya ditempatkan dalam satu ruang, diberi tempat tidur. Saya cuma dimintai keterangan.

Keterangan apa saja?

Saya ditanya tentang keterlibatan saya dalam peristiwa itu. Tapi, ya tidak ada apa-adanya karena saya memang tidak tahu-menahu. "Peristiwa Priok" itu, menurut saya, merupakan spontanitas, tidak direncanakan, tidak ada planning. Pada saat kejadian, saya sedang syuting film Pengabdian di Pasuruan (Jawa Timur). Jangankan saya, Salim Kadar, teman Amir Biki, yang ada di Jakarta pun tidak tahu.

Salim saat itu tanya kepada Amir Biki. "Ada apa ini?" Amir Biki jawab, "Lihat saja nanti." Jadi Salim sendiri yang berada di lokasi (Tanjung Priok) tidak ngerti. Itu memang benar-benar spontanitas Amir Biki.

Jadi?

Waktu itu saya sekadar dimintai keterangan, karena saya memang dekat sekali dengan Amir Biki.

Sejak kapan Anda kenal Amir Biki?

Kami sama-sama di PPP….

Lengkingan mandolin dan hentakan ketipun dari studio menembus ruang kerja Rhoma. Sore itu sebenarnya Rhoma sudah ditunggu anak buahnya di Soneta Group untuk latihan persiapan pentasnya di Malaysia. Rhoma datang ke studionya dengan mobil Cherokee warna biru tua yang dikemudikan sendiri. Begitu turun, seluruh personel berdiri menyambutnya, mengucapkan salam "Assalamu’alaikum", dan mencium tangannya.

Rhoma seperti kiai di awak Soneta. Tak hanya anak band, tapi juga karyawan dan para tamu memanggilnya dengan sebutan "Pak Haji". Setidaknya, sepuluh di antara 14 anggota Soneta ia biayai naik haji. Aroma Islam memang sangat kental melingkupi markas Soneta. Bukan saja seluruh dindingnya dicat warna hijau dan tempelan kaligrafi di mana-mana. Setiap personil juga biasa saling mengingatkan, "Sudah salat atau belum?"

Sementara salam Islam bersahutan, di halaman belakang studio ada sepasang kijang sedang merumput. Di belakangnya lagi, ada bangunan tempat menyimpan peralatan pentas. Setiap ada undangan manggung, Rhoma selalu membawa peralatan sendiri, mulai dari lighting, sound system, dan keperluan artistik panggung. "Jumlahnya mencapai tujuh truk," kata Haji Usman, pemain keyboard Soneta.

Kalau Anda sudah di DPR, bagaimana masa depan Soneta?

Tetap. Bahkan akan lebih saya intensifkan. Karena Soneta itu power Rhoma Irama. Selama ini saya banyak waktu luang. Dari pagi sampai pukul satu siang, misalnya, saya free. Biasanya saya pakai untuk membaca. Jadi aktivitas saya nanti di DPR tidak akan mengambil waktu saya bermain musik dan aktivitas dakwah.

Apa tidak lucu, anggota DPR naik panggung, pegang gitar, dan berdangdut-ria?

Saya tetap seorang musisi, bukan politisi. Musik itulah senjata saya untuk membangun bangsa ini. Lewat musik saya berjuang. Jangan sampai orang yang duduk dalam legislator tidak sesuai dengan bidangnya. Makanya, di DPR nanti saya akan masuk ke komisi yang membawahi masalah budaya, jangan masuk bidang luar negeri, misalnya. Jadi, the right man on the right place. Kalau kita duduk di bidang yang tidak dikuasai, namanya badut politik.

Anda sudah punya konsep dan program yang akan disampaikan kalau duduk di DPR nanti?

Belum sampai sanalah. Tapi, mungkin saya akan mengajak untuk mengantisipasi ancaman globalisasi, baik dalam bidang aqidah maupun budaya.

Bagaimana Anda melihat ancaman globalisasi bagi musik kita?

Oh, sangat dahsyat. Banyak sekali muatan budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita. Budaya kita, sesuai dengan Pancasila, kan harus bernilai ketuhanan, kemanusiaan, dan sebagainya. Kalau tidak mempunyai nilai-nilai seperti itu kan berarti bertentangan. Contohnya, Hong Sui. Itu kan kita kecolongan. Hong Sui kan pandangan Cina yang menurut ajaran Islam khurafat takhayul.

Berapa Anda dibayar untuk sekali pentas?

Kalau bayaran relatif. Yang jelas, biaya operasionalnya saja paling sedikit Rp50 juta. Jadi, bayarannya tentu di atas angka itu.

Apakah personel Soneta Anda wajibkan masuk Golkar?

Dengan sendirinya demikian. Karena hakikatnya, kami adalah satu, Rhoma adalah Soneta, Soneta adalah Rhoma. Jadi, dalam segala hal kami seiring-sejalan, sekata.

Bagaimana bila ada satu yang memilih lain?

Tidak. Tidak ada. Ini sudah komitmen bersama. Saya katakan pada mereka, selama saya berada di jalan Allah, patuhlah. Dan bila saya menyimpang dari jalan Allah, tegurlah.

Anda menempatkan diri sebagai "imam" di Soneta?

Ya, selagi saya berada di jalan Allah.

Anda menganggap masuknya Anda ke DPR sebagai jalan Allah?

Ya, sesuai dengan niat saya.

Dalam kampanye-kampanye nanti Soneta juga dilibatkan?

Jelas, karena Soneta adalah senjata saya. Soneta adalah power saya dan Soneta adalah pakaian kebesaran saya. Jadi, kalau saya jadi legislator, bukan berarti saya akan meninggalkan atau mengecilkan peran Soneta. Soneta akan saya jadikan benteng dari budaya-budaya asing. Soneta harus bisa mengikuti perkembangan musik dunia, sehingga mampu bersaing dengan grup-grup musik luar.

Musik Soneta kan juga mengambil unsur asing. Ada warna rock dan hentakan perkusi India, misalnya?

Kalau saya mengambil unsur rock, misalnya, itu semata strategi, agar musik dangdut tetap bisa kompetitif dengan musik lain. Seperti juga tentang masalah lighting, sound system, dan penataan artistik panggung.

Lalu apa bedanya antara musik Anda dengan musik yang Anda kritik sebagai meniru?

Saya tidak meniru, tapi meramu, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Saya tidak merasa rendah untuk bersaing dengan Michael Jakcson, Mick Jagger, misalnya. We are not western, we are not India, we are not something different. Kita sebagai bangsa akan punya kebanggaan bahwa musik dangdut tidak kalah dengan musik-musik yang lain. Sebagai legislator, saya akan menjadikan Soneta sebagai salah satu langkah antisipatif bagi kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia.

Soneta adalah alat dakwah Anda. Bagaimana bentuk dakwah politik Anda nanti?

Selama ini saya melakukan dakwah lewat jalur informal, lewat musik. Dengan menjadi anggota DPR, saya akan mendapatkan jalur formalnya. Itu berarti semakin mengokohkan kegiatan dakwah, sehingga konstitusional.

Jalur informal itu tidak konstitusional?

Jalur informal sudah saya lakukan. Tapi, dengan jalur formal, saya harapkan bisa lebih mantap. Bukan mengganti jalur informal dengan jalur formal, tapi menambahkan.

Selama 10 tahun tekhir, Anda memposisikan diri sebagai orang netral. Sekarang orang mungkin akan berpersepsi Rhoma is Golkar. Sudah Anda pikirkan?

Ini yang akan saya buktikan bahwa saya bisa melakukan itu. Saya akan buktikan. Itu tantangan, bagaimana saya harus dapat meyakinkan umat, bahwa keberadaan saya di PPP, di Golkar, adalah sama. Amar ma’ruf nahi munkar. PPP atau Golkar itu hanya sarana.

Bagaimana jika ada penggemar Anda yang tidak rela Anda masuk salah satu partai politik?

Selama dia belum mengetahui niat saya yang sebenarnya, hal itu bisa saya maklumi. Tapi, bila mereka sudah tahu niat saya, saya yakin tidak akan ada masalah. Insya Allah mereka dapat menerima, dan itu semua saya lakukan juga demi mereka.

Dalam dunia politik, "Tidak ada kawan atau lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati." Anda tampaknya memahami benar artinya?

Makanya, tidak perlu ada buruk sangka dengan umat yang ada di PPP atau PDI. Kalau niat sama, tidak ada masalah. Kita satu. Dan ini yang ingin saya buktikan. Rhoma tidak berubah. Rhoma tidak akan mengkotak-kotakkan umat. Saya tidak punya vested interest.

Dalam pentas kampanye nanti, Anda akan memakai atribut Golkar atau atribut Islam seperti selama ini?

I am a Moslem.

Studio Anda yang bercat hijau ini juga tidak akan diganti warna kuning?

Nggak usah begitu. Yang penting kan amaliahnya.

Menunggu Keajaiban Perang Badar

Majalah GAMMA
Nomor: 11-3 - 8-05-2001

Menunggu Keajaiban Perang Badar

Memorandum II akhirnya jatuh pada Senin lalu. Setelah kompromi politik dan tekanan massa gagal, tinggal keajaiban yang mampu mempertahankan posisi presiden.

EFFENDI Choirie memang gigih. Meski Ketua Sidang Soetardjo Surjoguritno sudah mulai membaca agenda rapat, Wakil Sekretaris Fraksi PKB ini tetap menginterupsi. Dan, panjang pula. Pendi, panggilan akrab pria asal Gresik ini, menyoal begitu ketatnya pengamanan yang dilakukan aparat terhadap prosesi Sidang Paripurna DPR pada Senin lalu. "Ini sudah tidak proporsional. Saya menuntut klarifikasi," teriaknya berkali-kali.

Rangkaian interupsi anggota dewan lain, yang menganggap soal yang diinterupsi Pendi tidak relevan, berkali-kali tak dihiraukannya. "Tolong hargai pendapat saya. Itu namanya demokrasi. Bahwa Anda sekalian berpendapat lain, silakan," ujarnya lagi, masih dalam nada berteriak. Saking ngotot-nya, mantan wartawan yang juga memimpin bagian hubungan masyarakat Partai Kebangkitan Bangsa ini sampai beberapa kali memukul meja. Lalu, sambil mengangkat mike, ia kembali berteriak sambil berdiri, "Ini ada apa? Saya minta klarifikasi dari pimpinan."

Meski sudah tampil berapi-api dan ngotot, Pendi bak menepuk angin. Dari mulut Soetardjo Surjoguritno bahkan tak keluar sepatah kata pun menanggapi interupsinya. Dan, nasib interupsi Effendi Choirie lalu melengkapi nasib tragis langkah panjang Presiden Abdurrahman Wahid dan barisan pendukungnya untuk menahan jatuhnya Memorandum II pada Sidang Paripurna DPR-RI, Senin lalu.

Akhirnya, tujuh fraksi menyatakan mendukung pemberian memorandum II bagi presiden. Hanya dua fraksi menolak, dan satu fraksi abstain. Total suaranya, dari 457 anggota yang hadir pada saat voting berlangsung, 363 anggota mendukung Memo II, 52 menolak, dan 42 abstain. Ketujuh fraksi yang mendukung Memo II adalah Fraksi PDI Perjuangan (128 suara), Fraksi Partai Golkar (115 suara), Fraksi Partai Pembangunan (50 suara), Fraksi Reformasi (40 suara), Fraksi Partai Bulan Bintang (13 suara), Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (8 suara), Fraksi Partai Daulah Ummat (8 suara), dan Husein Naro (nonfraksi, 1 suara).

Yang menolak pemberian memorandum, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (48 suara), didukung Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (4 suara). Sisanya, 42 suara abstain. Mereka yang abstain terdiri atas 38 suara dari Fraksi TNI/Polri, 1 suara dari Fraksi PDI Perjuangan, 1 suara dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, 1 suara dari Fraksi Persatuan Daulah Ummat, dan 1 suara lagi dari Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa.

Dan Memorandum II bagi Presiden akhirnya dilayangkan pada Selasa lalu. Pada Memorandum Kedua ini, DPR memberi tiga pernyataan kepada presiden. Pertama, DPR menganggap Presiden Abdurrahman Wahid tidak sungguh-sungguh mengindahkan Memorandum Pertama. Kedua, DPR mengeluarkan Memorandum Kedua, karena menganggap presiden telah sungguh-sungguh melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara, khususnya melanggar Sumpah Jabatan (sesuai Pasal 7 Ayat 3, Tap. MPR No. III/1978), dan melanggar Tap. MPR No. XI/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari KKN. Ketiga, DPR masih memberikan waktu sebulan kepada presiden untuk mengindahkan Memorandum Kedua ini.

Maka, banyak pihak menilai, peluang presiden untuk tetap bertahan praktis habis. Memorandum II, menurut banyak pengamat politik, menunjukkan legitimasi politik kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid sudah terjun bebas. "Satu-satunya jalan yang terhormat bagi presiden adalah mengundurkan diri," tegas Riswanda Imawan, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada. Pengamat politik Andi Mallarangeng pun berpendapat sama. "Satu-satunya exit strategy atau jalan keluar yang elegan bagi Gus Dur adalah mengundurkan diri dari jabatan presiden," tandas Andi Mallarangeng.

Sayang Gus Dur bukan Riswanda atau Andi Mallarangeng. Presiden berkali-kali, dalam berbagai kesempatan, menegaskan dirinya tidak mau mundur. Malah, menurut sebuah sumber GAMMA, dalam pertemuan terakhir, presiden dengan para pendukungnya di Jalan Irian, beberapa hari lalu, presiden tegas tidak mau mundur. "Di pertemuan itu, presiden malah bilang, apa pun yang terjadi, bahkan walaupun bangsa ini berdarah-darah, dia tidak akan mundur," sambung sumber tersebut.


Tampaknya, presiden tidak akan menyerah begitu saja. "Saya justru melihat dalam satu bulan ini presiden akan mencoba lebih intensif untuk berusaha mempertahankan diri, dengan cara apa pun," tutur Wakil Sekjen PAN Alvin Lie. Sejumlah langkah dan skenario tengah disiapkan. Dari yang paling moderat melalui jalur kompromi, hingga kembali melakukan mobilisasi massa dan tindakan memecah dukungan TNI/Polri.

Kunci dari langkah kompromi ini adalah usaha kembali mengambil hati Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Menteri Pertahanan Mohamad Mahfud M.D., tegas menyebut peluang satu-satunya bagi presiden untuk bertahan adalah mempertemukan kembali Gus Dur dengan Megawati. "Bagi saya, ini adalah satu isyarat bahwa ada peluang untuk dilakukan semacam pembicaraan-pembicaraan untuk memperbaiki bersama antara presiden dan Mbak Mega. Mudah-mudahan peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Gus Dur dan elite politik lain," kata Mahfud kepada wartawan, termasuk Wibowo Prasetyo dari GAMMA.

Terhadap kubu pendukung Memoradum I dan II, kubu presiden juga tampaknya masih mengusung langkah lama, negosiasi dan politik dagang sapi. Dalam sepekan terakhir, presiden, misalnya, masih mencoba melakukan kompromi melalui politik dagang sapi. "Sekjen PAN Hatta Radjasa, misalnya, ditelepon oleh orang-orang presiden, ditawari posisi Direktur Utama Pertamina," sambung Alvin Lie.

Usaha lain, kembali memobilisasi tekanan massa. Penggantian antarwaktu sembilan anggota Fraksi TNI/Polri di DPR dan MPR, lalu disusul sikap abstain fraksi ini terhadap Memorandum II kepada presiden, tampaknya menyiratkan adanya keterkaitan dengan fenomena mobilisasi massa ini. Menurut sebuah sumber GAMMA, perubahan sikap TNI ini tidak hanya karena TNI/Polri ingin bersikap netral --yang itu berarti mengamankan posisi mereka bila nanti berhadapan dengan massa pro dan kontra Presiden-- tetapi juga sebagai sikap TNI untuk membentengi diri dari intervensi lebih jauh kubu presiden. "Sebab, seperti tampak selama ini, aksi-aksi massa pendukung Presiden tidak akan berhasil tanpa dukungan dari TNI maupun Polri," tutur sumber ini.

Dalam skenario ini, presiden disinyalir akan kembali mencari dukungan riil dari TNI/Polri. "Presiden akan memaksakan orang-orangnya untuk menggusur pimpinan TNI/Polri sekarang. Dan kalau itu terjadi, artinya ada jenderal-jenderal yang membuka diri untuk diintervensi demi kepentingan presiden, maka TNI akan pecah dan akibatnya bisa sangat serius," ujar sebuah sumber.

Pertanyaannya, efektifkah langkah-langkah itu? Jawabnya, sulit. Usaha kompromi dan politik dagang sapi sudah berkali-kali dilakukan kubu presiden. Toh, hasilnya nol. Niat presiden untuk menggelar pertemuan antarelite gagal total. Terakhir, presiden hanya bisa menemui Ketua Umum PPP Hamzah Haz. Pertemuan itu pun tidak berarti apa-apa, sebab konon Hamzah Haz --dalam pertemuan itu-- menolak sejumlah usulan presiden, salah satu di antaranya percepatan pemilu.

Senior officer meeting (SOM), atau pertemuan tingkat pejabat penting masing-masing partai, yang dikomandoi Menteri Luar Negeri Alwi Shihab juga berakhir percuma. Dua partai, PPP dan Golkar, memang sudah menyambut undangan Alwi. Golkar sudah mengirimkan tiga nama, Agung Laksono, Mahadi Sinambela, dan Theo Sambuaga. PPP sudah mengajukan nama Alimarwan Hanan dan Zen Badjeber. Skenario SOM ini menguap begitu saja, karena tidak mendapat sambutan dari partai peraih suara terbesar, PDI Perjuangan.

Skenario seperti yang disebut Menhan Mahfudz M.D., yaitu mempertemukan kembali Presiden Abdurrahman Wahid dengan Wapres Megawati Soekarnoputri, sebuah skenario yang di atas kertas tampak sederhana dan mudah, juga tampaknya bakal bernasib sama. Rabu pagi pekan lalu, misalnya, tidak seperti biasanya, acara sarapan pagi Presiden Abdurrahman Wahid berlangsung tanpa kehadiran Megawati, sang tuan rumah. Presiden yang pagi itu hadir bersama sejumlah menteri dan jenderal terpaksa hanya dilayani tiga orang pembantu. Megawati sendiri pada hari itu memilih pergi ke Bali, membuka sebuah seminar teknologi informasi.

Keesokan harinya, pada sidang kabinet hari Kamis, Megawati tetap tidak hadir. Menurut Sekretaris Wakil Presiden Bambang Kesowo, Mega tidak dapat menghadiri Sidang Kabinet karena sakit flu. Benarkah Mega sedang saki? "Ah, itu flu politik," canda sebuah sumber yang dekat Mega. Yang terjadi, menurut sumber lain, Megawati sudah berketetapan hati untuk berkata tidak kepada presiden. "Bagaimana mempertemukan kembali, lha wong sejak dua pekan terakhir saja Megawati sudah resmi tidak mau lagi memimpin sidang-sidang kabinet, kok," tandas seorang sumber yang dekat dengan elite PDI Perjuangan.


Wakil Sekjen PAN Alvin Lie berpendapat senada. Bahkan, Alvin menganggap Menhan Mahfudz salah menafsirkan pandangan akhir Fraksi PDI Perjuangan pada sidang paripurna Senin lalu. "Kalau pandangan akhir fraksi-fraksi terkesan masih memberi waktu, itu karena tiga alasan. Pertama, kami tetap ingin di jalur konstitusi. Kedua, kami juga mempertimbangkan emosi massa yang berkembang akhir-akhir ini. Dan ketiga, kami tidak ingin langkah-langkah kami nanti justru membebani presiden baru, bila Presiden Abdurrahman Wahid mundur," tutur Alvin Lie. Jadi, jalur kompromi baik antara presiden dan wapres maupun dengan elite politik lain sebenarnya praktis sudah tertutup rapat. "Dan, kalau memang presiden masih dipercaya, bukankah tiga bulan ini usaha-usaha kompromi itu sudah dilakukan, dan gagal," tandas Alvin.

Skenario bertahan lewat mobilisasi massa dengan sekuat tenaga menarik dukungan riil dari TNI dan Polri juga bukan hal mudah. Sikap tegas TNI dan Polri dalam kasus pasukan berani mati di Jawa Timur bisa dibaca dalam konteks ini. Lalu, seperti diprotes Effendi Choirie di sidang paripurna Senin lalu, pengamanan ekstra ketat yang dilakukan aparat TNI/Polri di sekitar Senayan menunjukkan pula ketegasan sikap TNI dan Polri untuk tidak mau tunduk pada tekanan massa. "Dan kalaupun presiden mencoba melakukan intervensi dengan cara menekan lewat skenario pergantian pucuk pimpinan TNI dan Angkatan Darat, saya kira reaksi para jenderal --seperti dalam kasus pencalonan Agus Wirahadikusumah-- akan terulang kembali," urai sebuah sumber.

Maka praktis tinggal mukjizat atau keajaiban yang bakal mampu mempertahankan posisi kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid. Dan jalur inilah yang tampaknya juga sedang serius diusung oleh barisan pendukung presiden. Di arena panggung Istigotsah Kubro yang berlangsung pada Minggu pagi lalu di Parkir Timur Senayan, ratusan ulama, puluhan ribu massa NU, bersimpuh mengharap mukjizat ini.

Dan selebaran materi Istigotsah yang disebar Panitia menyebut kisah Nabi Muhammad pada saat Perang Badar. Dalam perang melawan kaum musyrik dan jahiliah itu, kekuatan Nabi hanya 313 orang. Sementara, musuh punya 1.000 pasukan. Nabi kemudian menghadap kiblat dengan sorban di pundak seraya berdoa, "Ya Allah, tepatilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, bila sekelompok golongan Islam ini hancur, maka tidak ada lagi yang akan menyembah kepada-Mu selamanya." Begitu khusyuk dan serius Nabi berdoa, sorban yang dikenakannya sampai jatuh ke tanah. Sayyidina Umar, sahabat Nabi yang dikenal paling gagah berani di medan perang, mengambil sorban itu dan meletakkan kembali ke pundak Nabi, sambil berkata, "Ya Nabi Allah, cukuplah doa-doamu kepada Tuhanmu. Dia akan menepati janji-Nya kepadamu."

Nabi, seperti diriwayatkan banyak kitab-kitab tarikh (sejarah) Islam, akhirnya berhasil memenangkan Perang Badar. Dan banyak kiai khas NU juga yakin Presiden Abdurrahman Wahid akan tetap bertahan dan memenangkan pertarungan dengan para musuhnya. Mbah Liem Imam Puro, salah seorang kiai sepuh yang sangat dihormati warga nahdliyin, menurut sebuah sumber GAMMA, Senin malam lalu, bertemu presiden. Mbah Liem memberikan sebuah selendang, sambil meyakinkan bahwa posisi presiden masih kuat. Presiden, menurut Mbah Liem, akan tetap bertahan sampai 2004, apa pun yang terjadi. Benarkah? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Wallahualam bissawab.

-Muchlis Ainurrafik, Rika Condessy, Mohammad Shaleh, dan Wibowo Prasetyo