Minggu, 26 Oktober 2008

Sang Monster Telah Tamat

Banyak calon anggota legislatif kandas di tengah jalan. Pencari kerja juga disulitkan. Kini ratusan perwira menganggur?

SEMUA orang itu baik, sampai yang bersangkutan terbukti bersalah. "Itulah prinsip hukum yang benar," tutur Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra. Sayang, lewat instrument Penelitian Khusus (Litsus), selama lebih 32 tahun terakhir prinsip itu dilecehkan oleh rezim Orde Baru.

Lembaga Litsus dan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) dilikuidasi, Rabu pekan silam. Usai sidang Kabinet bidang Polkam, Sekretaris Kabinet, Marsilam Simanjuntak, bersama Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, dan Kepala BAKIN Letjen Arie J. Kumaat, resmi mengumumkan pencabutan Keppres Nomor 29 Tahun 1988 dan Keppres No. 16 Tahun 1990, yang mendasari pembentukan dua lembaga tersebut.

Maka, fungsi-fungsi kegiatan intelijen yang ada dalam lembaga Bakorstanas dan Litsus ini, menurut Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak, kembali ke pangkuan Bakin.

Likuidasi Bakorstanas dan Litsus ini tak pelak disambut hangat oleh Ketua DPR-RI Akbar Tanjung. Kedua lembaga bikinan rezim Orde Baru itu sudah tidak sejalan dengan semangat demokratisasi, keterbukaan, dan akuntabilitas politik. "Dengan logika ini, lembaga-lembaga yang dianggap mempengaruhi atau menghambat proses demokrasi mesti jangan lagi diberi kesempatan untuk eksis," tegas Akbar.

Koordinator Kontras, Munir, bahkan menilai keputusan itu sebagai berani dan benar. Dengan demikian, pemerintah telah memotong salah satu mata rantai sebuah pemerintahan militeristis. Keberadaan dua lembaga itu selama ini, lanjut Munir, jelas dibangun atas logika yang salah. "Bagaimana bisa dibenarkan orang kehilangan hak-hak politiknya hanya karena perbedaan pikiran dan ideologi," sergah Munir.

Memang, selama 32 tahun Orde Baru, yang terjadi di lapangan lebih parah lagi. "Dengan alasan mengendalikan ideologi komunis, lantas mereka (militer, Red.) mengatur segala persoalan. Bahkan, tanah pun mereka urusi. Dan yang terjadi adalah berbagai bentuk manipulasi kekuasaan," tegas Munir.

Mochtar Pabottingi, pengamat politik dari LIPI, melihat dua lembaga itu telah digunakan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. "Sekaligus mematikan partisipasi politik rakyat," tegas Mochtar Pabottingi kepada Maimun Wahid dari Gamma.

Keriuhan antusiasme di atas tampaknya wajar. Selama 32 tahun rezim Orde Baru, lembaga Bakorstanas -sebelumnya bernama Kopkamtib- dan Litsus memang benar-benar bak monster represi yang mematikan. Apa yang dialami Suyitno, anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPRD Yogyakarta, Desember tahun lalu, termasuk contoh aktual. Pimpinan DPRD Yogyakarta secara resmi meminta Suyitno mundur dari DPRD Yogyakarta, karena menganggap yang bersangkutan terindikasi terlibat G30S-PKI, walaupun hanya dalam status Golongan C. Lucunya, Suyitno adalah bekas anggota Dewan Penasihat Golkar Gunung Kidul. Cuma, ia tersandung pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/MPR, yang menyatakan, jika ada anggota yang terlibat PKI, keanggotaannya otomatis batal. Dan dokumen Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Yogyakarta memang menyatakan Suyitno positif terlibat G30S-PKI. Untung nasib baik masih memihak Suyitno. Pihak partai tidak peduli dengan tuntutan mundur pimpinan DPRD. Suyitno saat ini masih dalam proses melakukan gugatan terhadap Ditsospol Yogyakarta.

Suyitno memang masih beruntung. Pada periode-periode sebelumnya, menjadi anggota DPR dan DPRD benar-benar sebuah proses yang berat. Pada Pemilu 1997 misalnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) waktu itu sampai harus mengorbankan 130 calon anggota legislatif karena dinyatakan gugur tidak lulus Litsus. Ke-130 caleg PPP itu tentu saja tidak semua gugur karena diduga terlibat G30S-PKI. Kegagalan mereka justru lebih karena soal-soal sepele, persyaratan surat-surat. Dari hasil investigasi tim yang dibentuk DPP PPP, sebagian besar caleg itu gugur karena gagal mendapatkan Surat Keterangan Tidak Terlibat Organisasi Terlarang (SKKT).

Permainan rezim Orde Baru memanfaatkan SKKT ini begitu telanjang. Di Magelang, pada Pemilu 1997 lalu, misalnya, seorang kiai haji kondang, tokoh masyakarat setempat, punya santri tidak kurang dari 500 orang, sebelumnya telah menjadi anggota legislatif vokal, bahkan mampu mendongkrak perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan di Magelang dari 7 kursi pada Pemilu 1987 menjadi 13 kursi pada Pemilu 1992, secara tidak masuk akal gugur dalam proses pencalonan anggota legislatif. Gara-garanya, ia gagal mendapatkan sertifikat SKKT sampai batas waktu pendaftaran.

Apa yang dialami caleg PPP itu tidak hanya berlangsung di Magelang. Permainan di meja Litsus itu berlangsung secara sistematis di seluruh wilayah Tanah Air. Di Jawa Tengah, PPP sampai kehilangan 55 calegnya akibat permainan di meja Litsus. Di Sumatera Barat, dari 58 caleg PPP, yang lulus hanya 38 orang. Di Jawa Timur, lebih besar lagi, 67 orang. Semua terjadi masih pada 1997 juga.

Begitulah Litsus, berkembang menjadi strategi licik mempertahankan kekuasaan. Pisau Litsus bahkan tidak hanya memotong mereka yang hendak masuk ke wilayah politik, seperti dalam kasus calon-calon anggota legislatif di atas. Dalam bentuk lain, seperti surat kelakuan baik, pisau ini juga menjai momok bagi orang-orang biasa, para pencari kerja.

Lembaga yang berwenang melakukan Litsus menentukan seseorang terlibat atau tidak dengan G-30-S/PKI, pertama kali, adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ekstrakonstitusi ini pertama kali dibentuk pada 3 Oktober 1965. Melalui Keppres Nomor 9 Tahun 1974, tugas dan wewenang lembaga ini meluas tidak terbatas. Dalam keppres itu, misalnya, disebut bahwa tugas Kopkamtib antara lain menangkal gerakan ekstrem dan gerakan subversif.

Rezim Orde Baru mengganti Kopkamtib dengan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) sejak 5 September 1988, lewat Keppres No. 29 Tahun 1988. Seperti disebut dalam keppres, lembaga ini dibentuk adalah untuk "mengoordinasikan upaya departemen dan instansi dalam rangka pemulihan, pemeliharaan, dan pemantapan stabilitas nasional dari berbagai hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing". Kata kuncinya, koordinasi demi stabilitas.

Perubahan nama dari Kopkamtib ke Bakorstanas, dari komando ke koordinasi, sebenarnya dimaksud untuk mengurangi -kalau bukan menghilangkan samasekali- ekses kekuasaan sewenang-wenang itu. Tapi, umum diketahui, apa yang terjadi di lapangan, tidak ada perubahan berarti. Bakorstanas tetap menjadi momok dan hantu politik yang menakutkan. "Bahkan, soal tanah pun diurusi," ujar Munir.

Sifat darurat itulah yang ditinggalkan. Presiden Abdurrahman Wahid, seperti dituturkan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, menilai situasi politik sekarang dalam keadaan normal, dan karena itu lembaga seperti Bakorstanas dengan instrumen Litsusnya sudah waktunya diakhiri. Presiden, menurut Yusril, juga telah memerintahkan Panglima TNI untuk dalam jangka waktu satu bulan menyelesaikan proses likuidasi Bakorstanas ini. "Ini juga terkait dengan reformasi dalam tubuh TNI, di mana keterlibatan TNI dalam persoalan politik mulai dikurangi," ujar Yusril.

Akibat likuidasi Bakorstanas ini, ratusan perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat -dari pangkat kapten hingga mayor jenderal- konon harus menganggur. Di tingkat pusat, Bakorstanas dipimpin langsung oleh Panglima TNI. Di bawahnya ada tujuh sekretaris bidang (sesbid) yang masing-masing dijabat oleh seorang mayor jenderal. Dari tujuh itu, empat sekretaris bidang dirangkap oleh pejabat di lingkungan Mabes TNI Cilangkap. Artinya, dengan likuidasi lembaga ini, tiga mayor jenderal dipastikan bakal menganggur.

Masih di tingkat pusat, di bawah mayor masih ada 116 orang berpangkat kolonel. Lalu, di setiap Bakorstanas Daerah (Bakorstanasda) terdapat sekitar 10 sampai 15 perwira dengan pangkat kolonel. Nah, jika jumlah itu dikalikan dengan 11 kodam yang sekarang ini ada, maka sekitar 110 sampai 155 kolonel dipastikan bakal ikut menganggur. Nah!

Muchlis Ainurrafik

Dimuat Majalah Gamma, Nomor: 04-2 - 21-03-2000